Milenial Di Tengah Pusaran Rasisme

Mahasiswa Sanata Dharma
Milenial Di Tengah Pusaran Rasisme 21/04/2022 590 view Budaya tafsiralquran.id

Akhir-akhir ini masalah terkait Suku, Agama, Ras, dan Budaya (SARA) menjadi masalah yang cukup hangat diperbincangkan di ruang publik, ironisnya, konflik terjadi di negara yang menganut semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Semangat keberagaman hangus begitu saja saat konflik terjadi.

Dalam ranah ansional, masalah seputar pluralisme, terutama yang berbau agama dan rasis menjadi noda tersendiri bagi negara Indonesia di mata internasional, yang menganggap Indonesia belum mampu sepenuhnya menjadi negara merdeka yang otonom. Asumsi sederhanya, ya, mengurus masalah-masalah internal bangsa kita masih kelabakan, bahkan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah hanya sekedar bergulir seperti mengadopsi teori trial and error, satu kebijakan dirasa kurang memadai diganti kebijakan lain.

Meskipun perkembangan zaman menuntut fleksibelitas dalam meramu kebijakan yang tepat sasaran dan efisien, akan tetapi sistem bongkar pasang pasal rasisme yang dilakukan pemerintah, hanya bersifat “menambal” bukannya menutup lubang agar tak kebablasan dan menimbulkan masalah rasisme yang serupa.

Maka tema seputar pluralisme mestinya digaungkan oleh generasi muda sebagai pembaharu untuk bergerak dan mengubah stereotip dunia internasional terhadap negara Indonesia. Berbagai forum baik dalam skala nasional maupun internasional mengajak milenial dengan beragam latar belakang untuk berdiskusi dan menyikapi realitas perbedaan yang ada.

Milenial sebagai generasi pembaharu, seharusnya menjadi pionir perubahan sekaligus tulang punggung perubahan ke arah jangkar yang menjanjikan kemaslahatan bersama, mengingat saat ini bumi menampung lebih dari 1 miliar orang muda, jumlah yang terbanyak dalam sejarah peradaban manusia. Sekitar 60 persen penduduk didunia berusia di bawah 35 tahun, sementara di Indonesia sendiri proyeksi Badan Pusat Statistik tahun 2019, jumlah milenial mencapai 70 persen

Tentunya ini merupakan harta berharga bagi bangsa Indonesia jika milenial memiliki jiwa revolusioner dan berpikir ke depan. Bonus demografi khususnya kaum muda kiranya memberikan hembusan angin segar bagi bangsa ini dalam mengatasi masalah rasisme. Milenial seharusnya dapat menjadi promotor penggerak dalam mengkritisi segala kebijakan-kebijakan pemerintah terutama yang berhubungan dengan masalah rasisme ini.

Akar Masalah

Rasisme bisa dikaitkan sebagai ketidakpeduliaan terhadap manusia satu sama lain jika memiliki perbedaan ras, suku, adat atau golongan mereka yang hanya mementingkan sesuatu yang mereka anggap sama dengan dirinya. Rasisme selalu menghina ras atau budaya yang berbeda dengan dirinya. Rasisme sendiri juga diartikan sebagai tindakan atau serangan yang memusuhi identitas ras di dalam kelompok masyarakat. Tindakan buruk yang selalu merasa bahwa rasnya lebih baik. Rasisme juga akan selalu berkaitan dengan adanya konflik di dalam lingkungan sekitar maupun negara.

Tindakan rasisme bukanlah suatu hal yang jarang terjadi terutama di Indonesia. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Dan Etnis tertulis jelas bahwa "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis." Padahal sudah terdapat Undang-Undang yang mengatur tentang tindak diskriminasi, tetapi mengapa tindak diskriminasi dan rasisme masih banyak terjadi di Indonesia?

Berkaca pada jejak historis bangsa ini, sebetulnya aksi rasisme ini sudah terjadi sejak lama, mulai dari era Chinezenmoord 1740 sampai Mei 1998. Dalam konteks Perang Jawa, masyarakat Jawa saat itu membenci orang Tionghoa karena menjadi bandar-bandar pemungut pajak. Orang-orang Tionghoa oleh para-Sultan Jawa dijadikan bandar-bandar pemungut pajak di jalan-jalan utama, jembatan, pelabuhan, pangkalan di sungai-sungai dan pasar. Melihat efektifnya orang-orang Tionghoa memungut pajak, Belanda dan Inggris melakukan hal yang sama di daerah-daerah yang telah dikuasainya. Kebencian ini mendarah daging, menyebarluas, tanpa sempat ada rekonsiliasi atau penjelasan.

Kebencian menahun ini yang kemudian berkembang di Indonesia. Hendri F. Isnaeni menulis bahwa pada awal abad ke-20, kembali tercatat peristiwa rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu kerusuhan di Solo pada 1912 dan kerusuhan di Kudus pada 1918. Pada masa revolusi, kembali terjadi gerakan anti etnis Tionghoa, seperti yang terjadi di Tangerang pada Mei-Juli 1946, Bagan Siapi-api pada September 1946, dan Palembang pada Januari 1947.Tragedi terhadap masyarakat Tionghoa berikutnya terjadi pada saat 1965. Cina yang menjadi negara komunis besar saat itu dianggap punya peran dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Banyak masyarakat Tionghoa saat itu yang menjadi korban karena dianggap komunis atau mata-mata Tiongkok. Perlakuan diskrimanatif itu pun mengalami kontinuitas dan bahkan melebar sampai keperlakuan rasial terhadap fisik kasus yang terjadi di Surabaya pada 16 Agustus 2019, di mana mahasiswa Papua mengalami rasisme oleh mahasiswa lainnya. Mereka dituduh merusak bendera merah putih tanpa adanya bukti yang kuat. Akibat tuduhan tersebut, 43 mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Jalan Kalasan Surabaya, dikepung bahkan dimaki dengan sebutan "monyet". 43 mahasiswa Papua tersebut dikepung dan diancam oleh oknum TNI, aparat kepolisian, Satpol PP dan ormas reaksioner.

Menilik lebih mendalam, salah satu penyebab timbulnya masalah rasisme adalah pola pikir yang keliru. Terkadang sikap rasisme muncul karena kita menganggap bahwa kita akan aman ketika bersama dengan orang-orang yang sama dengan kita. Maksud 'sama' di sini ialah berasal dari suku, ras, maupun agama yang sama. Jika bersama dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda, kita merasa khawatir dan gelisah. Tindakan ini lama-lama mengubah pola pikir kita sehingga kita tidak mau berteman atau berhubungan dengan orang yang memiliki latar belakang berbeda dengan kita.

Selain itu intervensi lingkungan juga menjadi pemantik timbulnya rasisme. Pengaruh lingkungan tempat kita dibesarkan sangat berpengaruh dalam kehidupan kita. Jika kita tumbuh di dalam lingkungan yang mayoritas masyarakatnya rasis dan suka mendiskriminasi maka sifat itu akan tumbuh dalam diri kita seiring berjalannya waktu. Dalam ruang lingkup milenial, semisal di kampus, tak jarang juga ditemui konflik aplursime, di mana perbedaan dijadikan masalah dalam berinteraksi, mereka yang beragama muslim kadang tidak mau bergaul dengan mereka yang beragama kristen maupun agama minoritas lainnya.

Persepsi agama yang satu lebih baik dari agama yang lain sering menjadi bahan untuk mencela dan mendiskreditkan pihak minoritas ataupun sebaliknya. Itu hanya sederet fakta dari banyaknya realitas lain yang cukup untuk menggambarkan kondisi milenial Indonesia saat ini. Namun bukan berarti itu menjadi sebuah bentuk keputusasaan bagi kita, jika disikapi dengan bijak hal ini justru menjadi pelajaran berharga untuk kedepannya.

Berani Berubah,Kritis, dan Dialogis

Dalam kesempatan pidatonya, preseiden Soekarno pernah mengatakan kalimat motivasi nan agung yang sampai saat ini masih digaungkan dari generasi ke generasi sesudahnya “Berikan aku sepuluh pemuda maka akan kuguncangkan dunia ini”. Secara tersirat proposisi founding father kita ini mau menunjukan betapa pentingnya peran milenial sebagai generasi pembaharu terutama dalam menyikapi realitas perbedaan yang ada di bumi Indonesia ini, terutama melalui pemikiran-pemikiran kontributif dan membangun.

Selain itu, milenial juga tidak terjebak dalam idealisme dan hanya bergulat pada tataran konseptual saja melainkan bagaimana menyikapi realitas perbedaan yang ada. Untuk konteks Indonesia saat ini dibutuhkan milenial dengan jiwa –jiwa revolusioner yang tidak hanya pandai beretorika, tetapi juga berani mengimplementasikan karya-karyanya secara kongkret, misalnya dengan melakukan hal-hal kecil seperti seminar, diskusi ilmiah, sosialisasi, dialog lintas agama, maupun hal-hal positf lainnya yang terkait dengan topik-topik perbedaan yang ada dalam masyarakat.

Hal yang juga tak kalah penting adalah bagaimana sikap milenial dalam menghargai serta mau membangun dialog dengan saesama yang berbeda keyakinan, budaya,suku, dan lain-lain yang berbasis toleransi dan penghargaan martabat, tanpa menyisipkan intensi-intensi egosentris yang justru semakin mengakarkan dendam dan prasangka buruk. Alhasil tujuan bersama yang hendak dicapai harus ludes dalam dendam-dendam kolektif maupun pribadi.

Oleh karena itu, sebagai milenial yang berintegritas seharusnya dapat berpikir luas dan kritis serta mampu untuk menuangkan ide, gagasan, maupun buah pikiran ke dalam suatu persoalan kongkret terutama yang menyangkut pluralisme dalam masyarakat, sehingga cita-cita kebhinekaan tidak hanya sebagai sebuah simbolisme semata, tetapi menjadi pedoman berkehidupan yang mendasar dan baik. Kita berharap milenial dapat berbaur dalam keberagaman dan menghargai perbedaan sebagai keunikaan, tanpa harus kabur dari realitas dan jatuh dalam hal-hal buruk.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya