Mewaspadai Maraknya Informasi Wabah Coronavirus: Bagaimana Sebaiknya Kita Bersikap?
Wabah coronavirus atau yang sekarang resmi dinamai 2019-nCoV acute respiratory disease oleh WHO (Badan Kesehatan Dunia), telah menyebabkan hampir 565 kematian dengan total jumlah kasus terinfeksi pada Kamis, 5 Februari 2020 tercatat sebanyak 28.274 orang.
Sejak pertama dilaporkan, pada akhir Desember 2019, seluruh kasus mayoritas terjadi di kota Wuhan, China. Kondisi ini menyebabkan pemerintah Wuhan memutuskan untuk mengubah peruntukan 8 bangunan termasuk gymnasiums, exhibition centers dan sports centers, menjadi rumah sakit.
Sejauh ini, di luar China daratan, sudah sekitar 230 kasus infeksi serupa dilaporkan di 28 negara, termasuk negara-negara tetangga China di ASEAN, seperti Thailand, Singapura dan Malaysia. Hingga ke benua Eropa, Australia dan Amerika.
Beberapa negara termasuk Indonesia telah melakukan pemulangan warga negaranya dari wilayah Wuhan untuk selanjutnya menjalani karantina selama 14 hari hingga dipastikan dalam kondisi sehat, sebelum akhirnya dikembalikan pada keluarga.
Situasi terakhir lainnya, ada dua kapal pesiar yang sedang dalam karantina pemerintah Jepang dan Otoritas Hong Kong, dimana sekitar 3.700 penumpang kapal pesiar yang singgah di Jepang ditemukan hasil 10 diantaranya positip tertular 2019-nCoV acute respiratory disease.
Sedangkan di Hong Kong, seluruh awak dan penumpang kapal yang berjumlah sekitar 1.800 orang dilarang untuk meninggalkan kapal setelah ditemukan beberapa diantaranya mengalami demam dan gejala mencurigakan lainnya.
Kondisi ini semakin menyedot perhatian banyak pihak di seluruh dunia terutama kalangan masyarakat luas yang berupaya mencari berita atau informasi dari beragam sumber termasuk media sosial. Tidak dipungkiri, sajian berita yang ditampilkan media pun tidak seluruhnya menyajikan informasi yang tepat dan menenangkan. Hal ini diperburuk dengan bertebarannya hoax terkait wabah ini.
Kemenkoinfo sejauh ini mencatat ada 54 hoax terkait wabah 2019-nCoV acute respiratory disease. Sehingga respon publik akibat adanya berita yang menyesatkan ini adalah kepanikan atau ketakutan yang semakin menyebar ke berbagai penjuru dunia yang sama sekali tidak didukung oleh fakta ilmiah.
Ketika jutaan masyarakat panik dan tidak memiliki pemahaman yang benar atas suatu kondisi wabah maka akibatnya sungguh besar pada roda ekonomi, karena mereka akan memilih tinggal di rumah, mengurangi bepergian dengan transportasi umum atau ke fasilitas umum sehingga wajar bila jumlah penumpang pesawat akan semakin menurun dan roda ekonomi akan melambat.
Strategi komunikasi yang efektif dari pemerintah dan segenap pendukungnya sangat diperlukan dalam merespons ancaman tersebut.
Kepanikan dan ketakutan berlebihan tidak hanya menjalari masyarakat awam namun sebagian kaum terdidik pun mengalami hal serupa.
Sebagai contoh adanya himbauan untuk mengenakan masker bedah sebagai perlindungan telah mendorong aksi pembelian masal masker bedah untuk dikenakan setiap saat baik di perkantoran atau tempat umum sehingga menyebabkan ketiadaan stock masker di pasaran di berbagai negara. Bahkan negara seperti Taiwan sampai menghentikan ekspor masker bedah untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya.
Akibat pemahaman yang salah, terjadi kepanikan ketika ketersediaan masker bedah menipis apalagi masker itu tidak boleh digunakan kembali. Padahal praktik penggunaan masker bedah secara massal dan terus menerus bukanlah rekomendasi yang dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) atau pun Badan Pengendalian Penyakit Menular (CDC) Amerika.
Penggunaan secara konsisten yang dianjurkan adalah terutama di fasilitas kesehatan, pada orang yang menderita batuk atau pilek atau infeksi pernafasan dan kondisi tertentu seperti dalam transportasi umum tertutup yang padat dan berdesak-desakan. Di luar itu, tidak ada dasar riset yang mendukung untuk selalu mengenakan masker.
Sebaliknya, kebiasaan mencuci tangan secara rutin, menghindari orang sakit batuk pilek dan menjaga daya tahan tubuh dengan makanan sehat dan olahraga adalah cara yang jauh lebih penting dilakukan daripada memakai masker bedah.
Respon beragam atau berbeda kaum terdidik dan pakar dalam menyikapi informasi media juga dapat terjadi dalam situasi wabah infeksi yang baru muncul seperti ini. Contohnya pada saat penulis melihat beragam respon di media sosial terkait tindakan petugas kesehatan di Bandara Hang Nadiem Batam saat WNI yang dievakuasi dari Wuhan tiba untuk transit singkat sebelum menuju Natuna.
Secara garis besar terbagi tiga pendapat, yaitu mendukung, menganggap berlebihan, dan kurang menerapkan prinsip ideal dekontaminasi. Adanya perbedaan ini adalah suatu kondisi yang wajar mengingat tidak semua memahami kondisi sesungguhnya di lapangan dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang ada.
Satu hal yang harus diketahui adalah, pemerintah dalam hal ini kementerian kesehatan selalu berpedoman pada standar dan prosedur baku dalam setiap tindakan yang dipilih.
Adanya variasi tindakan di lapangan merupakan produk dari serangkaian proses dan dinamika yang akhirnya dipilih dengan tanpa mengabaikan dasar ilmiah dan aspek health security.
Rutala dan Weber (1999), peneliti infection control menegaskan bahwa pada beberapa “situasi dan lokasi tidak biasa” dimana terjadi wabah, menentukan metode disinfeksi adalah hal yang tidak mudah, bahkan setelah mempertimbangkan kategori risiko pasien atau suspek. Sehingga selalu menimbulkan kontroversi setelahnya.
Namun yang menjadi pegangan utama adalah efektifitas disinfektan yang digunakan, aspek perlindungan diri petugas kesehatan dan pasien atau suspek dalam hal ini WNI yang dievakuasi.
Riset yang dilakukan Sattar dkk. (1989) dan Kariwa dkk. (2004) membuktikan efektifitas paparan 1 menit alkohol 70% sebagai disinfektan terhadap SARS coronavirus.
Contoh lainnya adalah saat beredar informasi dari media tentang salah satu sebab belum ditemukannya kasus infeksi 2019nCoV di Indonesia adalah karena kualitas laboratorium rujukan nasional Indonesia yang “dituding” tidak siap atau belum mampu untuk melakukan tes terhadap sangkaan pasien terinfeksi 2019-nCoV acute respiratory disease.
Beragam komentar bermunculan dari pakar terkait ini. Padahal faktanya, Indonesia dalam hal ini termasuk fasilitas laboratorium Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan telah dinyatakan memenuhi standar international saat dilakukan evaluasi ekternal (Joint External Evaluation/JEE) tahun 2017 dalam kerangka implementasi International Health Regulation (IHR 2005). Artinya, dalam situasi krisis seperti ini, kita perlu memilah informasi dan melakukan analisa yang kritis sebelum memberikan komentar.
Reaksi pemerintah dan setiap individu serta komponen masyarakat dalam merespons ancaman virus ini, dan bukan virusnya sendiri, yang akan berdampak paling banyak pada keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan.
Media bermanfaat untuk mendukung keberhasilan karena media dapat berperan positip dalam menyajikan informasi yang akurat, namun disisi lain keberadaan media sosial, dapat menjadi sarana penyebaran hoaks kepanikan yang dapat menyebar lebih cepat dan lebih luas. Semua kembali pada kita sendiri, bertempur dengan musuh bersama sesungguhnya atau luntur karena terbawa arus informasi yang tidak akurat.
Artikel Lainnya
-
40223/03/2024
-
206801/04/2020
-
67102/10/2023
-
Paradoks Kenyamanan: Saat Kemudahan Membuat Kita Kehilangan Makna Hidup
67426/08/2025 -
Pesona dan Daya Saing Pasar Tradisional Kami
63111/05/2024 -
Petani, Jokowi dan Ketahanan Pangan
145710/06/2021
