Harta, Tahta, dan Newcastle United

Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag
Harta, Tahta, dan Newcastle United 15/10/2021 998 view Politik middleeasteye.net

Pembelian klub sepak bola Newcastle United mengukuhkan dominasi negara Timur Tengah atas penguasaan klub sepak bola Eropa. Pangeran Mohammad Bin Salman (MBS), melalui Public Investmen Fund, menguasai 80 persen saham Newcastle United. Langkah ini menyusul kepemilikan Syeikh Nasser El Khelaifi dari Qatar Sport Investment atas klub Paris Saint Germain (Prancis) dan Syeikh Mansour dari UEA atas Manchester City. Saat ini, dengan kekayaan masing-masing, Arab Saudi, UEA, dan Qatar menjadi pihak di balik sepuluh besar klub sepak bola terkaya di dunia.

Secara ekonomi, langkah pembelian Newcaste United tersebut realistis. Diperkirakan, nilai kapitalisasi untuk hak siar TV dan Radio Liga Primer Inggris dalam rentang 2019 - 2022 saja bisa mencapai hampir 12 milyar USD. Nilai tersebut belum termasuk transaksi klub dalam penjualan dan pembelian pemain, sponsor, merchandise, penjualan tiket, dan lainnya.

Namun, beberapa masalah pelik pangeran MBS dan intrik ekonomi Saudi Arabia memantik kontroversi yang membayangi proses pembelian Newcastle United. Jika tidak dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin beberapa masalah tersebut bisa menjadi batu sandungan kelak. Beberapa masalah tersebut setidaknya terangkum dalam dua hal.

Pertama, sentimen atas tindakan pelanggaran HAM dan militer MBS. Pelanggaran HAM yang dimaksud adalah kasus terbunuhnya jurnalis Washington Post, Jamal Khasoggi, oleh para agen rahasia Saudi di konsulat Saudi Arabia di Istanbul Turki pada 2018. Jamal Khasoggi dibunuh dengan latar belakang kritik kerasnya yang konstan pada MBS dan pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia.

Kedua, kasus hukum bisnis. Otoritas komunikasi dan informasi Arab Saudi mendapat sorotan karena kasus pembajakan siaran Liga Inggris yang dilakukan BeoutQ, stasiun televisi berbasis satelit Saudi.

Siaran sepak bola mendapat animo luas dari publik Saudi. Sementara, hak siar Liga Inggris dipegang oleh beIN Sports, sebuah raksasa penyiaran olah raga yang berbasis di Qatar.

Masalahnya, semenjak 2017 Arab Saudi memutus hubungan diplomasi dengan Qatar dengan memblokade batas teritori darat, laut, dan udara. Blokade terhadap Qatar otomatis menghilangkan relay siaran beIN Sports ke Arab Saudi.

Namun demikian, BeoutQ mengambil keuntungan sepihak dengan melakukan sabotase frekuensi lewat satelit. BeIN Sports tentu saja tidak tinggal diam dan mengajukan keberatan ke WTO (World Trade Organization), sebagai lembaga arbitrer untuk perselisihan dagang antarnegara.


Tuduhan Sportswashing

Pada tahun 1963, Tottenham Hostpur memenangi trofi European Cup Winners’s Cup. Trofi ini adalah gelar pertama bagi klub Inggris pada level Eropa. Danny Blanchflower, salah satu pilar penting permainan Hotspur saat itu, mengatakan bahwa permainan sepak bola adalah permainan tentang kemuliaan dan sportivitas.

Seiring waktu, anggapan Blanchflower mulai tergeser oleh kepentingan bisnis. Saat memenangi gelar Cup Winners’s Cup, jersey Spurs masih terlihat bersih dari hiasan sponsor.

Kini, bisnis dan industri telah mengubah wajah sepak bola dengan motif yang kian beragam. Dari yang semula murni hanya untuk pengembangan prestasi klub dan bisnis jual beli pemain, hak siar, merchandise, dan sebagainya, sepak bola dinilai telah diwarnai oleh tindakan sportwashing.

Istilah sportwashing mulai mengemuka saat Amnesty International menyorot pembelian Manchester City oleh Sheikh Mansour. Amnesty International menemukan indikasi bahwa pembelian klub Manchester City oleh Emirates yang sepenuhnya didukung pemerintah Uni Emirat Arab adalah upaya mereka untuk menutupi masalah HAM di wilayah mereka. Dalam pengertian ini, sepak bola dinilai menjadi sarana untuk kepentingan menutupi borok pelanggaran HAM yang diindikasikan terjadi dan dilakukan pihak pembeli atau pemasok dana klub.

Sportwashing juga menjadi sorotan saat Gazprom, raksasa gas dan minyak Rusia, menjadi sponsor Zenit St Petersburg, Schalke, dan Chelsea. Gaszprom disorot oleh lembaga lingkungan Greenpeace atas eksplorasi gas mereka yang merusak lingkungan di Arktik dan berbagai praktik kolusi serta korupsi untuk memuluskan langkah bisnis mereka.

Kini, dengan beragam masalah yang mengiringi kebijakan mereka, MBS dan pemerintah Saudi Arabia juga dinilai tengah melakukan sportswashing dengan pembelian Newcastle United. Langkah MBS dan Saudi Arabia dinilai berupa replikasi kasus Syeikh Mansour, Gazprom, dan lainnya. Sebagian publik Inggris, Amnesty International, Center for Sport and Human Rights, dan berbagai kalangan lainnya gencar menyuarakan tuduhan ini.

Memahami Kebijakan

Mengantisipasi dan mengimbangi beragam sorotan tersebut, pemerintah Saudi dan MBS mendorong berbagai ide reformasi pada berbagai diplomasi luar negeri dan birokrasinya.

Pada level diplomasi, Saudi telah intensif membuka diri untuk melakukan pembicaraan dengan Iran dan Rusia sambil tetap menjaga hubungan baik dengan Amerika. Saudi juga telah mengakhiri blokade Qatar pada awal tahun ini.

Pada jalur kebijakan birokrasi, Saudi Arabia menyatakan akan mereformasi diri secara masif dalam sektor ekonomi. Arab Saudi menyadari bahwa lambat laun minyak yang menjadi produk utama dan sandaran ekonomi Arab Saudi akan berkurang dan menyusut drastis.

Kesadaran Arab Saudi untuk mengurangi dan melepaskan diri dari ketergantungan pada minyak makin menguat. Pada 2017, Saudi menegaskan tekad tersebut dalam dokumen Saudi Arabia Vision 2030. Didalamnya terdapat tekad mereka untuk mengembangkan pendekatan baru untuk ekonomi, politik, dan budaya.

Titik penting Vision 2030 adalah upaya Saudi untuk menjadi negara yang paling berpengaruh dalam ekonomi dunia. Salah satu langkah yang ditempuh adalah ekspansi dalam bidang ekonomi nonmigas, misalnya dalam bidang pariwisata dan olah raga. Dalam konteks ini, pengembangan kota mandiri Neom di ujung Laut Merah dan kawasan terpadu Al Qiddiya di Riyadh adalah senafas dengan ekspansi ekonomi olah raga Saudi Arabia. Dalam konsep dan spektrum pengembangan pendekatan baru untuk ekonomi, politik, dan budaya, langkah pembelian Newcastle United berada di bawah koridor yang tepat sesuai Vision 2030.


Sepak Bola dan Jalan Pembebasan

Namun, sebagaimana yang ditulis dengan apik oleh Barney Ronay di The Guardian (2019), kemunafikan dan pat gulipat bisa jadi merupakan hal yang sulit dihindari dalam bisnis sepak bola. Saat mengkritik keterlibatan kekuatan petrodollar Timur Tengah dalam sepak bola, toh masyarakat Inggris diam saja saat Arsenal mendapat guyuran dana dari rezim diktator Rwanda, Paul Kagame, atau saat pemilik Liverpool, Stan Kroenke, menyumbang jutaan dolar bagi kampanye rezim opresif Donald Trump.

Labih jauh, kemunafikan itu terjadi untuk kepentingan bisnis senjata dan olahraga pada akhirnya. Dalam catatan media Sky News, pemerintah Inggris adalah pengekspor senjata terbesar keenam bagi Saudi Arabia pada 2017.

Senjata itu dipakai Saudi untuk memerangi pemberontak Houthi di negara tetangganya, Yaman. Dalam relasi demikian, bisa ditebak, penolakan Footbal Association (FA) atas niat pada Newcastle United tidak akan mampu membendung hasrat MBS.

Apakah itu artinya olahraga, khususnya sepak bola, akan makin kehilangan ruh sejatinya berupa kemuliaan sebagaimana yang disuarakan Blanchflower? Dalam hal tertentu mungkin memang hilang, sebutlah di antaranya adalah kehendak untuk menjungjung nilai kemuliaan yang steril dari campur tangan kepentingan politik praktis.

Namun, politik juga menjadi “jalan pembebasan” yang dilakukan beberapa pemain sepak bola dalam mengekspresikan pikiran dan semangatnya. Pada 2011, dalam sebuah laporan Footbal Rebels yang melibatkan Eric Cantona, diceritakan bahwa beberapa pesepak bola memiliki peran yang besar dalam mendorong perdamaian dan kemakmuran negaranya. Salah satu rebels itu adalah Didier Drogba.

Saat perang saudara berkecamuk di Pantai Gading pada awal 2000-an, Drogba bersumpah dan mengajak Presiden Laurent Gbagbo serta para pemberontak untuk melakukan gencatan senjata. Drogba menjadikan lolosnya Pantai Gading pada Piala Dunia 2006 sebagai sarana untuk mempersatukan Gbagbo dan para pendukung mantan Presiden Robert Guei. Dengan kebanggaan lolos sebagai kontestan piala dunia, genjatan senjata pada perang saudara Pantai Gading yang telah berjalan selama lima tahun dapat disepakati dan Drogba memiliki andil besar dalam proses tersebut.

Pada akhirnya, menarik untuk menunggu lebih jauh, akan seperti apa pilihan dan warna Liga Inggris berikutnya. Kontroversi pembelian Newcastle akan menguji ketanggguhan kuasa, diplomasi, dan uang MBS. Sebaliknya, Liga Inggris dan Newcastle dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah, antara menjaga kemurnian sepak bola dari kepentingan politik dan upaya meningkatkan daya saing Liga Primer Inggris.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya