Filsafat dan Stigma yang Tak Pernah Lekang Oleh Waktu

Filsafat dan Stigma yang Tak Pernah Lekang Oleh Waktu 02/06/2022 682 view Agama anakui.com

Hal ini mungkin sangat klise di beberapa daerah, termasuk daerah tempat saya tinggal. Sebagian besar orang menganggap bahwa berfilsafat atau mempelajari filsafat adalah hal yang melanggar prinsip-prinsip beragama. Berfilsafat adalah kafir, “kamu bisa murtad, Cha”. Kata salah seorang teman beberapa tahun lalu. Saya bergeming dan tak menghiraukan, kemudian beberapa bulan lalu bahkan ada yang mengatakan bahwa kampus tempat saya menuntut ilmu untuk belajar filsafat adalah kampus liberal dan komunis. Padahal sejatinya dua hal itu kontras sekali. Saya diam dan mulai berfikir kapan stigma ini akan berakhir? mengapa justru kesepahaman masyarakat atas filsafat adalah negatif?

Kesepahaman, adalah hal yang menjadi latar belakang Scheilemacher dalam meurumuskan hermeneutika romantiknya. Hakikatnya ia mensistemasikan cara-cara dalam memahami sesuatu atau teks untuk mencapai kesepahaman yang “benar” dan terhindar dari kesalahpahaman.
Bagaimana kemudian teori Scheilemacher ini dikaitkan dengan kasus saya di atas? Hasilnya orang-orang justru tidak memahami filsafat secara benar. Apa yang dinamakan dengan filsafat telah terdistorsi dengan beragam spekulasi negatif. Mayoritas berasal dari para pemuka agama yang ortodoks. Masyarakat yang tidak mau susah-susah meninjau lagi pernyataan atau fatwa-fatwa mereka ujung-ujungnya malah jatuh ke dalam taklid buta.

Kembali kepada filsafat, harus diakui stigma yang melekat padanya memang tak pernah berubah. Bahkan sejak zaman Yunani kuno, yang menjadi tempat lahirnya ilmu ini, filsafat dan agama tak pernah harmonis. Banyak tokoh yang berusaha mengharmonisasikan dua entitas ini, termasuk agamawan seperti St. agustinus dan Thoman Aquinas. Bahkan turut juga dari dunia muslim seperti Al Farabi, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Hazm.

Pada akhirnya apa yang diharapkan Scheilemacher untuk mencapai kesepahaman, dalam suatu teks telah tercapai setidaknya untuk mayoritas masyarakat awam, namun kesepahaman itu justru malah dalam bentuk kesalahpahaman. Saya pikir harus ada yang meluruskan masalah ini. Namun sayangnya daya tarik para intelektual tak pernah sekuat daya tarik para pesohor agama. Terlihat jelas hanya segelintir orang yang mau melihat video-video yang berkenaan dengan teori-teori filsafat melalui YouTube. Hal ini kontras dengan banyaknya viewers para pesohor agama yang membahas perihal jodoh, masalah-masalah fiqih, juga beberapa kadang hal yang kontroversial. Mereka tak salah, namun ini adalah contoh bahwa masyarakat kita tak mau kritis. Sehingga ketika ada tokoh-tokoh tertentu yang melayangkan statement seperti “ Filsafat itu haram!” hal seperti itu malah diterima secara cuma-cuma tanpa melihat terlebih dahulu bagaimana sejatinya filsafat itu.

Benar kiranya stigma berasal dari sebuah intepretasi. Dan intepretasi adalah hal yang relatif. Semua orang bebas memahami, menafsirkan sesuatu sesuai kadar akalnya masing-masing. Tak ada yang objektif dari intepretasi. Mengingat sifat manusia yang pluralistik, maka kegiatan menafsirkan sudah pasti bersifat subjektif. Namun perlu digarisbawahi walaupun bersifat subjektif, tidak ada salahnya juga bahkan mungkin menjadi kewajiban untuk membenarkan pemahaman-pemahaman yang salah.

Bila ada yang mengatakan filsafat haram karena hal ini merunut pada pernyataan hujjatul islam Al Ghazali, maka jelas ia tak mempelajari lebih jauh. Sebab Al Gahzali dalam kritiknya tentang filsafat pun hanya melayangkan ketidaksetujuannya terkait tiga poin saja yakni yang berkaitan dengan; Kekalnya alam, Allah tidak mengetahui hal-hal yang spesifik juga dengan pernyataan jasad manusia tidak dibangkitkan di hari kemudian kelak. Ibarat filsafat adalah sebuah tubuh, maka Al Ghazali hanya menentang tiga bagian tubuh saja. Pun sebelum mengkritik Al Ghazali telah mendalami atau mencicipi beragam teori dan cabang filsafat terlebih dahulu. Apakah ini berarti Al Ghazali menafikan keberadaan tubuh tersebut? Lagi pula kritikannya inipun sudah disanggah oleh Ibnu Rusyd dalam Tahafut at Tahafutnya. Bahkan Ibnu Rusyd mengatakan kritik Al Ghazali muncul karena kesalahpahamannya terkait poin-poin yang telah disebut di atas.

Terlepas dari Al Ghazali, stigma atas filsafat juga muncul karena ilmu ini membahas tentang Tuhan. Teman saya beberapa tahun lalu mengatakan bahwa dalam sebuah kelas di kampusnya, saat hendak mempelajari filsafat maka dosennya akan mengatakan “ lepaskan dulu tentang Tuhan dari diri kalian”, hal ini pula yang membuatnya takut kalau-kalau saya menjadi murtad. Padahal kenyatannya tidak demikian. Terlepas dari kontroversial dosen yang telah diceritakan teman saya itu. Pembahasan tentang Tuhan justru sudah ada dalam wacana ilmu keislaman, hal ini disebut dengan ilmu kalam, ilmu mantiq, atau teologi Islam. Ajakan untuk berfilsafat pun sebenarnya sudah ada di dalam Al-Qur’an. Banyak akhir ayat yang mengajak kita untuk berpikir, atau berusaha untuk mengerti tentang sesuatu. Mereka berbunyi “Afala ta’qiluun” dan “Afala tadzakkaruun”.

Para ilmuan muslim juga membuktikan bahwa berfilsafat tidak justru membuat mereka menjadi murtad. Apakah pembaca pernah mendengar atau membaca Al Farabi, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Thufail keluar dari Islam karena berfilsafat? Atau yang kontemporer seperti Fazlur Rahman, Sayd Hosain Nasr, dan Taha Abdurrahman murtad karena berfilsafat? Faktanya tidak. Mereka masih lah muslim yang sejati di samping terus menelurkan karya-karya filosofisnya.

Sejak dahulu para pemikir, baik itu yang beragama Islam, Kristen atau yang menganut politeisme seperti masyarakat Yunani kuno, telah berusaha mengharmosasikan antara filsafat dan agama. Namun tetap saja dua entitas itu tak pernah dapat disatukan, terlalu banyak orang yang setuju bahwa filsafat dan agama adalah hal yang kontras dan tak akan pernah damai. Stigma atas filsafat mungkin tak akan hilang secepat yang kita kira. Namun saya pikir adalah kewajiban kita saat ini untuk mewacanakan cara-cara berfilsafat kepada masyarakat agar tidak terjebak dalam kejumudan dan taklid buta. Apalagi situasi di negara kita beberapa tahun terakhir yakni sejak kasus Ahok dan Al Ma’idah 51, pembawaan masyarakatnya selalu sensitif bila diajak bicara mengenai agama, konon lagi mengaitkannya dengan filsafat. Padahal bila ditilik lebih dalam, agama saat ini tak lepas dari urusan politik di mana beberapa individu memanfaat kan situasi tersebut.

Bagi saya berfilsafat bukanlah haram. Dan saya juga tidak menyalahkan orang-orang yang membuat stigma atas ibu ilmu pengetahuan ini. Mereka bebas menafsirkan, dan memahami sesuai kadar akalnya. Namun adalah tugas manusia sebagai makhluk yang berakal agar dapat menggunakan rahmat dari Allah tersebut dengan sebaik-baiknya. Dan berfilsafat adalah salah satu jalannya. Maka kerelatifan atas pemahaman suatu teks itu boleh-boleh saja, namun sebagaimana kata Ibnu Hazm, jangan sampai pemahaman kita melenceng jauh dari teks (baca: bisa berupa teks tertulis, kejadian atau fenomena) tersebut, sehingga menghilangkan hakikatnya.

Semoga kita dapat bersahabat dengan filsafat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya