Dilema Ruang dan Peran Privat di Pesantren

Dalam beberapa waktu terakhir, kasus pelecehan dan kekerasan seksual mengemuka di kalangan pondok pesantren. Terakhir, kehebohan penangkapan salah satu putra kyai di Jombang menyita perhatian publik.
Sebagai lembaga yang mengkhususkan diri dalam upaya mencetak para ahli agama Islam, kasus kekerasan seksual tersebut jelas mencoreng misi suci yang diemban pesantren. Lebih jauh, tindakan yang membela dan menghalang-halangi proses hukum terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren meninggalkan tanda tanya yang dalam mengenai kepatuhan dan kesadaran hukum insan pesantren.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kasus-kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan sepanjang 2021 paling banyak terjadi di satuan pendidikan berasrama. Dari total 18 kasus yang terjadi, 12 kasus di antaranya terjadi di satuan-satuan pendidikan berasrama. Dengan statistik pesantren yang mencapai sekitar 27 ribu di seluruh wilayah Indonesia, sangat mungkin potensi kekerasan seksual tersebut menjadi fenomena gunung es.
Pada dasarnya, pondok pesantren memiliki kekhasan tersendiri terkait tatanan ruang dan privasi di dalamnya. Di daerah Jawa khususnya, di mana jumlah pondok pesantren lebih dominan daripada daerah lainnya, dikenal ruangan paseban, yakni sebuah ruang khusus tempat konsultasi para santri dan masyarakat sekitar dengan kiai.
Konsultasi ini dimungkinkan karena peran unik kiai dan pengasuh pondok secara umum. Mereka, sebagaimana yang diyakini Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya, Tradisi pesantren : studi tentang pandangan hidup Kyai (1982), memiliki peran sosial yang tinggi karena dianggap sebagai tempat konsultasi, "curhat", dan berbagai masalah personal atau keluarga santri dan masyarakat.
Ruang Privat
Dalam kaitan demikian, paseban dianggap sebagai tempat tersendiri para kiai dan tamu serta santrinya untuk bertemu. Dalam konteks lain, paseban juga difungsikan sebagai tempat untuk bermunajat kiai secara khusus atau untuk memberikan solusi atas problem klien dengan pendekatan spiritual yang diyakini.
Sampai titik ini, tidak ada masalah dalam kaitan menjaga privasi dan peran kiai, sampai kemudian terdengar bahwa kasus kekerasan seksual di pondok pesantren Jombang (dan beberapa lainnya) ditengarai memanfaatkan peran dan keberadaan ruang-ruang khusus untuk peristiwa kekerasan seksual tersebut.
Apakah dengan kasus kekerasan seksual tersebut lantas peran dan ruang privat di pondok pesantren patut dicurigai dan perlu dihindari? Respon terhadap pertanyaan serupa ini bisa jadi tidak sederhana karena beberapa hal. Pertama, paseban dan ruang sejenis di pondok pesantren memiliki makna simbolik bagi pengelola pondok pesantren dan mereka yang berkunjung di dalamnya. Simbolisme ruang privat dan asrama pondok pesantren secara umum merefleksikan peran kiai sebagai konselor dan tamu sebagai yang membutuhkan dukungan moral dan spiritual. Dalam kaitan ini, ruang konsultasi dan materi konsultasi dibutuhkan kedua belah pihak untuk mendudukkan peran masing-masing. Ruang privat memberi peluang kepada kedua pihak untuk mengelola privasi, karena adab pesantren yang menjaga dan menghormati relasi antar individu.
Kedua, konsep asrama sudah menjadi ciri khas pondok pesantren. Dengan konsep ini, penanaman akhlak mulia dan budi pekerti dapat lebih dioptimalkan. Teladan para pengelola pesantren sebagai bagian dari budaya tawadhu’ di pesantren juga mudah dijalankan.
Manfaat dari konsep ini juga sudah dikenal luas dan memiliki pengaruh konseptual yang banyak diadopsi pihak di luar pesantren. Dengan konsep asrama, pesantren dikenal melahirkan para ahli agama yang ‘alim, wara’, mandiri, penuh kesopanan, dan mengedepankan kesederhanaan. Tak heran, banyak lembaga pendidikan di luar pesantren (madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi) yang mengadopsi konsep asrama ini untuk pendalaman materi keagamaan Islam.
Dalam kaitan ini lazim kita temui asrama bagi siswa madrasah unggulan Insan Cendekia yang tersebar di seluruh provinsi, berbagai sekolah Islam terpadu dengan konsep boarding school, hingga pola ma’had aly di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
Menimbang beberapa hal tersebut, selayaknya evaluasi dan antisipasi dampak negatif mengenai pemanfaatan peran dan ruang privat pesantren patut segera diwujudkan. Pemerintah harus sepenuhnya hadir dalam membantu tata kelola pesantren mengasuh para santrinya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pesantren pasal 12 ayat (2) menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah dapat membantu pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
Beleid ini dengan tegas menempatkan peran pemerintah untuk hadir dan terlibat dalam memastikan aspek kenyamanan, kesehatan, dan terutama keamanan di pesantren. Secara mendasar, inilah pesan penting bagi beberapa pihak pemangku kepentingan pondok pesantren (pemerintah, pondok pesantren, dan masyarakat). Bagi pemerintah, dibutuhkan peran dan tanggung jawab untuk lebih dalam terlibat dalam membantu tata kelola pesantren agar menjadi lembaga pendidikan moderen, dalam arti modernisasi tata kelolanya. Modernisasi tata kelola ini diperlukan sebagai bagian dari fasilitasi, keterbukaan, dan peningkatan mutu pondok pesantren itu sendiri menghadapi berbagai perkembangan dan kebutuhan.
Bagi kalangan pesantren, peningkatan tata kelola internal jelas diperlukan. Dalam kaitan ini, beragam standar pengelolaan lembaga pendidikan keagamaan Islam patut dibangun, ditegakkan, dan dipatuhi bersama. Faisal Ismail dalam bukunya, NU Moderatisme dan Pluralisme: Konstelasi Dinamis Keagamaan, Kemasyarakatan, dan Kebangsaan (2020), menyebutkan bahwa pondok pesantren harus mau menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap langgam moderen pengelolaan lembaga pendidikan. Pandangan ini menekankan agar pesantren berkenan membuka diri terhadap perkembangan yang ada dengan mengambil sisi baiknya dan menghindari aspek negatifnya.
Dengan perspektif demikian, diharapkan semua pihak dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan wewenang peran dan ruang privat di pondok pesantren dengan tetap menghargai dan menghormati martabat pondok pesantren. Hal demikian menjadi mungkin jika penghormatan terhadap standard dan regulasi ditegakkan.
Artikel Lainnya
-
329402/12/2019
-
40113/09/2022
-
102004/12/2021
-
39312/10/2022
-
67206/05/2021
-
SKB Tiga Menteri, antara Toleransi atau Sekularisasi
112917/03/2021