Fraudulent Populism: Ketika Politik Demokrasi Diperalat demi Kepentingan Elit

Populisme, dalam konteks demokrasi modern, sering kali dijadikan sebagai instrumen untuk menanggapi ketidakpuasan sosial dan ketidakadilan struktural. Dalam banyak hal, retorika populis berfungsi untuk mengklaim suara rakyat, khususnya mereka yang merasa terpinggirkan oleh sistem yang ada. Namun, dalam praktiknya, fenomena yang dikenal sebagai fraudulent populism atau populisme yang menyesatkan, mengungkapkan kontradiksi mendalam: di balik klaim untuk mewakili rakyat banyak, terdapat kecenderungan untuk memanipulasi sentimen populer demi kepentingan politik dan ekonomi elit. Fenomena ini mengancam untuk meruntuhkan substansi demokrasi itu sendiri, mengaburkan peran politik sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan kolektif, dan mengarah pada penyerapan kekuasaan oleh kelompok-kelompok tertentu yang pada akhirnya mengerdilkan demokrasi itu sendiri.
Dalam dinamika politik, seperti salah satunya tindakan anti-kritik dan pembungkaman pers seperti yang dilakukan Duterte terhadap ABS-CBN dan Maria Ressa dapat dipahami sebagai bagian dari fraudulent populisme. Dalam konteks ini, pemimpin populis menggunakan legitimasi dari dukungan rakyat untuk melemahkan prinsip-prinsip demokrasi liberal—khususnya kebebasan berekspresi dan independensi media, yang merupakan elemen fundamental dalam demokrasi substantif.
Fraudulent populisme bekerja dengan mengklaim representasi tunggal atas “kehendak rakyat”, sehingga segala bentuk kritik—termasuk dari media independen—dipandang sebagai pengkhianatan terhadap rakyat, bukan sebagai mekanisme checks and balances yang sehat. Ketika media dikendalikan atau dibungkam, maka ruang publik direduksi hanya untuk menyuarakan narasi penguasa, dan ini menandai pergeseran dari demokrasi prosedural menuju otoritarianisme yang diselimuti legitimasi elektoral. Dengan demikian, pembungkaman pers oleh Duterte tidak hanya sekadar tindakan represif, tetapi merupakan manifestasi nyata dari fraudulent populism yang menunggangi institusi demokrasi untuk merusaknya dari dalam.
Munculnya konsep yang dapat disebut sebagai fraudulent populism atau populisme menyesatkan, sebuah distorsi dari idealisme populisme yang sejati. Fraudulent populism yakni sebagai strategi politik demokrasi yang menyesatkan, di mana elit penguasa atau aktor politik tertentu memanfaatkan klaim populis secara instrumental untuk menutupi agenda tersembunyi yang sebenarnya bertujuan memperkuat kekuasaan mereka sendiri. Alih-alih menjadi suara rakyat yang otentik, populisme jenis ini berfungsi sebagai alat manipulasi yang menipu publik dengan janji-janji palsu dan retorika yang mengelabui, sehingga legitimasi demokrasi justru terkikis dan ruang partisipasi politik menjadi semu.
Hal itu bertujuan untuk mengurai bagaimana fraudulent populism beroperasi sebagai mekanisme destruktif dalam sistem demokrasi. bagaimana manipulasi retorika populis oleh elit tidak hanya merusak kualitas demokrasi, tetapi juga memperkuat dominasi politik yang eksklusif dan otoriter. Melalui pemahaman ini, seharusnya masyarakat harus lebih dapat menyadari kompleksitas populisme dan membedakan antara aspirasi rakyat yang autentik dan manipulasi politik yang berpotensi mengancam prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Pelbagai penyalahgunaan sistem demokrasi hari ini banyak dipertontonkan pada masyarakat oleh elit politik dan ekonomi sering kali mengarah pada pemanfaatan mekanisme demokratis untuk keuntungan pribadi, yang pada gilirannya merusak prinsip dasar transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial. Ketika elit mengeksploitasi ketidakpuasan publik untuk memperkuat posisi mereka, mereka sering kali menggunakan retorika populis untuk memperoleh legitimasi rakyat, meskipun kebijakan yang diambil cenderung menguntungkan segelintir kelompok dan memperburuk ketimpangan sosial. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan yang semakin mendalam dalam distribusi kekayaan, di mana kebijakan yang seharusnya menyasar kesejahteraan bersama justru memperkokoh dominasi kelompok elit dalam politik dan ekonomi. Dalam jangka panjang, ketimpangan ini merusak kohesi sosial dan menggoyahkan fondasi demokrasi itu sendiri, karena mayoritas rakyat merasa terpinggirkan dan tidak terwakili. Penyalahgunaan ini mengarah pada konsentrasi kekuasaan yang semakin tidak terkendali, yang mempersulit tercapainya keadilan sosial dan memperburuk krisis kepercayaan terhadap sistem demokrasi yang ada.
Dampak yang terjadi pada fenomena fraudulent populism yang merusak terhadap demokrasi, terutama dalam hal erosi kepercayaan publik terhadap sistem politik dan lembaga-lembaga demokrasi. Pemimpin populis sering kali menggunakan retorika yang menyesatkan untuk memanipulasi ketidakpuasan publik, mengklaim bahwa mereka mewakili kehendak rakyat sementara dan yang sebenarnya memperkuat kepentingan pribadi atau kelompok elit tertentu. Tindakan ini menyebabkan keraguan terhadap integritas lembaga-lembaga demokrasi, seperti parlemen dan pengadilan, yang seharusnya menjadi pilar pengawasan dan penyeimbang kekuasaan.
Selain itu, populisme yang menyesatkan juga memperburuk polarisasi sosial dan politik dengan memanfaatkan perbedaan yang ada dalam masyarakat, menciptakan konflik antara rakyat dan elit, serta memperdalam jurang perpecahan antar kelompok sosial. Ketegangan ini menghambat tercapainya konsensus dalam kebijakan publik dan merusak kohesi sosial.
Lebih jauh lagi, pemimpin populis sering kali berusaha melemahkan lembaga-lembaga demokrasi dengan mengurangi independensinya, menjadikannya alat yang dapat disesuaikan dengan kepentingan politik mereka. Pelemahan lembaga-lembaga ini menurunkan kualitas checks and balances, membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan, dan mengancam fondasi demokrasi itu sendiri.
Solusi sejati terhadap fraudulent populism memerlukan pendidikan politik yang kritis agar warga memiliki kapasitas intelektual untuk menilai narasi populis secara rasional dan tidak mudah dimanipulasi oleh retorika yang menyesatkan. Di sisi lain, transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan harus ditegakkan sebagai mekanisme kontrol yang mencegah konsentrasi kekuasaan di tangan elit yang mengeksploitasi sistem demokrasi, serta media independen dan masyarakat sipil yang aktif memainkan peran penting sebagai pengawas kekuasaan dan pembentuk ruang publik yang sehat, guna melawan dominasi wacana politik yang eksploitatif dan merusak tatanan demokrasi.
Fraudulent populism merusak demokrasi dari dalam dengan menggunakan legitimasi rakyat untuk melanggengkan kekuasaan elit. Retorika anti-elit yang mereka usung sering kali hanya kedok untuk meminggirkan institusi demokrasi dan mengaburkan akuntabilitas. Akibatnya, terjadi erosi kepercayaan publik dan pelemahan terhadap mekanisme checks and balances. Demokrasi direduksi menjadi alat elektoral semata, tanpa substansi keadilan dan kesetaraan. Menjaga integritas demokrasi mensyaratkan kesadaran politik kritis, lembaga yang independen, dan komitmen agar politik tetap berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
Artikel Lainnya
-
199708/12/2020
-
34025/09/2024
-
42917/07/2023
-
Babak Akhir Suriah di Bawah Rezim Al-Assad
49818/12/2024 -
Etika Komunikasi di Media Sosial
175919/09/2021 -
Pariwisata: Cara Manusia Kabur dari Realita
53427/12/2022