Beralih dari Agama Amarah?

Guru di Canisius College Jakarta
Beralih dari Agama Amarah? 03/08/2020 1693 view Opini Mingguan Pixabay.com

Suatu waktu, “populisme” masuk ke dalam nadi agama yang kebanyakan dipenuhi orang-orang cemas dan frustasi. Kecemasan dan frustasi dalam diri agama ini tidak pernah lepas dari cara berpikir dan sikap memandang diri lebih baik dan benar daripada yang lain. Memang, populisme pada dasarnya menghimpun orang-orang menjadi suatu gerombolan yang menolak apa dan siapa saja “yang lain”. Dengan menguatnya populisme dalam diri agama, kita yang sejatinya sama berdiri dalam sekat-sekat yang berbeda: yang Islam berhadapan dengan yang non-Islam, yang kafir dengan yang mukmin, yang Kristen dengan yang non-Kristen dan seterusnya.

Populisme pula yang menggerakkan orang-orang untuk menegakkan kepentingan tertentu seperti ideologi, politik, golongan dan lain sebagainya atas nama agama. Agama dipelintir untuk tujuan-tujuan yang sifatnya memenangkan kepentingan sendiri dan golongan dan mengabaikan kepentingan bersama (bonum commune). Tulis Pankaj Mishra dalam Age of Anger: A History of the Present (2017), perang kebencian, cemburu, dan curiga yang disulut atas nama agama barangkali akan menjadi “perang paling lama dan ganjil” dalam sejarah peradaban manusia. Lantas, mengapa itu terjadi?

“Agama adalah ‘bank metafisik dendam’”, tulis Goenawan Mohamad (“Amarah” Catatan Pinggir TEMPO, 15 April 2018). Katanya, “tiap agama adalah peradaban yang terluka entah oleh kolonialisme atau disingkirkan dari dunia modern”. Di Indonesia sampai hari ini, setiap agama berdiri dengan ‘musuh abadi’ di hadapannya. Entah itu karena perbedaan iman, teologi, sampai kepada jumlah penganut. Islam, misalnya, memandang Kristen sebagai musuhnya. Atau sebaliknya, agama-agama minoritas seperti Katolik, Hindu, Buddha, Protestan dan Konghucu memandang Islam sebagai kekuatan besar yang “menindas” mereka. Begitulah agama-agama berjalan sampai hari ini.

Hari ini di abad ke-21, agama-agama berhadapan dengan suatu musuh bersama yang begitu kuat bernama modernitas. Dahulu, orang-orang mencari asal-muasal segala peristiwa dan memaknainya kepada dan atas nama Tuhan yang dipercaya sebagai pencipta alam semesta. Kini, teori-teori saintifik membuat manusia mampu membantu dirinya sendiri dari apa saja dan lalu menjadi tuhan di dunia ini bagi dirinya sendiri, sebagaimana dikemukakan Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015). Agama pun kembali dilanda kecemasan dan frustasi yang mendalam, terancam akan didepak dari dunia yang tak lagi membutuhkan makna tetapi kuasa.

Demi mempertahankan dirinya dari berbagai ancaman itu, baik dari kepercayaan lain maupun dari ‘serangan’ kejam modernitas, perang, kekerasan, terorisme lahir atas dasar klaim membela kebenaran agama. [Padahal kan Tuhan tidak pernah mau dibela.] Fundamentalisme semacam itu tercermin baik dalam pikiran maupun sikap penganutnya. Mereka seringkali tidak menyadari itu. Akan tetapi, sikap dan tutur kata mereka tak pernah bohong ketika ujaran kebencian, terorisme, pelarangan pendirian rumah ibadat, pemberlakuan fatwa natal, dan sebagainya merebak di mana-mana atas nama agama.

Dengan model agama yang demikian, kita sepatutnya tidak heran ketika orang-orang berjamaah berdoa di jalan atau di pusat-pusat kota, kaum agamis mewarnai perhelatan politik dalam negeri, atau seorang pemimpin yang berintegritas dilengserkan oleh karena agamanya tidak diterima masyarakat mayoritas. Bahkan, urusan-urusan remeh-temeh–semisal ihwal makan dan minum, perihal menaiki sepeda motor, mengenai berbusana–semuanya dikaitan dengan agama dan barangkali juga dengan Tuhan. Itulah yang disebut politisasi agama.

Di Indonesia, misalnya, agama mayoritas pun tak pernah luput dari amarah semacam ini. Di negara kita, Islam merasa terus terancam bahkan ketika masjid didirikan di mana-mana, suara adzan semakin menguasai udara, dan libur nasional untuk Idul Fitri dilaksanakan jauh lebih lama dari agama mana saja. Atau sebuah masjid yang baru didirikan di sebuah pulau dengan mayoritas Katolik bak menjadi “duri dalam daging” di antara para penduduknya. Lantas, bagaimana memadamkan amarah yang kian subur dalam tubuh agama kita?

Ada tiga tawaran yang penulis berikan dalam tulisan ini. Pertama, kita mafhum bahwa agama-agama sekarang ini barangkali terlalu akrab dengan kebisingan. Dalam kebisingan doa-doa dan kebaktian pada Tuhan disebut sebagai hafalan; orang hanya melaksanakan perintah agama sebagai rutinitas; di rumah-rumah ibadat kebaktian menjadi sesuatu yang terlampau ritualistik dan membosankan. Maka, kita mesti kembali kepada sesuatu yang esensial dari agama: keheningan.

Keheningan banyak dijauhi terutama karena frustasi dan kecemasan telah sepenuhnya malanda hati dan pikiran kita. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa sunyi adalah ruang tersembunyi tempat berbagai penemuan-penemuan besar dilahirkan, bisnis-bisnis dimulai, dan rancangan-rancangan besar disusun. Dalam agama, sunyi adalah tempat di mana “aku” dan “yang lain” menjadi samar. Yang Ilahi dilihat sebagai sesuatu yang lebih besar di luar segala jenis perbedaan. Dan di dasar ontologis manusia, sesuatu yang lebih besar darinya selalu mampu menyatukan “aku” dengan “yang lain”; menyatukan kita dengan para pemeluk kepercayaan lain. Jelasnya, keheningan mengajarkan setiap penganut agama sisi terdalam dari menghargai kepercayaan yang lain.

Kedua, agama kita dewasa ini nyatanya terlampau ritualistik sehingga cenderung meniadakan bahkan menjauhkan para pengikutnya dari pengalaman religius yang personal dengan Allah. Setiap ungkapan liturgis yang mereka lakukan telah dibakukan sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi tempat bagi relasi-relasi yang sifatnya personal antara Allah dan manusia. Maka, pengalaman religius yang personal dengan Allah menjadi begitu penting sehingga dapat menjauhkan orang dari sikap fundamentalisme yang berlebihan yang mengarah kepada kekerasan dan intimidasi terhadap yang lain.

Ketiga, pengabaian terhadap aspek pengalaman religius personal―di mana di dalamnya tercakup hal yang paling paripurna yakni keheningan―kian diperparah ketika agama yang semestinya menjadi urusan privat malah dibawa ke ruang publik. Agama kemudian ditunggangi oleh sebagian orang yang merasa diri sangat meyakini Tuhan tetapi sebenarnya sedang ‘mengatur’ Tuhan. Orang-orang ini memanfaatkan Tuhan untuk kepentingan politis, menegaskan superioritas diri, melegalkan kekerasan dan sebagainya. Maka, agama harus menjadi urusan privat setiap orang (meskipun argumen ini masih harus diperdebatkan lagi sebab mengandung unsur sekularisasi). Tanpa mengabaikan peran penting agama dalam menguatkan masyarakat, agama sejatinya adalah urusan privat setiap orang yang tidak dapat digugat, dipaksakan dan ditiadakan. Juga dengan begitu, agama tidak perlu mencampuri urusan-urusan di ruang publik seperti politik, ekonomi, dan sebagainya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya