Nasionalisme Kita: Hipernasionalisme

Selepas naskah proklamasi digaungkan ke seluruh wilayah Nusantara, ruang publik riuh dengan sorakan “Merdeka-merdeka-merdeka”. Bahwa kemerdekaan yang kita raih merupakan bentuk kesadaran rakyat dalam persamaan atas penderitaan, rasa satu atas kebangsaan, dan rasa satu yang didasarkan atas nilai kemanusiaan itu sendiri. Semangat kemerdekaan yang didasarkan pada perjuangan anti kolonialisme di era kemerdekaan dan pergerakan nasional justru hilang ekspresinya di era pasca reformasi sekarang, jika harus suuzan bukan tidak mungkin hal tersebut efek dari belenggu 32 tahun rezim militeristik.
Paham kebangsaan dikenal dengan istilah nasionalisme. Semangat yang bertolak dari spirit pembebasan politik, pembebasan terhadap penindasan hak asasi manusia, anti kolonialisme dan persatuan nasionalisme. Dengan jelas menampakan bahwa spirit nasionalisme adalah spirit yang egaliter.
Walaupun demikian, dalam artikulasinya nasionalisme justru menimbulkan bibit-bibit konservatif. Bibit ini tumbuh dan sengaja dipupuk oleh negara untuk tetap hidup. Negara berkepentingan untuk mengontrol rakyatnya dalam satu arus, yakni nasionalime yang diresmikan negara. Paham nasionalisme yang resmi ini masuk melalui ruang pendidikan. Sehingga benang nasionalisme era kemerdekaan dan era reformasi itu terputus.
Mengingat saat duduk di bangku sekolah dasar, paham nasionalisme yang diresmikan negara ditanamkan, dikristalisasikan kepada tubuh mungil yang polosan. Kata nasionalisme berasal dari bahasa Inggris yakni “nationalism”, perpaduan dari kata “national” dan “ism”. National adalah kata sifat yang berarti berkenaan dengan bangsa.
Kemudian secara istilah Nasionalisme mempunyai pengertian sebagai suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat satu golongan, satu bangsa, yang mana rasa kesatuan ini menimbulkan kepercayaan akan dirinya sendiri. Kemudian menurut Jean Jacques Rousseau (1712-1778) mengatakan bahwa nasionalisme menekankan nilai kesatuan moral dari rakyat yang terpaut bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Maka dari itu, mudahnya nasionalisme dapat dipahami sebagai paham yang cinta atas kebangsaannya meliputi manusianya dan alamnya dalam tujuan bersama. Akan tetapi kita terjebak kesalahpahaman memahami tentang “bangsa“ (nation) itu sendiri, terkadang “bangsa” disamakan dengan “negara“ (state). Akibatnya kita keliru dalam memahami nasionalisme.
Kekeliruan tersebut mengacaukan tujuan nasionalisme itu sendiri. Manakala nasionalisme sebagai pembebasan dari penjajahan dan menciptakan masyarakat/negara yang adil, di mana tidak ada lagi penindasan manusia oleh manusia, sebagaima diungkap dalam surah al-Baqarah (2: 279). Justru sebaliknya, nasionalisme yang dipahami sebagai bentuk cinta terhadap negara akan terus memelihara bentuk-bentuk penindasan terhadap manusia, bisa jadi negara atau aparatusnya adalah penindasnya.
Kesalahpahaman terhadap paham nasionalisme yang terlihat sejak dalam pendidikan dasar. Di mana kita dijejali dogma bahwa yang nasionalis adalah yang selalu taat terhadap aturan negara, menghargai lagu kebangsaan, menghormati bendera kenegaraan, mencintai produksi dalam negeri, atau menjadi abdi negara adalah pekerjaan yang katanya paling nasionalis. Padahal jika melihat sejarah, gerakan nasionalis memulai perjuangannya sebagai sebuah gerakan anti-negara (anti-state) karena gerakan nasionalisme melawan struktur negara dinasti yang kolonialistik dan absolutistik.
Dengan demikian, seharusnya nasionalisme dipahamkan kepada kita sebagai bentuk sadar masyarakat atas ketertindasaannya dan sebuah keharusan untuk meruntuhkan belenggu ketertindasan tersebut. Maka jika cinta bangsa harus cinta manusianya, harus cinta alamnya pula. Sementara, pemahaman yang diinternalisasikan kepada kita bukan cinta bangsa tapi cinta negara, bahkan harus sangat patuh pada negara.
Nasionalisme yang dijejalkan dalam pendidikan Sekolah Dasar telah berhasil menghantar kepada sikap yang amat sangat keliru yaitu hipernasionalis. Terminologi ini dikenalkan oleh Ariel Heryanto seorang sosiolog masrxis tanah air. Hipernasionalisme merupakan sejenis nasionalisme yang sangat berbahaya.
Nasionalisme jenis ini berkhayal dan menipu diri sendiri tentang sejatinya sosok pribumi. Ternoda unsur-unsur fasism. Jenis nasionalisme seperti ini memuja simbol-simbol, lambang-lambang, upacara dan busana seragam. Kadang-kadang semua yang diagung-agungkan itu mendekati kedudukan seperti benda keramat yang disucikan.
Nasionalisme yang dimasukan kepada kita menjadi faham yang amat sangat syirik. Oleh karenanya terjadi bentuk pemujaan terhadap simbol-simbol, lambang-lambang, upacara-upacara, dan seragam-seragam. Bumbu fasisme terlihat manakala aparatus negara atau masyarakat berseragam (ormas) menunjukan reaksi galak apabila melihat sedikit gejala yang dianggap mengancam dan membahayakan bagi simbol-simbol yang dianggap sebagai nasionalisme itu sendiri.
Peristiwa bentroknya FPI dan GMBI di bandung pada tahun 2017 yang mana FPI dinilai sebagai ormas yang tidak nasionalis. Kemudian peristiwa rasis di Surabaya, di mana petugas keamanan dan anggota masyarakat berseragam (ormas) melancarkan serangan fisik dan verbal pada para mahasiswa Papua yang tinggal di asrama mereka.
Mereka diserang oleh sebab desas-desus mengenai bendera Indonesia yang tercampakan di dekat asrama tersebut. Kedua aksi tersebut justru menunjukan sikap melampaui batas nilai nasionalisme itu sendiri. Istilah kerennya dapat dibilang hipernasionalisme. Memang yang hiper-hiper ini berbahaya bikin cape.
Nasionalisme yang agresif dan nafsuan ini seakan-akan memberi gambaran bahwa Indonesia akan mundur kembali ke masa keterjajahan dan kehinaan. Hipernasionalisme berawal dari artefak sejarah yang dibangun ulang. Manakala sekitar tahun 1940 terjadi agresi militer kedua yang menimbulkan luka setelah luka di bawah penindasan berkepanjangan masa kolonial. Hal inilah yang menumbuhkan benih tersebut sekitar tahun1950-an. Ditambah lagi di masa orde baru justru menguat hingga pasca reformasi.
Nasionalisme yang berlebih ini benar-benar sangat menipu. Orang merasa sangat nasionalis ketika memakai seragam, atribut tertentu. Pekerjaan tertentu dianggap pekerjaan yang paling nasionalis.
Kemudian narasi-narasi militeristis acap kali menggema di acara-acara publik, mislanya “NKRI Harga Mati” atau “Indonesia Merdeka” yang digaungkan dengan tangan terkepal ke udara. Di sisi lain hal ini dibarengi dengan sikap pentungan yang nyata terhadap suara-suara rakyat yang kritis di arus pinggiran.
Hipernasionalisme memang bentuk penghianatan terhadap gagasan kebangsaan modern dan kosmopolitan yang di gelorakan para pahlawan bangsa seabad lalu. Karena nasionalisme tidak terlepas dari gagasan internasionalisme. Sebagaimana dalam pidato Bung Karno 1 juni 1945. “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.”
Karena internasionalisme juga tidak terlepas dari gagasan tentang kesetaraan dan martabat manusia secara global. Sebagaimana tertuang dan dimuliakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar di negeri ini.
Artikel Lainnya
-
100221/02/2021
-
44819/03/2025
-
137224/11/2020
-
Provinsi Jambi, No Viral No Action
121604/03/2023 -
Pergeseran Kajian Ekonomi, dari Rasionalitas, Etis-Kritis hingga Dimensi Kebudayaan
137012/08/2021 -
Efek Kardashian, Makna Privasi, dan Para Penikmatnya
140419/10/2021