Mengantisipasi Histeria Massa Implikasi dari Covid-19
Pada saat ini Indonesia mengalami sebuah problem yang cukup serius, yakni menjadi salah satu negara yang terdampak akibat infeksi SARS-Cov-2 yang mengakibatkan penyakit Coronavirus Disease atau lazim disebut dengan Covid-19. Secara global pandemik ini telah menginfeksi 803.011 manusia dengan angka kematian sekitar 39.025 dan angka kesembuhan sekitar 172.396 manusia.
Di Indonesia sendiri berdasarkan pembaruan data terakhir dari Worldometer.info yang berasal dari Gugus Tugas Covid-19, kurang lebih telah menginfeksi 1.528 manusia dengan angka kematian sekitar 136 dan angka kesembuhan 81 manusia. Tentu kondisi ini telah menciptakan sebuah fenomena sosial, di mana kerentanan warga negara berada dalam posisi yang cukup sulit.
Bahkan jika berkaca dari prediksi Dr Pandu Riono (Ayosemarang.com, 29/03) yang merupakan Ahli Epidemilogi dan Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), dampak dari Covid-19 ini dapat menyebabkan 2,5 juta manusia terpapar Covid-19 pada konteks Indonesia.
Hal ini juga menyambung dari a brief to the President yang dibuat koleh Kawalcovid19.id mengatakan, skenario terburuk pada kasus ini akan mengakibatkan sekitar 60-70% manusia akan terinfeksi dengan tingkat kematian kurang lebih pada rentang 1-4% atau jika diangkakan sekira 1,6 – 7,5 juta manusia kehilangan nyawanya. Memang ini menakutkan, tetapi ini adalah skenario terburuk jika memang pemerintah Indonesia tidak mampu mengatasinya.
Jika melihat dampak atau mengukur dari suatu dampak, maka akan ada satu dugaan logis yang linier dengan lintasan infeksi pandemi ini. Yakni keragu-raguan pemerintah dalam melakukan suatu kebijakan yang terukur dan konsisten. Berkaca dari penanganan awal dari pandemi ini, pemerintah terkesan tidak serius dan bebal ketika para ahli sudah memberitahu terkait dampaknya. Tidak heran jika pada rentang akhir Februari - Maret situasi berangsur-angsur memburuk. Semua mengalami kepanikan, khususnya bagi kalangan berpendidikan tinggi.
Tampaknya situasi memburuk juga mulai dirasakan masyarakat dalam berbagai kelas sosial. Dinamika masyarakat pun berubah, ini ditandai dengan aneka diskresi dalam melakukan karantina wilayah mandiri, hingga membuat protokol pencegahan mandiri. Lalu, secara sosial kondisi ini juga menumbuhkan sikap simpatik dan empatik, yakni munculnya berbagai gerakan yang sifatnya filantropis. Tetapi sebenarnya, kondisi tersebut menunjukan sebuah kepanikan.
Secara psikologi sosial konteks panik ini akan memicu kecemasan kolektif. Hal ini sebenarnya diinduksi oleh keyakinan bersama dalam rumor ancaman. Begitu kepercayaan terhadap ancaman yang akan segera terjadi bertransmisi luas, maka pada saat yang sama tercipta definisi konsensus tentang situasi tersebut. Sehingga keyakinan tersebut meningkatkan ketakutan dan mengubah persepsi individu.
Kepercayaan akan ancaman rumor menciptakan tekanan psikologis dan efek harapan yang membentuk reaksi somatik seseorang, sehingga harapan merasa sakit menghasilkan gejala penyakit (Bartholomew dan Victor, 2004).
Kondisi ini mau tidak mau akan hadir selama pandemi ini muncul, baik pra dan pasca. Bahkan lebih ekstrem adalah munculnya kekacauan sosial sebagai implikasi dari kecemasan kolektif. Hal ini akan menyebabkan yang namanya histeria massa, yang oleh APA Dictionary digambarkan sebagai wabah spontan terkait pikiran, perasaan atau tindakan atipikal dalam kelompok atau agregat sosial (merujuk pada bentuk kelompok sosial hingga kerumunan atau segerombolan orang). Manifestasi dapat mencakup penyakit psikogenik, halusinasi kolektif dan tindakan aneh.
Lebih jauh lagi Bartholomew dan Wessely (2002), mengatakan histeria massa atau Mass Psychogenic Illnes (MPI) adalah transmisi cepat dari sebuah tanda dan gejala penyakit yang mempengaruhi anggota kelompok kohesif, berasal dari gangguan sistem saraf yang melibatkan eksitasi (perangsangan), kehilangan atau perubahan fungsi, di mana muncul keluhan fisik yang diperlihatkan secara tidak sadar dan tidak memiliki etiologi (sebab atau asal penyakit) organik yang sesuai dengan pengetahuan umum.
Itu gambaran terburuk jika memang pemerintah tidak juga melakukan tindakan yang cepat dan tepat sasaran. Kondisi ini pun akan memengaruhi tatanan masyarakat, di mana situasi yang buruk akan terjadi seperti tindakan chaos hingga problem-problem sosial akut. Dengan ketidakmapuan menangani pandemi ini, akan muncul rasa kecewa hingga dalam tataran akut yakni histeria massa, yang akan mengantarkan Indonesia dalam situasi buruk baik secara sosial maupun ekonomi.
Tentu ini adalah hal yang paling dihindari, kala situasi semakin memburuk maka akal sehat akan hilang, kemanusiaan terancam. Indonesia perlu meniru negara lain yang terbukti jitu dalam melakukan penanganan wabah, seperti China, Korea Selatan, Vietnam atau India.
Keterlambatan melakukan karantina wilayah menyebakan transmisi SARS-Cov-2 ke manusia semakin meluas, penyakit Covid-19 pun semakin susah dibendung. Selain prediksi akan hilangnya 1,6 - 7,5 nyawa manusia, tentu pasca pandemi ini selesai akan meninggalkan berbagai problem sosial, seperti kekacauan sosial dan ekonomi.
Maka pada konteks inilah penting kiranya melihat urgensi penanganan pandemi ini, baik pra maupun pasca Covid-19. Perlu dilihat bahwa keselamatan warga negara merupakan hal yang utama, tanpa kesehatan yang utuh tentu ekonomi akan stagnan dan problem sosial akan muncul, sebagaimana ketakutan penulis akan adanya histeria massa yang memicu kekacauan sosial. Di sini penting kiranya pemerintah pusat lebih serius dalam menangani pandemi ini, bersinergi dengan pemerintah daerah.
Masalah kepatuhan pemerintah daerah tidak perlu dikontradiksikan, seharusnya pusat mampu menangkap soal keresahan beberapa daerah akibat serangan pandemi ini. Lebih jauh seharusnya terjadi konektivitas antara pemerintah daerah maupun pusat. Dan pilihan paling rasional adalah mengkaji wacana karantina wilayah (local lockdown), tentu dengan mengutamakan warga negara, sebagaimana yang tertuang dalam UU Karantina Kesehatan. Langkah ini perlu dijalankan, sebagai sebuah antisipasi atas problem sosial yang akan meluas dampaknya, jika terus dibiarkan tanpa penanganan yang serius.
Tentu ini juga menjadi tugas dari ilmuwan sosial, khususnya dalam konteks psikologi sosial untuk membaca dan memberikan sumbangan ide bagi pemeritah, baik pusat maupun daerah serta bersinergi dengan elemen lainnya untuk memberikan suatu penanganan yang tepat sasaran, berbasis pada riset faktual guna melakukan antisipasi pra dan pasca pandemi Covid-19, sebagai salah satu tanggung jawab moral intelektual.
Referensi
Bartholomew, R. E., & Victor, J. S. (2004). A social-psychological theory of collective anxiety attacks: The “Mad Gasser” Reexamined. The Sociological Quarterly, 45(2), 229-248.
Bartholomew, R. E., & Wessely, S. (2002). Protean nature of mass sociogenic illness: from possessed nuns to chemical and biological terrorism fears. The British Journal of Psychiatry, 180(4), 300-306.
Artikel Lainnya
-
43003/01/2025
-
50712/10/2024
-
132629/04/2021
-
Hipokrisi Akut Melawan Korupsi
266517/12/2019 -
Demonstrasi Kenaikan BBM, Jangan Diseret Emokrasi
76807/09/2022 -
Penggunaan Platform Media Sosial Oleh Sender
78715/11/2022
