Ospek Dibubarkan Saja?

Kekerasan pada dunia pendidikan di Indonesia telah menjadi realitas yang telah diketahui oleh banyak pihak.
Permasalahan tersebut akhir-akhir ini menjadi perbincangan yang hangat karena kasus-kasus baru menyeruak kembali. Kekerasan dalam tembok sekolah serta kampus sudah mengakar dari satu generasi ke generasi lain. Hal ini adalah tamparan keras bagi cerminan pendidikan tanah air dengan adanya kekerasan yang terus menghantui.
Adanya kekerasan yang terjadi tidak hadir dengan serta merta saja. Pemerintah juga ikut andil dalam permasalahan ini dengan belum adanya regulasi yang efektif untuk mencetak generasi cerdas juga bermoral. Layaknya lingkaran setan hal ini diperparah dengan keadaan masyarakaat yang tengah mengalami anomali karena krisis ekonomi. Perlahan-lahan nilai-nilai keadaban pendidikan tergerus kegilaan dalam realitas kehidupan masyarakat (SeptiGumiandari,2009).
Fungsi pendidikan haruslah menjadi tempat guna membentuk peserta didiknya agar dapat memiliki wawasan yang luas, berkepribadian baik dan bukan wadah untuk adanya kekerasan.
Institusi pendidikan adalah ibu dari humanisasi masyarakat yang bertugas untuk melahirkan intelektual muda. Intelektual yang mampu untuk menciptakan transformasi dalam masyarakat dan mengkritisi ketidakadilan. Namun pada kenyataannya kaderisasi dalam institusi pendidikan hanyalah tentang kekerasan dan dendam yang tak kunjung usai. Apabila merujuk kepada kasus ospek dan perploncoan dapat ditarik kesimpulan bahwa proses tersebut hanya meninggalkan sikap pesimis dan juga apatis. Untuk membedah ini lebih dalam lagi kita harus mengetahui bagaimana bentuk kekerasan yang kerap dialami pada saat ospek.
Bentuk kekerasan yang mudah untuk dicermati ketika ospek adalah berbentuk verbal dan fisik. Kekerasan verbal dapat mengacu kepada kajian yang ditulis oleh Fadhilah Syakirah dan Ahmad Rudy Fardiyan berjudul kekerasan verbal mahasiswa senior terhdap mahasiswa junior dalam relasi intersubjektif.
Studi kasus yang dibahas dalam jurnal tersebut mengangkat kegiatan orientasi di Universitas Lampung. Lebih lanjut memang senior mengakui bahwa kegaiatan orientasi tersebut setiap digelar pasti diwarnai dengan kekerasan. Tetapi hal tersebut berhenti sampai tahun 2014 dan digantikan dengan kekerasan verbal. Tujuan dari kekerasan verbal ini untuk membentuk mental yang kuat dari mahasiswa baru serta menumbuhkan jiwa solidaritas. Hasil yang didapat sungguh jauh dari harapan, mahasiswa yang mengalami kekerasan verbal oleh para seniornya cenderung merasakan takut,kecewa,serta sakit hati. Namun ketika waktu berjalan, senior melakukan pendekatan melalui diskusi dan sharing dengan juniornya untuk memberikan penyadaran bahwa kekerasan verbal penting dilakukan dalam proses kaderisasi.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa selain kekerasan verbal juga terdapat kekerasan fisik. Tidak lepas dari ingatan kita setahun yang lalu kegiatan orientasi dengan kekerasan fisik di Universitas Khairun,Ternate,Maluku Utara. Dikutip dari kompas.com kegiatan ospek tersebut viral karena terdapat video yang menunjukkan mahasiswa baru sedang menaiki tangga dengan jalan jongkok. Selain itu, mahasiswa baru juga diperintahkan untuk meminum air yang bercampur dengan ludah secara estafet. Padahal sudah terdapat tiga peraturan yang mengatur kegiatan di institusi pendidikan yaitu UU No.12 Tahun 2012,Peraturan Pemerintah No 4. Tahun 2014 serta Permenrisdikti No.50 Tahun 2018. Semua peraturan tersebut bertujuan untuk menghargai serta menghormati kewajiban dan hak pihak-pihak terkait dalam penerimaan mahasiswa baru.
Perlu disadari memang bahwa perundungan tidak memandang dari mana jurusan mahasiswa tersebut menuntut ilmu. Dugaan perundungan berakhir dengan korban jiwa dialami dokter muda di Surabaya. Dilansir dari vice.com mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah Plastik Universitas Airlangga yang tengah menjalani stase bunuh diri dengan meminum cairan pembersih lantai. Dugaan awal penyebab bunuh diri dokter muda tersebut karena kerap kali di bully oleh seniornya. Terlepas penyebab kejadian tersebut perlu adanya pengkoreksian kembali terhadap ospek dan hubungan senior serta junior dalam institusi pendidikan.
Untuk menghindari kekerasan dalam institusi pendidikan haruslah terdapat visi yang jelas terkait dengan sistem pendidikan. Selain itu transparansi setiap kejadian yang mengarah kepada unsur kekerasan haruslah dibuka selebar-lebarnya kepada publik. Ini juga menjadi tugas berat institusi pendidikan dan orang tua agar mengetahui secara lebih mendetail tujuan dan manfaat dari kegiatan ospek. Berbeda pendapat disertai berdebat dengan menggunakan argumentasi yang membangun sangatlah diharapkan. Tetapi harus diingat tidak boleh ada kekerasan verbal ataupun fisik seberapa kecil bentuknya(Hujair AH.Sanaky,2011). Jangan sampai kegiatan orientasi mahasiswa hanya menjadi praktek feodalisme tiada akhir.
Terakhir ada baiknya menutup tulisan ini dengan lirik lagu puritan dari Homicide “lawan api dengan api dan biarkan semua rata dengan tanah”.
Daftar Pustaka:
• Gumiandari, Septi. "KEKERASAN DAN KONTESTASI KEKUASAAN DALAM PENDIDIKAN." Jurnal Islam Indonesia 1.01 (2009): 26-53.
• Sanaky, Hujair AH. "Masa Orientasi Siswa/Mahasiswa Sebagai Media Orientasi Pendidikan Tanpa Kekerasan." EL TARBAWI 4.1 (2011): 43-51.
• https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/30/184958365/viral-ospek-mahasiswa-universitas-khairun-minum-air-bercampur-ludah-apa?page=all
• https://www.vice.com/id_id/article/8897zb/dokter-residen-bedah-plastik-unair-surabaya-bunuh-diri-minum-vixal-diduga-karena-bullying-senior
Artikel Lainnya
-
41307/10/2024
-
168122/01/2023
-
275610/03/2020
-
Mendefinisikan Kembali Kata Cukup
11804/02/2025 -
86620/09/2023
-
Diplomasi Jakarta dan Pembangunan bagi Kelas-Kelas Sosial
168906/11/2019