Menaikan Level Literasi Siswa
Selain persoalan teknis berupa ketersediaan jaringan listrik dan internet yang masih ala kadarnya, Asesmen Nasional (AN) juga tidak luput dari persoalan substansial lainnya. Setidaknya terdapat satu irisan persoalan substansial yang umumnya dirasakan oleh hampir semua siswa atau peserta AN di Indonesia.
Persoalan tersebut adalah terkait bentuk soal AN. Musababnya adalah soal AN yang berorientasi pada literasi dan numerasi dirasakan oleh siswa sangat panjang atau banyak. Panjang dalam artian bahwa untuk satu soal AN saja, narasi soalnya bisa memuat 4 hingga 5 susunan paragraf. Karenanya ketika siswa dimintai jawaban terkait bagaimana proses berjalannya AN, hampir semua siswa mengeluhkan hal yang serupa yaitu terkait panjangnya soal-soal AN. Situasi ini sepertinya tidak mengherankan tetapi sebaliknya turut mengkonfirmasi kebenaran angka-angka hasil survei literasi siswa kita yaitu rendahnya kemampuan membaca serta memahami teks.
Hasil penelitian UNESCO 2011 dan Worlds Literate Nations 2016 menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Sedangkan merujuk survei paling baru yaitu PISSA pada Tahun 2018, tingkat literasi di Indonesia menempati posisi ke 62 dari 70 negara. Secara lebih spesifik lagi, PISSA 2018 menyimpulkan bahwa sekitar 70 persen siswa Indonesia masih belum menguasai kemampuan membaca level 2 atau masih di bawah kompetensi minimum. Siswa di Indonesia memang bagus dalam memahami teks tunggal tetapi lemah dalam memahami teks banyak atau panjang. Siswa Indonesia pandai mencari, mengevaluasi dan merefleksikan informasi tetapi lemah dalam memahami informasi. Dengan demikian maka tidak mengagetkan ketika mendengar respons siswa terkait soal-soal ujian AN .
Sudah barang tentu, rendahnya kecakapan literasi yang mana sudah menjadi persoalan laten dalam dunia pendidikan kita sangat tidak baik jika terus dipelihara dan diabaikan. Sebab kecakapan literasi berupa kemampuan membaca dan memahami teks adalah fondasi awal untuk dapat belajar dan berkontribusi dalam kehidupan. Cakap dalam membaca sekaligus memahami teks dapat membantu menumbuhkan kemampuan belajar sepanjang hayat untuk berkembang dalam dunia yang sudah semakin akrab dengan teknologi digital. Tidak kuatnya fondasi membaca dan memahami teks pada anak akan mengakibatkan rendahnya kemampuan literasi saat dewasa. Salah satu contohnya adalah terkait literasi digital atau kecakapan dalam menggunakan atau memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Merujuk hasil survei literasi digital Indonesia 2020, indeks literasi digital Indonesia masih di angka 3,47 dari skala 1-5. Semakin tinggi angka indeks literasi digital maka akan semakin rendah kecenderungan untuk berlaku negatif seperti tidak menyebarkan dan terjebak oleh berita hoaks. Karenanya hasil survei ini mengindikasikan bahwa pola penggunaan internet dan berbagi informasi pada sebagian masyarakat kita masih belum baik. Masih ada celah munculnya perilaku atau tindakan negatif dari aktivitas teknologi digital. Mudah terpengaruh berita hoaks melalui judul berita yang tidak sejalan dengan isi berita (clickbait) adalah salah satu contoh buruk yang dapat memunculkan perilaku negatif baik dilakukan secara individu maupun komunitas.
Seharusnya teknologi digital dimaksimalkan menjadi salah satu kekuatan positif di Indonesia yang adalah salah satu negara dengan iklim demokrasi terbesar di dunia. Tetapi faktanya, karena dasar fondasi literasi siswa kita yang rapuh, teknologi digital dalam beragam rupa media sosial dalam perkembangannya malah menjadi salah satu senjata perusak kedamaian dan keragaman dalam keseimbangan hidup demokrasi kita.
Merujuk laporan Indonesia digital 2021 yang dirilis We Are Social dan Hootsuite, 74 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi jaringan internet. Ini menandakan bahwa kurang cakapnya penggunaan atau pemanfaatan teknologi informasi dapat berpotensi membawa bangsa ini masuk dalam gelembung persoalan. Karenanya fondasi literasi yang kuat adalah satu-satunya solusi paling sistemik untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
Tentunya selain data dari kedua organisasi tersebut, juga terdapat banyak penelitian dan survei dari lembaga lainnya yang juga berada pada satu lajur kesimpulan bahwa minat baca masyarakat dan siswa Indonesia rendah. Terdapat banyak faktor penyebabnya seperti akses terhadap buku, buruknya kualitas perpustakaan dan penyebab lainnya. Faktor-faktor ini akan bermuara pada satu persoalan yaitu terciptanya budaya literasi yang buruk.
Beragam kegiatan literasi pun secara masif digalakkan sejak beberapa tahun terakhir, baik oleh masyarakat maupun lembaga pendidikan, tetapi belum juga membuahkan hasil yang menggembirakan. Keberadaan rumah baca di sejumlah daerah, rumah baca keliling, gerakan literasi sekolah sejak Tahun 2015, gerakan nasional orang tua untuk membacakan buku bagi anaknya (Gemas Buku) sejak Tahun 2018 bahkan wacana satu desa satu perpustakaan pun belum juga mampu mewujudkan harapan akan terciptanya budaya literasi yang baik. Budaya literasi masyarakat dan siswa kita masih tetap begitu-begitu saja.
Kita berharap ragam upaya yang sudah dilakukan dan banyaknya anggaran yang sudah dihabiskan dalam upaya membentuk masyarakat Indonesia dengan budaya literasi yang baik bukan sebagai cita-cita yang terkesan ambisius. Karenanya perlu langkah atau terobosan yang lain.
Menurut saya, masih ada ruang kosong yang sejauh ini belum juga tersentuh dalam ragam upaya peningkatan budaya literasi kita. Ruang tersebut adalah belum terintegrasinya secara baik antara kegiatan literasi dengan pembelajaran di kelas.
Sejauh ini, ragam kegiatan literasi yang dilakukan dan pembelajaran di kelas berjalan secara terpisah. Bukti penguatnya dapat kita lihat dalam pelaksanaan AN. Karena dalam pembelajaran di kelas, siswa sama sekali belum dibiasakan dengan bentuk soal dengan narasi yang panjang atau lebih pada soal yang teoretis mengakibatkan soal-soal AN yang berorientasi pada literasi dan numerasi dirasakan sulit oleh siswa.
Untuk mencapai kecakapan literasi level 2 di mana siswa tidak lagi hanya sekedar membaca tetapi juga mampu memahami isi teks atau bacaan maka pola konsumsi bahan bacaan siswa turut berubah. Bukan lagi sekedar bahan bacaan ringan tetapi bahan bacaan yang dapat merangsang siswa untuk berpikir, memahami informasi, mengevaluasi hingga mampu menemukan solusi. Karenanya mengintegrasikan kegiatan literasi dan pembelajaran melalui soal-soal dalam pembelajaran di kelas perlu dibiasakan.
Misalnya untuk mata pelajaran matematika dengan topik menentukan luas permukaan kerucut. Narasi soal terkait topik tersebut dapat memanfaatkan permasalahan kontekstual seperti atap sebuah rumah adat atau lainnya. Dengan memodifikasi soal tersebut maka narasi soalnya tidak lagi bersifat teoretis tetapi bertransformasi menjadi bahan bacaan yang berisi masalah kontekstual yang harus ditemukan solusinya.
Dengan demikian maka kegiatan literasi berupa menghadirkan bacaan melalui soal pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk memahami informasi, mengevaluasi hingga menemukan solusi dapat terintegrasi secara langsung dalam pembelajaran di kelas. Jika di setiap mata pelajaran, siswa sudah terbiasa mengerjakan soal-soal dengan narasi masalah kontekstual dan bukan lagi narasi teoretis maka bukan tidak mungkin, kecakapan literasi siswa kita bisa naik level.
Artikel Lainnya
-
257308/02/2020
-
52722/11/2022
-
121218/04/2021
-
Kiprah Pemuda dalam Menggebrak Peradaban
95326/12/2021 -
Keberhasilan Penerapan Kurikulum Merdeka
53909/05/2024 -
Covid-19 dan Ketika Semua Jadi Presiden
159012/04/2020