Pembangunan dan Kelestarian Lingkungan Alam Kita

Pustakawan di STIG
Pembangunan dan Kelestarian Lingkungan Alam Kita 13/06/2024 169 view Lainnya flickr.com

Memberi perhatian lebih dominan kepada lingkungan alam sejatinya adalah bagian dari perjalanan menuju pembangunan unggul yang artinya pembangunan bukan saja untuk mengejar target jumlah, tetapi juga untuk menjunjung mutu di mana kualitas lingkungan menjadi prioritas utama di samping kemakmuran yang ingin dicapai.

Ini juga bukan berarti pemerhati lingkungan menolak pertumbuhan, mereka juga percaya bahwa pembangunan ekonomi dapat menumbuhkan potensi yang lebih besar bagi kesejahteraan masyarakat demi memperbaiki kualitas hidup. Hanya yang menjadi perhatian adalah model pembangunan konvensional yang tidak berdiferensiasi dan hanya melalui satu jalan ditambah tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan. Bagaikan pertumbuhan sel-sel kanker, laju pembangunan di negeri ini terus berulang pada kecepatan konstan dan kuantitas lebih dipentingkan daripada kualitas itu sendiri. Suatu sikap yang semata-mata menggandrungi target pertumbuhan saja.

Perlu disadari setiap golongan, setiap masyarakat memiliki kebutuhan, prioritas dan kapasitasnya sendiri-sendiri. Hal seperti ini perlu dipertimbangkan sebelum menetapkan target dan memilih cara untuk mencapai tujuan pembangunan. Tujuan pembangunan ekonomi bagi pandangan petinggi-petinggi merupakan usaha untuk mencapai kualitas hidup yang optimal menurut mereka, tetapi kembali lagi, masyarakat yang bersangkutanlah yang terdampak baik dari segi lingkungan, sumber daya lokal, dan regionalnya.

Pembangunan yang semakin tidak terkendali di sekitar kita merupakan kombinasi dari berbagai prioritas dan ketergantungan kepada teknologi, keduanya memperoleh kedudukan yang sama-sama dominan. Sekarang, semakin terasa bahwa sumber daya yang selama ini dikeruk dan sengaja dirampas demi mencapai kemajuan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang mulai menunjukkan tanda-tanda kelangkaan. Selalu timbul kekhawatiran apakah luasnya pembangunan betul-betul dibarengi oleh kedalaman analisa ataukah cukup dengan perhatian terhadap satuan-satuan geografis tertentu.

Bersamaan dengan itu, penguasaan ilmu pengetahuan dan tekonlogi dengan keinginan mendapatkan kemakmuran material sebesar-besarnya menyebabkan terjadinya eksploitasi, khususnya di kawasan desa-desa. Kemakmuran materiil semakin dijunjung tinggi sampai pada taraf hilangnya sifat kepedulian dan keberlangsungan ekosistem tidak lagi diindahkan.

Dualisme “alam-manusia” yang melihat manusia sebagai bagian dari alam dan perlu belajar untuk hidup harmonis dengan alam tampaknya sulit untuk bisa diterapkan pada era masa kini. Ketika manusia merasa superior terhadap ketersediaan sumber daya alam di suatu wilayah, ia cenderung berhak mendominasi dan menggunakan semau-maunya. Dalam pandangan monisme, manusia dianggap sebagai suatu kesatuan di antara berbagai fenomena kosmos, sehingga pandangan ini bertentangan dengan tipe pembangunan yang menekankan pada akumulasi individu seraya meletakkan kepentingan bersama di urutan paling terakhir.

Semua parameter sosial pada akhirnya semata-mata diukur secara ekonomis terutama dari segi laba. Sebaliknya, kualitas lingkungan, ukuran-ukuran estetika dan sebagainya tidak selalu bisa dinilai dengan uang.

Gerakan lingkungan menghimbau kita untuk sadar diri dan kembali kepada alam. Bukan dalam bentuk kehidupan primitif tetapi menuju kehidupan modern yang lebih terhormat, akrab dan berwelas asih. Tidak ada bonafitnya membangun daerah untuk menyejahterakan rakyat jika dalam waktu dekat tidak kunjung mengambil sikap yang memihak pada kelestarian lingkungan, tentu sumber daya kita perlahan akan habis entah dilalap bencana atau karena penerapan sistem kebijakan yang keliru.

Lingkungan hidup merupakan soal hidup dan mati antar generasi bangsa. Ini adalah soal tempat kita hidup sekarang dan di kemudian hari. Apa guna pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi banyak pulau tenggelam atau dicaplok negara-negara tetangga. Hutan raya yang dahulu kaya kini berubah menjadi tanah tandus atau menjadi lahan sawit berjuta hektar luasnya. Kampung adat yang mestinya dijaga keberadaannya tersingkir sudah dari tanah leluhur mereka sendiri. Air yang dahulu bening menyegarkan menjelma menjadi racun pahit yang mematikan karena limbah dari pipa pabrik terus mengalir 24 jam. Beberapa spesies flora-fauna satu-persatu masuk ke dalam daftar mahluk punah dan kita tidak lagi punya apapun untuk bisa ditunjukkan kepada dunia apa yang istimewa dari negeri tercinta ini.

Ada fajar untuk peradaban, ada tengah hari tetapi ada juga rembang petang, walaupun berbeda tentang sebab musababnya, perhatian kepada kelestarian lingkungan barangkali merupakan bentuk dari sebuah keprihatinan. Rasanya, di negeri ini masih tersisa akar-akar pandangan lama tentang kemanunggalan manusia-alam raya, tradisi mawas diri dan kesederhanaan. Namun, seberapa jauh itu semua dapat bertahan terhadap godaan untuk berlomba-lomba menyabet gelar kemakmuran yang bergemerlapan? Ini bukan ramalan, ini pengalaman nyata. Mari berbenah sekarang atau musnah bersama.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya