Paradoks Pariwisata dengan Komplemen Adat

Banyak daerah-daerah wisata di Sumatera Barat (Sumbar) yang menjual kekentalan adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Hal ini sebagaimana gambaran orang Minangkabau tempo dulu yang sering kita baca dalam buku-buku antropologi atau nostalgia mereka yang pernah hidup di Minangkabau masa lampau kemudian ditampilkan ke muka publik, supaya mereka terpikat untuk mengunjungi dan mempelajari tentang budaya tersebut.
Para turis yang hadir ke sana, secara otomatis juga akan diberikan risalah panjang mengenai bagaimana budaya gotong royong yang telah mengelupas dari kebudayaan masyarakat Minangkabau hari-hari ini, masih berurat dan berakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di daerah wisata X atau Z. Lebih-lebih pada wisatawan asing. Pemerintah dan tourguide akan menambahi banyak sekali rempah-rempah pelezat cerita, agar wisatawan asing semakin terpikat untuk menelusuri daerah wisata X atau Z tersebut.
Banyak juga daerah wisata di Minangkabau, yang berupaya meniagakan kebesaran rumah adat mereka dengan beragam cara yang pastinya untuk kepentingan pariwisata. Di salah satu kabupaten di Sumatera Barat, hal ini sering sekali dipraktikkan pada wisatawan lokal, maupun mancanegara dengan embel-embel bahwa rumah adat mereka dibangun di atas alas adat dan diberi tonggak syariat.
Tapi tak ada soal, karena semua itu semata-mata untuk menampilkan lokalitas yang mengagumkan dari Minangkabau. Sebab bangunan-bangunan tua yang hampir rubuh di makan zaman tentu akan direstorasi, meskipun tujuannya adalah untuk menarik minat wisatawan. Toh, memang kenyataannya cara paling ampuh untuk merawat regalia dari sebuah kebudayaan dewasa ini dengan menjadikannya pusat pariwisata.
Akan tetapi, pencitraan tentang kekayaan budaya dan adat yang diterapkan oleh lembaga-lembaga terkait pada masyarakat seperti lumpur hisap. Ia seakan-akan mengangkat derajat dari kebudayaan satu tingkat, namun membenamkan esensinya 1000 Kilometer ke dalam jurang kepunahan.
Dengan kata lain, karakter yang dibangun dengan cara instan akan hilang pula dengan cara yang instan. Faktanya, selepas event atau pulangnya para tamu setelah berwisata, kebanyakan daerah pariwisata dengan embel adat akan menanggalkan kebudayaan dan adat yang didramakan itu dalam lemari pakaian.
Generasi mudanya, justru lebih bobrok dari itu. Setelah event kita tidak akan melihat mereka berdiskusi di lapau, atau di surau, melainkan sibuk dengan hajat individunya masing-masing. Berbeda dengan apa yang diniagakan mereka untuk kepentingan pariwisata, tentang masih bertahannya kemurnian kebudayaan agung Minangkabau yang adiluhung di tengah-tengah menggilanya perubahan zaman. Benar-benar sebuah kemunafikan yang terdidik atau dididik untuk menjadi munafik guna memikat para wisatawan agar tertarik datang ke wilayah wisata yang dibangun di atas slogan adat.
Sulit menerka apa sebab-musababnya. Entah karena pemahaman budaya dan adat tentang Minangkabau tidak diberikan secara intens pada para pemuda oleh Pemda dan lembaga terkait, sebagaimana intensnya mereka membangun dan mempromosikan pariwisata dengan embel-embel adat atau karena hal lain, yang belum terendus. Jika benar demikian, tentulah sangat kontradiktif dengan kebudayaan Minangkabau sejati.
Padahal, dalam buku sejarah, antropologi, dan sosiologi tentang masyarakat Minang, telah terang-benderang dituliskan bahwa kunci ketahanan budaya Minangkabau pada masa lampau karena adanya keberlanjutan pendidikan. Pendeknya, Tali tigo sapilin konsisten mendidik para generasi muda, demi kelestarian adat-istiadat Minangkabau itu sendiri. Oleh karena itu, mendidik manusia yang akan melestarikan kebudayaan tersebut dengan sadar, tanpa ada beban makna apapun di dalamnya (seperti uang, citra, dan sebangsanya) adalah tujuan paling penting.
Segala fenomena yang terjadi dalam diskursus kebudayaan ini mesti segera dibenahi. Paling tidak mindset kita semua tentang budaya harus kembali diluruskan, terutama Pemda dan lembaga terkait. Kemudian, setiap sendi kebudayaan tak benda yang dirawat tersebut mesti terlepas dari segala bentuk sandiwara dan kemunafikan.
Yang harus Pemda dan lembaga terkait ketahui adalah, budaya sejatinya tidak hadir hanya sebagai simbol belaka, apalagi hanya untuk kepentingan citra demi tujuan pariwisata. Akan tetapi, sejak masa lampau, budaya hidup dalam setiap tindak-tanduk manusia yang memakainya sebagai perilaku, maupun pola hidup.
Pendeknya, kebudayaan itu harus dijaga. Sebab, ia adalah bukti terakhir bahwa peradaban menakjubkan itu dulu pernah menjadi perilaku kesaharian masyarakat kita sebelumnya. Atau dengan kata lain, kebudayaan itu harus dilestarikan sebagai kewajiban bukan hak.
Artikel Lainnya
-
126613/04/2021
-
138325/10/2020
-
38216/11/2023
-
J.B Sumarlin, Krisis Moneter dan Menteri Purbaya
2209/10/2025 -
Mengurai Kemacetan dengan Tata Aturan Transportasi dan Parkir Terintegrasi
7430/05/2025 -
Harta, Tahta, dan Newcastle United
99815/10/2021