Menguji Ketajaman Etika Gibran Pasca-Keputusan MKMK

Pengajar
Menguji Ketajaman Etika Gibran Pasca-Keputusan MKMK 16/11/2023 292 view Politik .belasting.id

Kehadiran Gibran Rakabuming Raka di panggung kontestasi politik pemilihan presiden (pilpres) 2024 menghadirkan diskursus yang hangat di ruang publik. Hal ini terjadi ketika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang batas usia minimal calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) menyatakan batas minimal capres dan cawapres berusia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan hasil pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Keputusan ini syarat kontroversial sebab MK secara tidak langsung sedang menyediakan karpet merah bagi Gibran Rakabuming.

Keputusan MK di atas secara konstitusional bisa dibenarkan sebab proses perubahan konstitusi itu berjalan sesuai hukum. Namun, yang menjadi persoalannya ialah apakah keputusan MK itu diproses sesuai dengan kode etik MK atau tidak. Hal ini penting mengingat system politik Indonesia yang demokratis menjamin adanya kebebasan, keadilan, dan keseteraan untuk semua masyarakat. Karena itu, gugatan mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah langkah yang sangat tepat untuk meninjau secara etis keputusan MK tentang batas usia minimal.

Berdasarkan laporan itu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan bahwa Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran kode etik MK sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama yakni prinsip Ketakberpihakan, prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Dengan Demikian, MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.

Dengan menjatuhkan sangsi pemberhentian kepada ketua MK, Anwar Usmas dari jabatan Ketua MK maka semakin jelas bahwa dalam ketupusan MK tentang batas usia minimal mengalami cacat etik. Publik bertanya, mengapa Anwar Usman berani melakukan pelanggaran kode etik? Sesuatu yang tidak terbayangkan hal itu terjadi dalam keputusan Ketua MK.

Anwar Usman adalah sosok yang sederhana namun mempunyai komitmen yang tinggi dalam menegakkan keadilan dan penjaga gerbang konstitusi. Jabatan yang pernah didudukinya ialah Asisten Hakim Agung (1997-2003), Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung (2003-2006), menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta (2005), Hakim Konstitusi Periode Pertama (6 April 2011 s/d 6 April 2016), Periode Kedua (6 April 2016 s/d 6 April 2026), Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Periode Pertama (14 Januari 2015 – 11 April 2016), Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Periode Kedua (11 April 2016 s/d 2 April 2018), Ketua Mahkamah Konstitusi (2 April 2018 s/d 2 Oktober 2020). Karena itu, berdasarkan sepak terjang Anwar Usman dalam dunia pengadilan dan hukum tidak memungkinkan Anwar bisa melakukan pelanggaran kode etik sampai dirinya harus menerima keputusan MKMK untuk diberhentikan dari jabatan Ketua MK.

Secara Etis, Bagaimana seharusnya?

Hal yang perlu diketahui lebih awal ialah bahwa etika berbeda dengan moralitas. Moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup. Sedangkan, etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional yang menentukan sikap dan pola tingkah laku manusia baik secara pribadi maupun secara kelompok. Oleh karena itu, etika, menghimbau orang untuk bertindak sesuai dengan moralitas, tetapi bukan karena tindakan itu diperintahkan oleh moralitas melainkan karena ia sendiri tahu bahwa hal itu memang baik baginya. Ia sendiri sadar secara kritis dan rasional bahwa ia memang sudah sepantasnya bertindak seperti itu (Catarina Natasha Manurung, 2011: 126).

Berkaca pada konsep teoritis etis di atas, bagaimana seharusnya tanggapan etis Gibran setelah diputuskan bahwa Anwar Usman telah melakukan pelanggaran kode etik MK? Gibran mempunyai tanggung jawab etis terhadap ketupusan MKMK. Tanggung jawab etis yang dimaksudkan ialah keputusan Anwar Usman tentang batas usia capres dan cawapres “menghancurkan” reputasi personal Anwar Uswan dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi MK yang bertugas menjaga konstitusi Indonesia. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas dan independensi MK sangat berbahaya bagi masa depan Negara Indonesia. Karena itu, pelanggaran kode etik MK mesti menjadi beban yang harus ditanggung oleh Gibran. Selain itu, publik membaca bahwa keputusan Anwar Usman bertujuan untuk meloloskan Gibran menjadi cawapres 2024 karena bagaimana pun antara Anwar dan Gibran mempunyai hubungan keluarga yang sangat dekat ditambah lagi status sosial Gibran sebagai anak presdien. Jadi, keputusan Anwar Usman itu tidak bersifat tunggal melainkan ganda.

Karena itu hemat penulis, salah satu bentuk tanggung jawab etis Gibran setelah keputusan MKMK ialah menarik diri dari pencalonan cawapres 2024. Gagasan ini memang sangat ekstrim. Namun, tujuan penarikan itu ialah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi MK sebagai penjaga konstitusi Negara Indonesia. Hal ini penting agar menjadi pelajaran yang berharga bagi Negara Indonesia yang sering mempermainkan hukum atas dasar kepentingan sendiri. Banyak kebijakan yang inkonstitusional saat ini yang dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum itu sendiri. Boleh dikatakan Indonesia saat ini sedang dalam kondisi darurat etika dan moral. Orang-orang (elit politik) sering menyalagunakan kekuasaan untuk melabrak hukum yang ada demi kepentingan segelintir orang. Fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) akan selalu eksis jika tidak ada keberanian etis seseorang untuk melawan praktik KKN tersebut.

Selain itu, menurut Endang Tirtana dalam artikelnya “Gibran Memajukan Gagasan bukan Perasaan” (Media Indonesia, 12 November 2023) Gibran Rakabuming Raka adalah representasi dari generasi milenial. Tentunya, kehadirannya di atas panggung kontestasi politik 2024 menggambarkan bahwa saatnya peran kaum muda milenial dalam dunia politik sangat urgen. Masa depan Indonesia Emas ada di tangan kaum muda yang mempunyai integritas dan kualitas diri yang tinggi. Karena itu, menarik diri dari cawapres adalah langkah yang sangat tepat untuk menggambarkan integritas dan kualitas Gibran yang mewakili kaum muda Indonesia. Dengan kata lain, Gibran menarik diri dari cawapres saat ini untuk menjadi pemimpin di tahun politik berikutnya, tahun 2029.

Dan terakhir ialah Gibran memilih untuk menarik diri sebagai cawapres adalah salah satu bentuk solidaritas humanistik Gibran kepada kaum muda zaman dulu yang berjuang mati-matian untuk melakukan reformasi politik yang lebih demokratis dan penegakan hukum yang lebih kuat. Di tengah krisis etika dan moral, Gibran seharusnya berdiri tegak di atas panggung politik yang bersih untuk mengampanyekan Indonesia bebas KKN dan pro konstitusi. Dengan demikian, cita-cita Indonesia emas di tahun 2045 akan tercapai dengan baik.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya