Menyemai Indonesia Berbalut Ukhuwah Kebangsaan
Indonesia sebagai negara demokrasi dengan masyarakat yang majemuk, tentu memiliki tantangannya tersendiri. Sebagai negara dengan mayoritasnya muslim, Indonesia lantas dijadikan pijakan negara lainnya dalam mengonstruksi negara Islam yang ideal.
Namun sayangnya, apa yang didambakan acap kali berbeda dengan realita di lapangan. Sebab, masih banyak ditemukan kasus intoleransi agama di tanah air. Mulai dari perusakan mushola di Minahasa, konflik Poso, dan perkara lainnya. Tidak hanya di Nusantara, pun masalah ini sesungguhnya sudah menggerogoti dunia. Lihat saja di Bosnia, kelompok ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Timur Tengah, Yahudi, Kristen, dan Islam saling memusuhi.
Kendati demikian, penjelasan lebih rinci mengenai tiap polemik intoleransi agama nampaknya memerlukan pendalaman yang lebih jauh. Sehingga dalam konteks tulisan ini, yang dibahas terbatas pada sebab konflik intoleransi secara garis besar.
Yang memang, keterbelahan antar umat beragama merupakan konsekuensi dari negara dengan padat penduduk. Kalau menurut Samuel P. Huntington, potensi pecahnya konflik lantaran identifikasi kelompok, salah satunya agama, yang dilakukan secara tidak sadar. Logikanya, semakin banyak penduduknya, sudah barang tentu semakin banyak pula “pengeksklusifan diri dari orang lain” yang berbuah pada konflik.
Konflik ini, tentunya diperkuat dengan terbukanya keran globalisasi di seluruh belahan dunia. Sebab, globalisasi membuat wacana demokrasi baru berupa demokrasi digital. Teknologi digital yang sudah niscaya memuat big data, menyimpan sekaligus menyebarkan beragam informasi kepada khalayak luas. Dimana informasi ini ini kerap kali disalahgunakan secara norma ataupun etik.
Siapapun bisa berpendapat di ruang maya. Mulai dari masyarakat umum hingga elit yang berkepentingan. Namun tidak sedikit dari aktor politis, yang memproduksi dan mendistribusikan sejumlah informasi untuk kepentingannya semata. Mengunggulkan satu golongan, namun menjatuhkan golongan lainnya. Membuat masyarakat mengonsumsi kebenaran dengan sudut pandang “hitam dan putih”, sekaligus melegitimasi konflik identitas yang telah disebutkan oleh Huntington.
Padahal menurut Sumanto Al-Qurtuby dalam Rahman (2014:70), hakikat demokrasi yang digagas oleh Gus Dur adalah kebebasan. Suatu kebebasan yang mana mampu membebaskan individunya dari penghambaan terhadap kekuasaan negara yang hegemonik.
Dengan kata lain, negara yang minim konflik beragama ialah yang terlepas dari “demokrasi kurang ideal”. Demokrasi yang tidak memanusiakan seorang warga negara atau paling parah mendehumanisasi masyarakat.
Oleh karena itu, sudah saatnya negara ini berangkat menuju gerbang diskursus baru. Memasuki gelombang demokrasi yang mampu mengembalikan demokrasi kepada hakikat sejatinya. Menjadi sebuah prinsip kenegaraan yang sempurna akan nilai kebaikan. Dan perwajantahan cita yang dapat menghapus sekat di antara lapisan masyarakat.
Dalam hal ini demokrasi sudah sepatutnya diinterkoneksikan dengan inklusifisme beragama, lantaran gagasannya yang mengedepankan kemanusiaan. Dengan cara berbaik sangka, bertoleransi, dan merawat kerukunan antar umat beragama. Pada intinya, setali tiga uang dengan Gus Dur, inklusifisme beragama dicerminkan dengan perilaku yang baik dan ramah terhadap siapapun.
Secara praktik, sistem politik Negara Madinah pada zaman Rasulullah bisa dijadikan rujukan terbaik. Sebab, dahulu negara tersebut memiliki masyarakat yang majemuk dan heterogen. Mulai dari etnis Arab, Yahudi, Nasrani, Paganisme, dan Islam, beliau dapat menciptakan persaudaraan kebangsaan yang berasaskan agama.
Indonesia bisa mendekati tataran politik Negara Madinah yang ideal bilamana konsep inklusifisme atau toleransi beragama ditransformasi menjadi konsep kepemilikan agama kebangsaan. Tentu tahap tersebut bisa diraih apabila bangsa ini sudah merawat ukhuwah islamiyah (persaudaraan keislaman), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah basyariah (persaudaraan kemanusiaan).
Lebih lanjut, Indonesia sebagai negara demokrasi sejatinya harus membuka ruang dialog bersama seluas-luasnya. Wadah esensial ini nantinya memfasilitasi para pemeluk agama agar memajukan cakrawala pemikiran. Membuat para pihak yang terlibat dalam ruang dialog, untuk mau tak mau membuka diri, belajar, dan menerima perbedaan.
Pembelajaran yang dimaksud bukan berarti membuat pemeluk tertentu menjadi “goyah” dengan agama yang dianutnya. Melainkan keyakinan kuat yang dimiliki masing-masing pemeluk agama, mengantarkan mereka untuk saling menjaga ukhuwah dengan baik. Setelahnya, menemukan persamaan di dalam perbedaan dari beragam agama yang ada, bukan mengambil titik ekstrem yang terlampau absolut.
Nantinya, akan tercapai konsensus keberagamaan yang berdasarkan kebangsaan. Ketika mulai timbul benih-benih konflik, maka memori akan kebangsaan akan mencuat kembali. Apakah aksi kurang baik yang dilakukan tepat?
Jawaban atas pertanyaan itu nyatanya dahulu sudah direfleksikan sebaik mungkin. Mengingat kembali akan komitmen persatuan dan kemanusiaan yang tempo lama pernah dirajut. Maka, inilah dakwah kebangsaan terbaik, ajakan tanpa keterpaksaan yang anti kekerasan!
Artikel Lainnya
-
17623/11/2024
-
28909/02/2024
-
91906/06/2021
-
Membongkar Makna dalam kajian Kitab Al Fasl Karya Ibnu Hazm
10028/11/2024 -
371203/10/2019
-
268426/09/2022