Menikmati Tantangan Seorang Penulis

“Jadilah alam sebagai madrasah (sekolah), jadikan setiap manusia sebagai ustaz/ustazah (guru), jadikan segala peristiwa sebagai dirosah (pelajaran).”
(Ahmad Rifa’i Rif’an dalam Generasi Menulis).
Kesempatan dan Tantangan Seorang Penulis
Menulis merupakan aktivitas yang menyenangkan dan bisa dilakukan oleh siapa pun. Belajar menulis tidak serumit memulai bisnis startup, investasi saham, menyetir motor atau mobil, dan belajar desain grafis. Selagi ada bacaan orang bisa menulis. Bila seseorang tidak memiliki bacaan yang cukup, maka menulis menjadi sulit.
Sayangnya, tidak banyak orang mengembangkan keterampilan menulis sebagai sarana menyuarakan ide dan ilmu. Apalagi, ketika merumuskan kumpulan ide menjadi tulisan yang runtut, efektif, dan sederhana. Mengapa demikian? Karena menjadi penulis memerlukan proses berpikir yang panjang dan melelahkan. Dari sinilah kesabaran kita diuji untuk membentuk mental penulis. Selagi ada hasrat membuat tulisan yang bermanfaat, maka kita harus melatih sabar dalam belajar. Tidak ada kesuksesan itu instan saat proses menulis.
Hadirnya media sosial membuka peluang seseorang menjadi giat untuk menulis. Kita cukup mengetik depan layar smartphone saat berinteraksi dengan lawan bicara. Rasanya tidak ada beban saat menyampaikan perasaan, opini, kritik, dan sebagainya saat mengetik. Banyak orang berlomba-lombah mengunggah foto dan story di sosial media, disertai dengan caption terbaik mereka.
Celakanya, media sosial sekarang menjadi ajang manusia membuat noise (keributan), alih-alih membuat voice (bersuara). Mayoritas media sosial berisi konten, pamer, keluhan, ragam komentar dalam berbagai hal. Manusia terbiasa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuat caption, status, dan cuitan lainnya tanpa mengabadi segalanya dengan buku. Alhasil, semuanya hilang dan terbuang percuma. Ironis sekali.
Menulis juga merupakan obat penawar bagi seseorang yang sulit mengungkapkan perasaan dengan lisan. Tidak semua orang mampu menyampaikan perasaan dengan berbicara. Orang yang hidup trauma akibat tumpukan luka batin bisa menulis berkat pengalaman hidupnya. Menulis merupakan bukti seseorang mampu mengelola emosi, memecahkan masalah, menaikkan daya ingat, dan memperbaiki suasana hati. Alhasil, ia semakin percaya diri dan mencintai diri sendiri.
Menjadi penulis sejati harus tahan banting terhadap dua hal, yaitu ketahanan emosional dan hak cipta. Tidak ada pekerjaan bebas dari risiko. Sebagai penulis harus siap dengan segala kemungkinan, seperti writer block, malas menulis, pikun sementara, dan tidak percaya diri atas tulisan yang dibuat. Memang menulis tidak memberikan kekayaan materi seperti pembisnis miliyader, namun sekali lagi saat membagikan tulisan kepada pembaca pasti ada kebahagiaan yang tidak terhingga.
Selain itu, masalah pembajakan buku merupakan tantangan kedua menjadi seorang penulis. Sudah mendapat royalti yang tidak seberapa, masih ada orang berbuat jahat terhadap tulisan mereka. Banyak pihak yang tidak bertanggungjawab membajak ragam genre buku untuk kepentingan pribadi tanpa seizin dari penerbit. Hal ini sangat melukai perasaan menulis karena tidak memiliki adab dalam memperlakukan buku. Oleh karena itu, tindakan seperti ini layak dihukum setimpal atas kesalahan mereka.
Ahmadi Rifa’i Rif’an dalam Generasi Menulis menyarankan pada kita untuk memiliki mindset penulis jika ingin menjadi penulis sejati. Seberat apa pun masalah yang di hadapi maka kita siap menghadapi kemungkinan tersebut. Menulis merupakan bentuk sedekah jariyah karena aktivitas ini setara dengan berbagi ilmu. Kendati telah tiada, orang banyak membaca dan mengutip tulisan mereka. Dengan demikian, ilmu akan sangat berguna bila ditularkan pada orang lain.
Bedah Pandemi Covid-19 dengan Menulis
Pandemi Covid-19 merupakan salah satu peristiwa alam yang patut diabadikan melalui tulisan. Kita bisa menulis tentang Covid-19 dengan berbagai aspek kehidupan sesuai minat, pengalaman, profesi, dan kapasitas ilmu. Kajian Covid-19 tidak melulu soal medis, tetapi bisa merambah ke aspek politik, sosial, budaya, dan mentalitas suatu masyarakat.
Siapa pun dan apa pun pekerjaan seseorang bisa menulis tentang pandemi Covid-19. Namun sangat sedikit, orang memanfaatkan momen ini untuk menulis dengan benar. Ada orang yang menulis karena kesenangan yang semu dan ada juga orang menulis karena mengejar kebahagiaan yang langgeng. Cukup lah sejarah yang mampu menjawab semuanya.
Menulis bisa menjadi altenatif aktivitas seseorang saat menjalani work for home. Saat ini, sebagian orang belum berani beraktivitas di tempat publik karena takut Corona. Apalagi bagi orang yang tidak memiliki ketahanan jiwa yang kokoh. Ketakutan seperti ini memang terjadi karena kurangnya edukasi serta informasi yang keliru. Maka, menulis menjadi jawaban untuk mengatasi ketakutan yang dialami sebagian orang selagi tulisan tersebut tidak memberikan keburukan.
Menjadi penulis harus memiliki ilmu agar tulisan tersebut bermanfaat. Rif’an membagi tiga azas yang harus dimiliki saat menulis, yaitu kejelasan, ketepatan, dan keringkasan. Selain itu, kita harus memperkaya kosa kata dan memahami diksi. Sebisa mungkin tulisan tersebut mampu memberikan sudut pandang (angle) baru untuk pembaca. Hal ini bertujuan supaya pembaca tidak bosan dengan sudut pandang yang sudah ada. Untuk memperolehnya, kita harus membiasakan diri untuk membaca ragam sumber.
Pandemi Covid-19 memberikan kesempatan luas bagi menulis untuk melakukan kegiatan produktif, salah satunya menulis. Maka, tidak ada alasan buat seseorang tidak menulis. Untuk menjaga semangat jiwa penulis, kita bisa belajar dengan penulis senior dan bergabung dengan komunitas penulis. Bila nama kita ingin dikenang sepanjang masa, maka menulis merupakan jawabannya.
Artikel Lainnya
-
20607/09/2022
-
83210/07/2020
-
123430/12/2020
-
43123/08/2021
-
104118/01/2021
-
Childfree Gitasav : Influencer yang Lupa Peran
219930/08/2021