Pendidikan Kita Terjun Bebas Setelah UN Dihapuskan, Benarkah?

Santri Ponpes Kreatif Baitul Kilmah
Pendidikan Kita Terjun Bebas Setelah UN Dihapuskan, Benarkah? 07/10/2024 71 view Pendidikan totabuan.co

Irwan Prasetyo, seorang konten kreator Tik-tok belakangan membuat konten yang cukup menyita perhatian publik. Irwan, dalam unggahannya menyebutkan bahwa lulusan SMA dari Indonesia tak bisa melanjutkan kuliah ke universitas luar negeri, salah satunya University of Twente.

Dilansir Kaltimtoday.co (23/09/2024) disebutkan bahwa universitas tersohor di Belanda tersebut tak lagi menerima secara langsung lulusan SMA dari Indonesia. Pasalnya, sejak Kemendikbud pada 2021 memutuskan Ujian Nasional (UN) dihapuskan, secara otomatis siswa SMA tak memiliki Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN). Di mana universitas di Belanda seperti University of Twente mensyaratkan SKHUN sebagai lampiran, dengan nilai minimal 75% di tiap-tiap mata pelajaran.

Pada laman resmi University of Twente pun dinyatakan bahwa langkah pemerintah Indonesia menghapuskan UN menyebabkan lulusan SMA Indonesia tidak setara dengan tingkat Pra-Universtas atau VWO. Imbasnya, universitas tersebut hanya menerima lulusan SMA di tahun 2020 ke bawah saja.

Nadiem Makariam pun sempat memberikan alasan mengapa harus ada penghapusan UN. Menurutnya, UN menjadi lahan diskrimatif dalam ruang lingkup pendidikan. Hanya anak-anak dari golongan menengah ke atas saja yang sanggup untuk mengikuti bimbel UN sebagai pembekalan menghadapi ujian. Sebaliknya, bagi anak-anak dari kalangan menengah ke bawah tentu saja kelabakan untuk membayar bimbel. Selain itu, Nadiem juga menyebutkan bahwa dengan penghapusan UN, diharapkan para siswa tidak terbebani tekanan akademis. Justru menurutnya, langkah ini bisa meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Dari sedikit uraian di atas, dalam sudut pandang penulis sendiri sangat menyayangkan dengan adanya penghapusan UN setidaknya dengan beberapa alasan. Pertama, UN merupakan wahana siswa di sekolah untuk saling bersaing secara sehat guna menunjukkan kompetensinya masing-masing. Dengan adanya UN, siswa akan berinisiatif untuk menjadi pembelajar aktif sebab di sanalah kapasitas seorang siswa bisa diukur. Penghapusan UN berdampak cukup fatal, sebab pada faktanya banyak lembaga yang tak memiliki filter memadai untuk meluluskan seorang siswa. Sederhananya, baik siswa yang bodoh maupun yang pintar, mereka akan lulus tanpa harus melalui UN.

Kedua, penghapusan UN memang menyelamatkan siswa dari beban akademis, namun membuat gairah pembelajar mereka merosot. Sebab siswa akan berpikiran realistis bahwa tanpa belajar pun mereka bisa lulus. Padahal, jika berkaca pada kurikulum di China misalnya, negara tersebut masih menerapkan UN secara ketat sebagai instrumen penentu kelulusan. Tak jarang kita pun sering melihat postingan betapa beratnya beban akademis siswa di China dalam belajar. Namun imbasnya, banyak siswa di China yang tak main-main dalam belajar. Mereka harus belajar mati-matian untuk mendapatkan nilai yang mencukupi dalam UN, selain agar lulus pastinya.

Ketiga, jika UN dianggap menjadi sebab dari gap diskriminatif sebagaimana pernyataan Nadiem di atas. Sebagai buntutnya, penghapusan UN menjadi sebab dari dekadensi pendidikan itu sendiri. Sebab jika berbicara tentang diskriminatif, sejatinya bukan hanya UN saja yang menjadi kambing hitam. Namun kebijakan zonasi juga turut menyumbang rentetan diskrimanatif pendidikan. Zonasi tak lagi menggunakan nilai rapor sebagai acuan masuk sekolah, namun hanya ditentukan oleh berapa jarak siswa dari sekolah di daerahnya tersebut.

Selama ini, pemerintah Indonesia juga kurang mawas diri dalam mengatur arah kebijakan pendidikan. Inginnya berbuat lebih sebagaimana sistem pendidikan “top” di luar sana. Sebut saja Finlandia misalnya. Finlandia sendiri mengadopsi kurikulum pendidikan yang menititikberatkan penguasaan pada lintas disiplin ilmu dan menyerahkan sepenuhnya kreativitas kelas pada masing-masing guru. Hal tersebut sama halnya seperti kurikulum merdeka yang diadopsi di Indonesia.

Adakah yang salah di sini? Tidak, cukup bagus. Namun pemerintah perlu mengecek ulang bahwa negara kita tak sama siapnya dengan Finlandia. Negara tersebut sudah termanajemen dengan rapi sejak dulu. Berbanding terbalik dengan Indonesia yang masih kebingungan untuk menentukan output lulusan pendidikannya.

Selain itu, perubahan kurikulum di Indonesia yang suka bergonta-ganti juga sebenarnya mendapat sorotan dari mata dunia. Lembaga pendidikan di Eropa misalnya, memandang bahwa kebijakan gonta-ganti kurikulum tak cukup efektif dan justru menunjukkan inkonsistensi pedagogis. Setiap ganti menteri, berganti pula kurikulumnya, berganti pula arah gerak pendidikannya.

Tentu dengan adanya hal ini, penulis berharap pemerintah bisa segera mencari jalan keluar. Sebab toh nyatanya penghapusan UN justru bukan menjadikan pendidikan Indonesia bermutu. Justru para lulusannya benar-benar tercampakkan di mata dunia. Sekali lagi, siswa kita butuh dengan daya kompetitif, berangkatnya dari UN. Jika UN saja dihapuskan dengan alasan diskriminatif atau spirit egalitarian. Maka percayalah, sebenarnya siswa kita digiring untuk menjadi manusia yang lemah sebab tak punya daya gedor yang cukup powerful di luar sana.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya