Efek Kardashian, Makna Privasi, dan Para Penikmatnya

Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag
Efek Kardashian, Makna Privasi, dan Para Penikmatnya 19/10/2021 1231 view Opini Mingguan liputan6.com

Tindakan para pesohor online dengan memarahi orang tua yang membuntutinya dan tindakan melanggar regulasi protokol kesehatan beberapa hari terakhir menghiasai pemberitaan nasional. Kabar ini seperti “mengkhianati” kepercayaan publik yang terlanjur memuja kiprah dan karya virtual mereka.

Celakanya, rata-rata “karya” para artis online ini tidak jauh dari sensasi, kontroversi dan hal yang sebenarnya biasa-biasa saja. Acara liburan ke luar negeri yang tidak ada hubungannya dengan isi dompet pengunjung medsos, ribut urusan rumah tangga dalam bentuk saling merendahkan pasangan di update story, pamer kemewahan properti di layar status medsos, dan flexing kedermawanan adalah beberapa aktivitas dan kualitas kelakuan para selebgram dan sejenisnya.

Tidak semua dalam kondisi semenyebalkan ini tentunya. Namun, seringnya kita sebagai penonton pasif terlalu memberi ruang dan panggung. Apa yang kita pahami sebagai ketidakpantasan dalam kelakuan para selebgram tersebut nyatanya tetap kita tonton dan nikmati bersama.

Dalam perspektif psikologis, tindakan demikian dikenal sebagai kenikmatan bersalah (guilty pleasure). Kenikmatan seperti ini berupa tindakan yang menilai bahwa sebuah laku atau sikap memang tidak patut dilakukan, tapi kita membiarkan atau malah menikmatinya sebagai sebuah tontonan.

Jangan-jangan, ada yang tidak sadar berjalan dalam konsep diri untuk mengukur ketidaktergapaian itu. Kita diam-diam mencintai apa yang tidak dapat kita miliki dalam rupa-rupa pamer kemewahan dan ketenaran itu.

Akar Kepercayaan Diri

Boleh saja seseorang telah menjadi figur publik sehingga dikenal luas dan memiliki pengaruh kuat. Namun demikian, popularitas yang dibangun dengan instan dan mengedepankan kontroversi pada dasarnya adalah bagian dari nalar populisme. Nalar ini di antaranya membenarkan laku dan cara yang sepele untuk menjadi penting, bahkan dominan. Di sini, kualitas tidak menjadi rumus utama.

Celakanya, nalar demikian malah menjadi tayangan yang mudah sekali diakses. Teknologi informasi telah menjadi penghantar yang begitu pintar dalam menyampaikan informasi dan data melalui beragam platform dan media. Dalam konteks demikian, kepentingan publik untuk mendapatkan tayangan yang edukatif dan inspiratif menjadi terabaikan.

Dalam praktiknya, kebermutuan tayangan dan nilai edukasi publik, misalnya, tidak mendapat tempat yang semestinya. Dengan pilihan begini, kita dijejali berseliwerannya tayangan yang mengusik nalar sehat. Bagaimana membayangkan anak-anak dan remaja yang terpaksa menikmati tayangan pertengkaran orang tua dengan demikian mudah? Bukankah apa yang dicerna sebagai informasi itu sedikit banyak akan membentuk persepsi dan nilai kesadaran diri atas realitas?

Namun demikian, yakinlah para “artis” online ini akan selalu memiliki kepercayaan diri tinggi untuk kembali tampil karena merasa mendapat dukungan dan pemakluman dari penggemar virtualnya.

Orang-orang seperti ini bahkan sering kali mendapat ruang privilese yang menelikung akal sehat dan tatanan hukum sekalipun. Kepercayaan diri yang tinggi dan akses privilese yang tidak mampu didapat sembarang orang ini akhirnya membentuk dunia citra dan rekaan semu sebagaimana konsep simulakra. Pada titik ini, kebenaran, kepatutan, dan nilai kelaziman telah direbut dan diambil alih kebenaran yang bersifat fiktif dan palsu.

Pertanyaannya, dari mana sebenarnya kepercayaan diri yang kemudian menjadi tayangan, yang dikonsumsi bersama, yang kita nikmati segala remeh-temehnya, yang kita nobatkan sebagai public figur, tersebut tumbuh dan berasal?

Efek Kardashian?

Dalam ranah hiburan, keluarga Kardashian lewat tayangan Keeping Up with Kardashian mengawali kecenderungan buka-bukaan dan “menjual” privasi pribadi secara masif ke ranah publik lalu mengkapitalisasinya dengan sempurna. Ellish Cashmore dalam Kardhasian Culture (2019) mengatakan bahwa internet ikut merayakan demokratisasi budaya visual yang diperagakan keluarga Kardhasian dalam keseharian remeh temeh mereka. Jika internet adalah ukuran popularitas dan figur berpengaruh di dunia, maka sesungguhnya saat ini keluarga Kardashian bisa jadi adalah pihak yang berada di garis terdepan dengan jumlah pengikut mereka di media sosial.

Dengan posisi demikian, dari semula yang seharusnya berupa ranah domestik dan privasi keluarga, publik kemudian mampu mengetahui seluk beluk keluarga ini lewat tayangan layar kaca ataupun internet. Sejak saat itu, bagi Cashmore, sifat sosial internet tidak lagi mengindahkan kepatutan, bahkan hukum, lewat perilaku serba permisif keluarga Kardashian. Kedekatan dan keterlibatan yang dibangun lewat realitas semu dalam rupa-rupa reality show dan turunannya tersebut belum pernah terjadi sebelumnya. Saat ini, kedekatan imajiner seperti itu seolah merekatkan emosi pelaku dan penonton untuk saling bersentuhan dan menyapa secara resiprokal dan terhubung setiap saat dalam komunikasi post dan comment.

Inilah di antaranya yang mungkin membuat publik merespon dengan suka cita tayangan demikian. Di pihak lain, kaca mata industri menyimak dan mengikuti dengan seksama disertai iming-iming tawaran dan guyuran iklan yang membayangi.

Makin banyak dilihat dan diakses, tayangan yang diberi label reality show tersebut makin menambah pundi-pundi uang bagi mereka lewat dukungan bermacam iklan produk. Di titik ini, apa yang dianggap tidak patut secara moral dan keseharian remeh temeh itu, nyatanya malah menjadi bagian dari kemasan budaya populer yang diminati industri dan menjadi hiburan bagi publik.

Rasanya, makna privasi dan menjadi pusat perhatian mengalami pergeseran belakangan ini. Layar informasi, entah televisi atau gawai tiada henti menjadi sarana penayangan perihal kontroversi dan upaya menarik perhatian lewat media sosial yang dilakukan oleh publik figur maupun bukan. Saking terbukanya, informasi yang ditayangkan tidak lagi mengindahkan apa yang dipahami sebagai batas kepatutan. Masalah privasi pribadi dan keluarga demikian mudah diumbar dan memaksa mata dan perhatian publik untuk melihatnya.

Bisa jadi, hal ini menjadi penanda baru makna privasi. Yang semula secara umum dianggap sebagai rahasia pribadi atau keluarga, belakangan begitu mudah diunggah ke publik. Jika mungkin, sedetil apa pun itu. Oleh karenanya, mudah mendapati tayangan maupun produksi personal mengenai kecenderungan ini. Medianya banyak dan gratis, namun memiliki dampak keuntungan finansial yang sangat besar. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, kecenderungan untuk memanggungkan privasi ke ranah publik lewat media sosial terlihat masif.

Kecenderungan ini seiring dengan nilai finansial yang diberikan media sosial terhadap tayangan tersebut. Di sini, media sosial, katakanlah, sebagai pemodal sesungguhnya dengan memberikan nilai kapitalisasi atas produksi tayangan yang dibuat.

Selanjutnya, kita mengenal banyak individu yang dibuat berkecukupan karena dibayar Youtube dan Instagram hanya dengan mem-posting aktivitas remeh-temehnya. Mereka dibayar karena perhitungan banyak follower di akunnya yang memungkinkan objek iklan menyasar mereka dengan mudah. Internet of things bekerja sempurna dalam logika mengelola pemasaran seperti ini.

Membincang dan membahas aib atau privasi di ranah media sosial seakan menjadi hal biasa. Pada sebuah tayangan, mudah kita temukan pengakuan seorang artis yang menyatakan biasa mengonsumsi minuman keras, namun merasa Tuhan masih sangat menyayanginya dalam bentuk karir yang masih berkibar dan rejeki yang mengalir, atau bahkan tayangan tentang display dan keterangan dildo oleh seorang artis perempuan. Terang, kesemuanya untuk menarik view atau subscriber-nya, demi dewa cuan.

Mungkin usang untuk menyebutnya. Namun, dalam konteks budaya Timur, membeberkan privasi ke ranah umum adalah sesuatu yang tidak patut. Nilai dan norma agama pun menyebutnya sebagai sesuatu yang tidak perlu menjadi ajang konsumsi umum. Perihal menggunjing aib orang lain, Al-Quran menyebutnya sebagai ghibah yang menjijikkan (Al-Hujurat:12), umat Kristiani mengenalnya sebagai hal yang mencelakakan (Amsal 17:4), pun agama lainnya. Namun, hal demikian tetap berjalan pada ranah media sosial.

Menghadapi remeh-temeh yang dianggap penting dalam tayangan media sosial, kiranya sikap yang dibutuhkan adalah kedewasaan dalam segala bentuknya. Dukungan dan harapan yang sehat untuk ruang publik harus hadir dengan kemampuan untuk merespon tayangan yang meminggirkan kepatutan umum dengan tidak menjadikannya sebagai panutan. Tanpa dukungan masif dalam bentuk mengikuti dan melihatnya, industri dan pada akhirnya uang yang membayanginya pelan tapi pasti akan meninggalkan dunia imajiner ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya