Mudik Tak Mudik dan Segala Kompleksitasnya

Pekerja Seni
Mudik Tak Mudik dan Segala Kompleksitasnya 28/03/2021 1362 view Opini Mingguan commons.wikimedia.org

Mudik tahun 2021 lebih istimewa dari tahun-tahun sebelumnya. Bukan rindu satu tahun saja yang dipendam, tapi dua tahun, sebab tahun 2020 mudik dilarang. Oleh karenanya, pasti berat memutuskan pelarangan mudik tahun ini. Para pejabat itu, khususnya yang muslim, seperti Menko PMK Muhadjir Effendy yang mengumumkan keputusan tersebut dan sebagian besar pejabat lain, lahir dan hidup dalam kultur Indonesia, negeri mayoritas muslim yang menjadikan mudik sebagai salah satu ritus terpenting dalam siklus tahunan.

Mereka juga pasti punya rindu. Punya kangen pada sanak saudara di kampung halaman. Pada makam orang tua atau leluhur yang biasanya tiap tahun diziarahi. Tapi apa mau dikata. Pandemi memporak-porandakan semua bidang kehidupan. Termasuk lebaran. Termasuk mudik.

Tahun lalu mudik lebaran juga dilarang. Seperti hari ini, dan seperti tiap keputusan pemerintah lainnya, pelarangan mudik tahun lalu juga menuai pro kontra. Meski banyak yang protes, tapi waktu itu pelarangan mudik masih relatif dipahami masyarakat. Siapa mau kampungnya terpapar Corona?

Yang membandel ada saja. Mereka keukeuh pulang ke kampung halaman sebelum, saat, atau sesudah lebaran. Sebagian tertahan di pintu tol, diperintahkan petugas untuk kembali ke rumah. Sebagian yang lain berhasil lolos, entah dengan cara apa.

Tapi, penentangan larangan mudik tahun ini lebih kencang terasa daripada tahun lalu. Setelah satu tahun hidup bersama Corona, masyarakat cenderung lebih santai menghadapinya. Covid-19 dianggap tidak terlalu bahaya seperti di awal kedatangan pada Maret 2020. Hal itu yang menjadikan sebagian masyarakat heran, mudik kok dilarang lagi? Bukankah kondisi sudah terkendali? Bukankah vaksinasi tengah berjalan? Bukankah Covid-19 tidak semenakutkan dulu?

Kompleksitas Mudik

Melarang mudik artinya menahan jutaan orang yang tinggal di perantauan, yang biasanya adalah kota-kota besar, untuk tidak pulang kampung ketika lebaran. Kementerian Perhubungan mencatat, tahun 2019 ada 18.343.021 orang yang melakukan mudik baik melalui darat, laut, maupun udara.

Mudik juga bukan sekedar soal menahan orang untuk tidak pulang, melainkan juga menahan sekian triliun rupiah untuk tetap berputar hanya di kota. Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Jalan dan Perkeretaapian, yang merupakan bagian dari Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Kementerian Perhubungan, pernah melakukan survei pada tahun 2019 di wilayah Jabodetabek mengenai perputaran uang selama mudik.

Hasilnya, pemudik dari Jabodetabek yang berjumlah 14,9 juta orang mengabiskan total Rp.10,3 triliun di lokasi mudik. Jawa Tengah menjadi daerah dengan gelontoran uang lebaran paling banyak, yakni Rp. 3,8 triliun, disusul Jawa Barat sebesar Rp. 2,05 triliun, dan Jawa Timur Rp. 1,3 triliun. Sementara, lebih dari Rp. 3 triliun sisanya tersebar ke daerah lain di Tanah Air.

Angka-angka tersebut tidak termasuk biaya pemudik selama di perjalanan. Belum pula termasuk uang kiriman para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke kampung halaman mereka di saat Idul Fitri. Wakil Ketua Umum Kadin Jakarta Sarman Simanjorang pernah membuat hitung-hitungan sederhana mengenai hal ini. Jumlah TKI pada tahun 2019 mencapai 9 juta orang. Bila diasumsikan satu orang mengirim uang Rp. 1 juta ke kampung, maka uang Rp. 9 triliun akan beredar di berbagai daerah di Indonesia.

Tapi mudik tidak cuma soal mengirim uang atau berbagi rejeki ke sanak saudara di kampung. Bukan hanya soal melepas rindu. Bagi sebagian orang, mudik juga dimaknai sebagai laku spiritual. Mudik adalah pengejawantahan dari “kembali ke asal”, nilai yang diyakini sebagai makna mendasar dari Idul Fitri.

Beberapa kebudayaan, seperti Jawa, punya artikulasi tersendiri dalam hal ini. Falsafah Jawa menyebutnya Sangkan Paraning Dumadi. Secara sederhana istilah ini dapat dimaknai: “dari mana manusia berasal dan kemana ia akan kembali”. Dalam konteks ini, yang dimaksud Sangkan (muasal) adalah Tuhan YME. Jadi, tujuan hidup manusia adalah kembali ke asalnya, ke Tuhan YME.

Dalam setahun siklus hidup manusia, musti ada satu momen di mana ia harus “kembali ke asal”. Setelah sekian lama bekerja, umat Islam akan melakukan sebulan penuh puasa. Hal ini demi menyambut “kembali ke asal”. Asal manusia adalah suci. Dalam perjalanan hidup, kesucian itu sedikit banyak ternoda. Untuk kembali ke asal yang suci itu, umat Islam melakukan puasa sebagai sarana penyucian tubuh fisik dan tubuh batin. Kemudian dipungkas dengan membayar zakat fitrah sebagai sarana penyucian harta.

Akhinya, tanggal 1 Syawal kalender Hijriah selalu diperingati sebagai hari yang fitri, yang suci. Hari asal muasal manusia. Oleh sebagian besar muslim Indonesia, nilai dan ajaran ini diejawantahkan dalam tradisi mudik. Setelah setahun bekerja di perantauan, di tempat yang “bukan asal”, seseorang harus kembali. Dalam hal ini, kampung halaman adalah simbol dari “asal”.

Oleh sebab itu pula, sebagian umat Islam punya tradisi ziarah ke makam orang tua atau leluhur tiap lebaran. Berziarah kubur sering kali mengingatkan seseorang kepada kematian, gerbang menuju “asal yang sebenarnya”.

Sedemikian kompleks persoalan mudik. Ia bukan hanya berpindahnya orang dari satu tempat ke tempat lain. Bukan sekedar berpindahnya uang dari kota ke desa. Bukan pula sekedar silaturahmi dan kebersamaan. Tapi segala hal itu dan hal-hal lain berkelindan padanya sekaligus.

Tapi semua kompleksitas itu harus kalah dihantam Covid-19. Pemerintah pasti berat memutuskannya. Masyarakat juga pasti berat mematuhinya. Apalagi, hari ini masyarakat sudah lebih akrab dengan Corona, menganggapnya tidak terlalu bahaya dan suatu hal yang “biasa”.

Sayangnya, data berkata lain. Covid-19 masih “luar biasa”. Apalagi dengan munculnya varian baru B.1.17. yang telah masuk ke Indonesia. Vaksinasi juga masih jauh dari taget 181.554.465 penduduk Indonesia. Kementerian Kesehatan menyebut, per Rabu, 24 Maret 2021, baru 2.941.016 orang yang rampung menerima dua dosis vaksin.

Data lain menunjukan, tiap kali libur panjang tiba, angka kasus positif Covid-19 selalu melonjak naik. Satgas Penanganan Covid-19 mencatat, pasca libur panjang ldul Fitri 22-25 Mei 2020, terjadi lonjakan sebesar 69-93% pada tanggal 6-28 Juni 2020. Demikian pula pasca libur HUT RI ke-75, 15-17 Agustus 2020, angka kasus naik sampai 58-188% pada tanggal 1-3 September 2020.

Berdasarkan data-data yang ada, larangan Mudik Lebaran 6-17 Mei 2021 adalah pilihan paling minim resiko ketimbang membebaskan mudik namun kenaikan angka kasus siap menghadang di pasca lebaran. Kendati demikian, pasti ada celah untuk lolos dari pantauan. Sebagaimana mudik tahun lalu, pasti juga banyak orang memaksa kucing-kucingan dengan aparat.

Pada titik ini ulama dan tokoh masyarakat perlu ambil bagian. Dalam hal tertentu, nasehat ulama dan tokoh masyarakat, termasuk juga selebritis, terkadang lebih didengar dan dituruti masyarakat ketimbang ucapan pejabat negara. Asal disampaikan dengan cara dan oleh orang yang tepat, pembangkangan terhadap aturan ini bisa diminimalisir.

“Kembali ke asal” sejatinya tidak musti dengan “ke kampung halaman”. Ini masa darurat. Segala yang biasa berpotensi jadi bahaya. Termasuk ritual mudik. Lagi pula, secara spiritual, fitri-nya jiwa adalah yang paling utama. Lebih utama dari pindahnya raga dari kota ke kampung. Lebih utama dari laku ziarah. Lebih utama dari mudik sebab Tuhan, Sang Asal Segala Asal, (ternyata) lebih dekat dari urat nadi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya