Petani, Jokowi dan Ketahanan Pangan

Mahasiswa Sosiologi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Petani, Jokowi dan Ketahanan Pangan 10/06/2021 1307 view Lainnya roemahgoegah.wordpress.com

Pertanian merupakan cikal bakal hobi manusia untuk mengeksploitasi alam beserta isinya dan merupakan salah satu sumber kehidupan peradaban manusia. Saat sedang menunggu musim panen, orang-orang dari ribuan tahun lalu bisa menciptakan konsep-konsep secara gradual yang kemudian digunakan di dalam peradaban masyarakat kita, seperti keluarga, agama, ideologi, dan tentunya negara. Begitu kurang lebih gambaran apa yang disebut revolusi kognitif yang dibacakan Youval Harari dalam buku Sapiens.

Indonesia sendiri punya sejarah panjang dengan pertanian. Sebagai salah satu bangsa yang dianugerahi alam yang sangat indah oleh Gusti, pertanian bisa subur dan menjadi penopang kebutuhan pangan dan ekonomi di era kerajaan, salah satunya Majapahit.

Di masa modern, Sukarno sendiri mencetuskan ideologi Marhaenisme dari perjalanan beliau di kota Bandung saat itu yang secara kebetulan bertemu seorang petani yang bernama Marhaen. Orang-orang yang hanya mempunyai alat produksi sedikit, yang hanya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi serta keluarganya saja, semangat itulah yang digunakan Bung Besar untuk menyatukan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah serta merumuskan pemerintahan Indonesia. Setidaknya sampai sebelum peristiwa Gestok meletus.

Memasuki era Jokowi, yang notabene diusung oleh Partai dari putri Bung Karno, pemerintahan Jokowi tidak melihat pertanian sebagai salah satu sumber utama kedaulatan sebuah bangsa. Hal ini ditandai dengan arah pembangunan yang fokus pada infrastruktur yang memakan konflik lahan sebanyak 145 sejak tahun 2015–2019.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik lahan era Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama meningkat hampir dua kali lipat dibanding dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “ Pada masa SBY cenderung meningkat di akhir masa jabatan. Saat Jokowi dari tahun ke tahun memang menurun pada masa akhir jabatan,” tutur Sekjen KPA Dewi Kartika. Dewi mengapresiasi tekad Presiden Jokowi yang ingin mewujudkan reformasi agraria di periode kedua. Hanya saja menurut dia, niatan itu belum dibarengi dengan implementasi konkret di lapangan.

Pada era SBY tahun 2007 dan 2008, menurut data Serikat Petani Indonesia, ada 139 kasus agraria dan menggusur sebanyak 55,264 KK dan menewaskan 14 orang. Pendapatan rumah tangga petani pun hanya sebesar 1,2 juta sebulan, dan ini menjadi catatan penting dalam pemerintahan era SBY. Sementara itu sejak 2004 sampai 2012 sepanjang pemerintahan SBY terjadi 618 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan areal 2.399.314,49 hektar. Ada lebih dari 731.342 keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan.

Jokowi dengan semangat membangun infrastruktur pun juga harus membayar mahal. Pada periode pertama kepemimpinannya, menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang menyatakan terjadi 1.769 letusan konflik agraria selama Jokowi-JK berkuasa dan 41 orang tewas dan 546 orang dianiaya dalam konflik agraria di era Jokowi. KPA juga mencatat konflik itu menghasilkan 51 orang tertembak dan sedikitnya 940 petani dan aktivis dikriminalisasi. Sedangkan pada periode kedua Jokowi, berdasarkan catatan KPA, selama periode pemerintahan Jokowi 2015-2019 telah terjadi 2.047 kasus.

Selain konflik lahan pertanian, pemerintahan Jokowi pun juga belum terlihat untuk mengangkat kesejahteraan Petani. Mayoritas buruh tani ini selain tidak mempunyai sawah sebagai alat produksi sendiri juga dihadapkan masalah yang pelik, Gaji. Badan Pusat Statitik (BPS) mencatat upah harian buruh tani nasional pada Januari 2019 meningkat dibandingkan Desember 2018. Tercatat, rata-rata upah nominal buruh tani pada Januari 2019 naik sebesar 1,03 pesen dibandingkan posisi Desember 2018 menjadi Rp. 53.604 per hari.

Secara riil, upah buruh tani naik 0,77 persen menjadi Rp. 38.384 per hari. Sebagai catatan, upah riil buruh tani menggambarkan daya beli dari upah yang diterima setelah menghilangkan faktor inflasi pada harga. Sebagai catatan, inflasi pedesaan pada Januari 2019 sebesar 0,26 persen. “Inflasi pedesaan pada Januari 2019 relatif rendah sehingga upah riil buruh petani selama Januari juga mengalami kenaikan,” ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Gedung BPS, Jumat (15/2).

Dibalik arah pembangunan Jokowi dan banyaknya konflik pertanian yang dihasilkan dari rahim pemerintahannya, nyatanya ketika pandemi seperti ini, pertanian merupakan salah satu sektor yang bahkan tidak terkena imbas. Didukung dengan data dari Badan Pusat Statistik Nasional yang mencatat pertanian menjadi salah satu sektor ekonomi yang masih mampu tumbuh di tengah pandemi virus corona. Staf Ahli Menteri Keuangan Masyita Crystallin menilai sektor pertanian kemungkinan kembali menjadi peredam gejolak krisis di tengah pandemi Covid-19, seperti saat krisis keuangan 1998.

Sektor pertanian kemungkinan masih berperan sebagai shock absorber. Saat ini belum ada riset atau survei terkait ini, tetapi melihat pertumbuhan sektor pertanian, mungkin ini kembali terjadi saat krisis pandemi ini,” ujar Masyita dalam Webinar Sustainable Economic Recovery in Indonesia : Opportunities and Challanges bagian dari SAFE Forum 2020 yang diselenggarakan, Selasa (25/8).

Disahkannya RUU Ciptakerja yang sampai sekarang masih ghaib berkasnya, tentu saja akan mengancam keberlanjutan petani. Dengan melihat corak RUU Ciptakerja yang pro pada pengusaha dan investor, tidak bisa dipungkiri kelak konflik-konflik agraria akan semakin bertambah. Demikian seharusnya pemerintahan Jokowi yang sekali lagi, selalu meneriakkan dekat dengan wong cilik wajib berfikir ulang ke mana arah pembangunan. Sawah atau Semen?

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya