Eksistensi Manusia di Dunia Adalah Keterjebakan
Sebelum tenggelam lebih jauh dalam metafisika tentang keberadaan atau eksistensi manusia. mungkin ada lebih baiknya kita memahami pemikiran salah satu tokoh filsafat eksistensialisme yang bernama Martin Heidegger. Menurut Heidegger, dasein atau eksistensi manusia mengalami keterlemparan dalam dunia atau disebut in der welt sein atau berada dalam dunia. Berada dasein dalam dunia berbeda dengan berada gelas dalam ruangan. Pengertian dasein berada di dalam dunia jauh lebih kaya dari beradanya gelas dalam ruangan(Heidegger.1926). Berada dalam dunia menunjukkan adanya sorge atau kepedulian yang menandai hubungan dasein dengan realitas di sekitarnya. Atau lebih singkatnya manusia dapat eksis di dunia ini karena suatu keterlemparan. Kita terlempar ke seluruh dunia ada yang terlempar ke Asia, ada yang ke Eropa, dan sebagainya. Selain terlempar ke dalam tempat, kita juga terlempar ke masa-masa yang berbeda.
Konsep eksistensi manusia yang Martin Heidegger ungkapkan ini memang tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Namun bagi saya Heidegger kurang merefleksikan lebih mendalam tentang eksistensi manusia. Dasein memang pada awalnya mengalami keterlemparan ke dalam dunia akan tetapi dasein tidak hanya berhenti pada keterlemparan lebih dalam lagi dasein mengalami keterjebakan di dalam dunia, budaya dan identitas dimana dasein itu terlempar. Keterjebakan di dalam dunia, budaya dan identitas dimana dasein beranda menuntutnya untuk memilih sikap dan pendirian tentang bagaimana ia harus bersikap terhadap keterjebakannya itu. Ada yang mengangapnya sebagai kewajiban, ada yang mengangapnya keharusan, ada yang menganggapnya anugerah, namun ada juga yang menganggapnya sebagai kutukan. Keterjebakan dasein di tempat ia terlempar membuatnya harus memiliki jiwa yang cenderung radikal terutama berkaitan dengan keberadaan dasein yang lainnya.
Subjek yang menyadari proses keterlemparannya serta keterjebakannya tentu akan memiliki sikap yang lebih liberal ketimbang subjek yang tidak menyadarinya. Subjek yang tidak menyadari keterjebakannya di dunia akan cenderung bersikap radikal dimana ia terjebak. Ia akan cenderung merasa nyaman dengan tempat dimana ia terjebak. Subjek itu akan cenderung menyerang mereka yang mencoba menggugat keterjebakannya itu. Kedangakalan subjek yang radikal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti kekecewaan terhadap subjek lain, doktirin dari sekte dimana dia terjebak, maupun karena ketidakmampuan subjek itu dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi terhadap dirinya.
Keadaan ini membuat dasein sebagai keterjebakan semakin absurd. Tidak bermakna dan menyebabkan permasalahan-permasalahan filosofis yang tidak bisa dihindari seperti bunuh diri. Subjek yang terjebak serta menyadari keterjebakannya di dunia dan keabsurdtan keterjebakannya membuatnya memilih jalan terbaik menurutnya untuk keluar dari keterjebakan itu, yaitu bunuh diri. Kemungkinan ketersingkapan ada dan keterjerumusan ke jurang banalitas sangat mungkin di segala era, tidak terkecuali era kebudayaan digital saat ini. Oleh karenanya, analisis dasein Heidegger masih sangat relevan untuk menunjukkan ambivalensi kemungkinan-kemungkinan eksistensial manusia. Tegangan ambivalensi selalu akan mengiringi eksistensi manusia selama hidupnya.
Dari semua keadaan serta permasalahan yang dialami manusia di dalamnya eksistensinya di dunia. Hanya ada satu frasa yang dapat saya katakan “ Kita terjebak”, kita terjebak di dalam di dunia, kita terjebak dalam suatu budaya, kita terjebak di antara manusia lainnya. Keterjebakan kita membuat kita kehilangan kebebasan. Kebebasan kita sebagai manusia hanya sebuah idealisme belaka karena pada dasarnya kita memang sudah terjebak. Lalu bagaimana dengan perasaan bebas dari perbudakan dan penjajahan di zaman ini bukankah itu sebuah kebebasan? Itu memang kebebasan namun hal itu hanya kebebasan sementara bukan kebebasan mutlak. Sekali lagi saya katakan kita terjebak. Atau meminjam istilah dasein Heidegger dapat saya katakan juga bahwa das dasein eine Gefangenschaff. Lalu bagaimana cara kita bisa lepas dari keterjebakan itu?
Tidak ada cara lain untuk lepas dari keterjebakan selain menyadari kemudian menerimanya. Karena jika kita mencoba menolak dan melawan, maka kita juga akan jatuh ke dalam keadaan absurditas, ketidakbermakanaan hidup dan pada akhirnya kita membunuh diri kita. Sesuatu yang sangat menakutkan bagi kita semua, perasaan absurd yang kemudian kita akhiri dengan jalan membunuh diri karena tidak mampu melawan keterjebakan. Oleh karena itu, kita hanya bisa menerima keadaan keterjebakan itu tanpa berbuat apa-apa.
Artikel Lainnya
-
72527/10/2021
-
79709/06/2021
-
53320/09/2023
-
Sayaka Murata dan Kekerasan Terhadap Anak
103426/07/2021 -
Makna Ideologis Habib Rizieq dalam Tinjauan Historis Indonesia
140820/11/2020 -
Mengakhiri Drama Penyalahgunaan Dana KIP-K
33806/05/2024