Merekonstruksi Permendikbudristek PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi

Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek PPKS) di lingkungan perguruan tinggi menuai kontroversi. Peraturan yang sedianya dimaksudkan untuk melindungi korban pelecehan/kekerasan seksual, oleh beberapa kalangan dimaknai berpotensi sebagai legalisasi perbuatan asusila. Namun tak sedikit yang mendukung peraturan ini. Apa sebenarnya yang menjadi fokus perdebatan Permendikbudristek PPKS ini? Bagaimana sebaiknya pemerintah merespon pro kontra tersebut?
Lahirnya Permendikbudristek PPKS dilatarbelakangi keresahan terhadap maraknya berbagai kasus pelecehan/kekerasan seksual yang terjadi terutama di ranah publik atau komunitas. Berdasarkan Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2020, selama tahun 2020 kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas yang tercatat sebesar 1.731 kasus (21%) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual 962 kasus (55%), terdiri dari kekerasan seksual lain (tidak disebutkan secara spesifik) 371 kasus, perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan 5 kasus, dan sisanya percobaan perkosaan 10 kasus (Komnas Perempuan, 2021).
Parahnya lagi kekerasan seksual tersebut juga banyak dialami oleh civitas akademika (mahasiswa, tenaga pengajar dan tenaga kependidikan) di lingkungan perguruan tinggi. Komnas Perempuan mencatat sekitar 27% pengaduan kekerasan seksual berasal dari dunia pendidikan. Survei Kemdikbudristek tahun 2015 terhadap 79 perguruan tinggi di 29 kota di Indonesia mencatat 77% dosen yang disurvei menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di lingkungan kampus, 90% korban kekerasan seksual adalah perempuan dan mirisnya lagi 63% kasus kekerasan seksual tersebut tidak dilaporkan (Putra, 2021). Tingginya kasus yang tidak dilaporkan mengindikasikan bahwa seringkali korban takut melapor karena kuatnya relasi kuasa pelaku, kejadian sulit dibuktikan, dan tidak adanya payung hukum.
Mendikbudristek menjelaskan sejumlah alasan diterbitkannya Permendikbudristek PPKS, bahwa peraturan yang ada pada saat ini masih sebatas perlindungan kekerasan seksual dari kondisi-kondisi tertentu. Misalnya UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hanya melindungi anak di bawah usia 18 tahun. Sedangkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga hanya mencakup lingkup rumah tangga. Juga UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, hanya terbatas untuk menindak sindikat perdagangan manusia. Keterbatasan penanganan kasus kekerasan seksual dalam KUHP juga tidak memfasilitasi identitas korban, tidak mengenali kekerasan berbasis online atau verbal, dan hanya mengenali bentuk kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan pencabulan (tempo.co, 2021). Jadi ada kekosongan hukum untuk perlindungan korban tindak kekerasan seksual lainnya baik secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi, terutama bagi yang berusia di atas 18 tahun, belum atau tidak menikah, dan tidak terjerat dalam sindikat perdagangan manusia.
Bagi yang mendukung, Permendikbudristek PPKS ini dinilai sangat progresif dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, karena mengatur consent atau persetujuan. Pegiat Hak HAM, Nisrina Nadhifah menyatakan belum ada peraturan yang memiliki aspek pencegahan dan penanganan yang berpihak pada korban. Bahkan sangat spesifik menyebutkan definisi kekerasan seksual itu adalah ketiadaan consent atau ketiadaan persetujuan dari kedua belah pihak (Rahel, 2021).
Namun menurut Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam se-Indonesia, Permendikbudristek PPKS justru menimbulkan persoalan baru terkait penormaan. Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, m secara terang-terangan menginstrodusir konsep concent/voluntary agreement/persetujuan tanpa pemaksaan. Pasal 5 ayat (3) membuat kategorisasi tidak legalnya persetujuan aktivitas seks yang mengadopsi konsepsi concent penuh. Dalam konteks norma yang dimaksud adalah larangan melakukan perbuatan seks tanpa persetujuan korban. Hal ini yang kemudian menimbulkan reaksi publik yang cukup luas (Widhoroso, 2021).
Frasa persetujuan korban sebenarnya tidak hanya dalam Pasal 5. Namun juga ada dalam ketentuan Pasal 11 ayat (4) Pendampingan dilakukan berdasarkan “persetujuan Korban” atau saksi dan Pasal 20 ayat (3) Pemulihan Korban dilakukan berdasarkan “persetujuan Korban”. Akan tetapi yang jadi pokok masalah yang menuai polemik adalah ketentuan Pasal 5 ayat (2) terutama pada huruf: b) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; f) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; g) mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; h)menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; j) membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban; l) menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan korban; m) membuka pakaian Korban tanpa persetujuan korban.
Jika dianalisis, penolakan dari beberapa pihak bukan untuk menolak Permendikbudristek PPKS secara keseluruhan, namun lebih kepada frasa “persetujuan korban” yang dapat menimbulkan taksa dan multitafsir, karena dipandang mengandung makna bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban/consent. Karenanya frasa tersebut belum dapat diterima semua pihak karena dikhawatirkan dapat dijadikan dasar legalitas tindak asusila/seks bebas.
Berdasarkah hal tersebut perlu kiranya Kemendikbudristek melakukan kajian ulang terutama pada frasa “tanpa persetujuan korban” dapat diganti dengan diksi “tanpa hak” atau istilah lain berlandaskan norma hukum negara, agama, pancasila. Senada dengan hal tersebut, Rektor Mohammad Nasih menyatakan pada hakikatnya, Permendikbudristek ini memiliki misi yang sangat bijaksana dan mulia. Agar misi ini dapat diterima secara luas dan tidak menimbulkan polemik, ada baiknya penggunaan “tanpa persetujuan” dapat diganti dengan diksi “tanpa hak” yang lebih bernuansa bahasa hukum atau peraturan yang memiliki konsep “Sui Generis” (Wulandari, 2021). “Sui Generis” mempunyai karakter khas yang direfleksikan dalam sifat normatifnya. Di mana ilmu hukum memiliki sifat empiris analitis, namun juga memiliki sifat praktis normatif (Jamin, 2017). selain itu perlu melengkapi peraturan dengan menambahkan unsur penerapan nilai, norma dan etika yang berlaku di masyarakat yang ditautkan pada aturan resmi baik secara norma hukum negara, agama, dan norma yang berlaku di masyarakat sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat;
Adapun analisis secara keseluruhan Permendikbudristek PPKS telah memuat berbagai aspek secara komprehensif. Mulai dari definisi, kriteria kekerasan, upaya pencegahan, penanganan, perlindungan korban dan pemberian sanksi, pembentukan satuan tugas (satgas) serta pemantauan dan evaluasi PPKS. Hanya saja sanksi yang diberikan tidak setegas UU No. 35 Tahun 2014 (di mana pelaku kekerasan seksual yang merupakan pendidik mendapat sanksi yang lebih berat). Jenis sanksi yang diatur hanya sanksi administratif dengan kategori sanksi ringan dan sedang dan berat. Untuk sanksi berat berupa pemberhentian. Namun untuk sanksi ringan dan sedang berupa pemberhentian sementara dari jabatan atau skors belum disebutkan jumlah waktunya. Sehingga lamanya sanksi diserahkan kepada Satuan Tugas di perguruan tinggi untuk menilainya. Hal ini dapat saja menjadi celah hukum bagi pelaku.
Selain itu juga tidak diatur mengenai sanksi pidana dan restitusi seperti pada UU Perlindungan Anak (jumlah sanksi pidana dan restitusi untuk pelaku dengan kriteria tertentu seperti pendidik dan orang tua, lebih berat 1/3 kali). Walaupun pada Pasal 18, Pengenaan sanksi administratif tidak menyampingkan pengenaan sanksi administratif lain dan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan, namun sebagaimana yang dinyatakan Mendikbudristek bahwa peraturan ini hadir untuk mengisi kekosongan hukum yang tidak mengatur perlindungan bagi korban yang berusia di atas 18 tahun, belum atau tidak menikah, dan tidak terjerat dalam sindikat perdagangan manusia dan aturan hukum atas beberapa hal yang belum diatur dalam UU Perlindungan Anak, UU KDRT, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang maupun yang belum diatur dalam KUHP. sehingga perlu untuk melengkapi kekosongan hukum pada jenis sanksi hukum. Sanksi yang diberikan kepada pelaku dengan kriteria tenaga pendidik dan kependidikan di perguruan tinggi juga harus lebih berat karena tenaga pendidik dan kependidikan adalah orang yang paham dan bertanggungjawab untuk mendidik serta menjadi tauladan. Sehingga sudah seharusnya mendapat sanksi yang lebih berat.
Artikel Lainnya
-
202209/03/2022
-
104904/10/2021
-
199821/05/2020