Bucin Itu Bukan Cinta dan Kebenaran Adalah Keberanian

Teman-teman santri banyak yang bersenda gurau tatkala melihat temannya galau sebab cinta sepihak menyendiri di pojok kamar dengan mengatakan "Cintailah orang yang mencintaimu, bukan orang yang tidak mencintaimu". Meski ada juga yang nyeletuk dingin, bahwa sudah dianugerahi cinta saja oleh Allah itu merupakan anugerah yang luar biasa, walaupun ujung-ujungnya bertepuk sebelah tangan.
Demikian guyonan santri mengenai cinta, meski dalam kehidupannya tak pernah luput dari ngaji kitab dan ngabdi kepada seorang guru, namun ada juga yang dirundung racun cinta. Benarlah kata Bang Rhoma Irama dalam lagu kata pujangga bahwa hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga. Meski kadang cinta yang diidapnya adalah jenis cinta monyet, bukan cinta sejati.
Ada juga di antara mereka yang mencintai seseorang, namun tak berani untuk mengungkapkannya. Padahal tidak mengungkapkan cinta identik dengan sifat pengecut yang konotasinya negatif. Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini akan membahas tentang quote Adam Smith mengenai cinta dan kebenaran.
Pertama, mengenai quote Adam Smith tentang cinta. Beliau menyatakan bahwa "Man naturally desires not only to be loved but to be lovely", dengan makna kurang lebih adalah “Manusia secara alami menginginkan, tidak hanya untuk dicintai, tetapi juga ingin menjadi pribadi yang menyenangkan atau penuh kasih sayang.”. Melaui quote ini, Adam Smith ingin menunjukkan bahwa manusia itu menemukan kebahagiaannya tidak secara pasif, tapi juga aktif.
Ibnu Qayyim (W. 751 hijriyyah) dalam Raudhatul Muhibbin mengungkapkan beberapa definisi tentang cinta, di antaranya adalah cinta merupakan api membara di dalam hati yang membakar segala sesuatu kecuali yang dicintainya, cinta adalah butanya hati terhadap segala sesuatu selain kekasih dan tulinya telinga dari mendengar dari selain kekasih, dan definisi yang lainnya memiliki makna yang mirip atau tidak jauh berbeda dengan definisi yang telah disebutkan.
Lebih lanjut Ibnu Qayyim memberikan tiga klasifisikasi mengenai faktor lahirnya cinta pada diri seseorang, yaitu sifat orang yang dicintai menyenangkan, kecenderungan perasaan yang ada pada diri si pecinta, dan hubungan harmonis yang menyatukan si pecinta dengan orang yang dicintai. Titik tekan yang perlu digarisbawahi dari klasifikasi Ibnu Qayyim disini terletak pada yang terakhir, yaitu hubungan harmonis.
Hubungan harmonis adalah keadaan yang lahir di mana ada keserasian di antara si pecinta dengan yang dicintai, dengan kata lain harus ada timbal balik, bukan cuma cinta satu pihak. Dengan demikian seorang bucin yang tidak mempertimbangkan cintanya apa bertepuk sebelah tangan atau tidak perlu dipertanyakan kembali, takutnya hanya berupa nafsu dan egoisme belaka. Karena manusia menurut fitrahnya adalah makhluk yang tidak hanya ingin untuk mencintai, tapi ingin dicintai juga.
Ada beberapa ayat yang menunjukkan kesalingan dalam hubungan percintaan, berikut salah satu contohnya adalah surah Ali Imram, ayat 31;
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad): "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat di atas menunjukkan kesalingan dalam hubungan percintaan yang tejalin antara Tuhan dengan seorang hambanya, yaitu jika seorang hamba mencintai Allah, maka ikutilah Nabi Muhammad, niscaya Allah akan mencintai hamba yang mencintainya juga.
Cinta yang terlalu berlebihan tanpa menghiraukan apa-apa selain kekasihnya kerap kali dikenal istilahnya dengan ‘Bucin’. Pada biasanya istilah ini dipahami dengan seseorang yang rela berkorban apa saja demi pasangan yang ia cintai, entah itu berupa harta, jiwa, dan raga. Padahal belum tentu sang pujaannya itu merupakan orang yang merespon cintanya. Nilai-nilai Islam tidak setuju dengan cinta yang begitu berlebihan ini, bisa dilihat salah satu hadis yang diriwayakan Abu Hurairah “Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.” [HR. At-Tirmidzi no.1997 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 178]
Hasan al-Bashri RA pun berkata bahwa “Hendaknya kalian mencintai jangan berlebihan dan membenci tidak berlebihan. Telah ada orang-orang yang berlebihan dalam mencintai satu kaum akhirnya binasa. Ada pula yang berlebihan dalam membenci satu kaum dan mereka pun binasa.”
Kedua, mengenai quote Adam Smith tentang kebenaran. Beliau menyatakan bahwa "Mercy to the quility is cruelty to the innocent", dengan makna kurang lebih bahwa “Belas kasihan kepada yang bersalah, kekejaman kepada yang tidak bersalah”. Quote beliau yang ini terkadang terjadi dalam hukum negara yang licin terhadap pejabat negara, sementara terhadap rakyat jelata hukum ditegakkan, bahkan pemberlakuannya terlihat keras. Kadang juga terjadi pada seorang pemimpin, dikarenakan yang melakukan pidana adalah anak atau keluarganya sendiri, hukum tidak ditegakkan, kebenaran disembunyikan. Sabda nabi tegas menyampaikan bahwa:
قُلِ الْحَقَّ وَلَوْ كَانَ مُرًّا
Artinya: “Katakan kebenaran itu, meskipun terasa pahit” (HR. Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman, No. 4737).
Kebenaran mengenai cinta kita pada seoarang wanita haruslah disampaikan, walaupun ujung-ujungnya ditolak juga, atau menyakiti hati seorang teman yang sama-sama mencintai dia. Mungkin, pemahaman seperti inilah yang terasa mudah bagi orang-orang yang baru menginjak dewasa.
Apabila kita sebagai laki-laki tidak mau menyandang sifat pengecut, maka jangan sembunyikan rasa cinta di hadapan wanita pujaan. Karena idealnya kebenaran memang harus tidak disembunyikan, meski sebenarnya boleh-boleh saja secara fikih untuk menyembunyikan kebenaran tatkala kondisi terdesak atau ada dharar yang akan menimpa, semisal contoh tatkala tidak memberi tahu posisi orang yang hendak dibunuh oleh seorang bajingan. Namun, sikap ideal yang seharusnya diambil oleh mereka yang merasa mempunyai sifat berani adalah memberi tahu posisinya seraya berkata: "Kamu boleh saja membunuhnya, namun langkahi dulu mayatku."
Benar demikian, kebenaran adalah nama lain dari keberanian. Syekh Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi dalam kitabnya Hayatush Shahabah menukilkan riwayat Al-Bazzar dalam kitab Musnad-nya, dari Muhammad bin Aqil, dari Sayyidina Ali RA, beliau berkhutbah: “Hai kaum muslim, siapakah orang yang paling berani?” Jawab mereka, “Orang yang paling berani adalah engkau sendiri, hai Amirul Mukminin.”
Sayyidina Ali menjawab, “Orang yang paling berani, bukan aku, tetapi Abu Bakar. Ketika kami membuatkan Nabi gubuk di Badar, kami tanyakan siapakah yang berani menemani Rasulullah Saw. dalam gubuk itu, dan menjaganya dari serangan kaum Musyrik? Di saat itu, tiada seorang pun yang bersedia, kecuali Abu Bakar sendiri."
Di waktu yang lain, aku menyaksikan Nabi dihalau orang musyrik, dan menyakiti beliau, seraya berkata, “Apakah kamu menjadikan beberapa Tuhan menjadi satu Tuhan?” Di saat itu, tidak ada yang berani membela Nabi, selain Abu Bakar, dan memukul mereka sambil berkata, “Apakah kamu hendak membunuh orang yang bertuhankan Allah?”.
Dialah abu bakar yang dijujuki dengan As-Shiddiq sebagai orang yang paling berani, alasannya tiada lain adalah lantaran beliau orang yang berani menampakkan kebenaran dan berani menanggung resikonya. Oleh karena itu, benarlah ungkapan Adam Smith itu yang mengatakan “Belas kasihan kepada mereka yang salah, berarti kekejaman kepada mereka yang tidak bersalah”. Wallahua’lam.
Artikel Lainnya
-
240727/05/2020
-
108912/10/2019
-
2114/03/2023
-
Plagiarisme dan Jalan Salah Menuju Rangking Tertinggi
51607/02/2021 -
Peranan Mahasiswa dalam Menerapkan Nilai-nilai Pancasila
19726/12/2022 -
New Normal dan Anomali Pendidikan
69805/07/2020