Mengkhawatirkan Pseudo-Education

Mengkhawatirkan Pseudo-Education 16/02/2022 895 view Pendidikan brilio.net dari Twitter/@karajmcdowell

Saat ini dunia sedang mengalami krisis pendidikan. Hampir dua tahun lebih pandemi Covid-19 menjadi pemicu berbagai dampak negatif dalam pendidikan. Para peneliti menganalisis dampak tersebut mulai dari gangguan kualitas pembelajaran, penurunan akses fasilitas pendidikan, loss learning, kesehatan mental, pembangunan karakter dan masih banyak lagi.

Terlebih, selama pandemi, pendidik dan peserta didik harus terisolasi agar terhindar dari penularan. Peserta didik juga tidak bisa bertemu dan bermain dengan sesama teman di lingkungan pendidikan seperti yang biasa dilakukan. Hal ini memungkinkan munculnya masalah lain seperti menurunya akhlak dan budi pekerti, kurangnya interaksi sosial dan psikologi.

Pendidikan saat ini dipaksa untuk keluar dari habitus awalnya dengan bertransformasi dari ruang tradisional ke digital. Digital learning dipercaya sebagai the emergency alternative untuk mencapai tujuan pengajaran selama pandemi. Namun, problem lain muncul seperti disparitas dan kesenjangan digital (digital divide).

Faktanya, lebih dari separuh pembelajar di dunia mengalami kesenjangan digital. Mereka tidak memiliki akses dan peluang yang sama dengan rekan mereka yang terhubung dengan dunia digital. UNICEF mencatat setidaknya 463 juta anak di seluruh dunia tidak dapat mengakses pembelajaran jarak jauh selama penutupan sekolah pada saat pandemi.

Akibatnya, pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan masih sebatas bayang-bayang semu semata. Permasalahan ini harus segera dipulihkan untuk menghindari kerusakan jangka panjang dalam dunia pendidikan. Jika tidak, kekhawatiran akan bencana pendidikan yang semakin berkelanjutan tak bisa terhindarkan.

Pembelajaran Digital dan Interaksi Semu

Selama pandemi, hampir seluruh lembaga pendidikan melakukan pembelajaran jarak jauh. E-Learning dengan model blended and hybrid learning menjadi alternatif yang paling banyak dipilih agar pembelajaran tetap berjalan.

Terlepas dari sisi positif yang ditawarkan dari keduanya, kelas tradisional dan digital adalah dua hal yang sangat berbeda. Memang dalam pelaksanaanya pendidik dan peserta didik akan berada dalam majelis yang sama dalam kelas digital untuk melakukan pembelajaran.

Namun, interaksi yang dilakukan hanyalah interaksi yang semu. Bukanlah interaksi real yang memungkinkan bertemu secara langsung wajhan bi wajhin (face to face). Padahal, interaksi semacam ini sangat dibutuhkan untuk mendukung proses pembelajaran. Walau saat ini pembelajaran tatap muka sudah dilakukan terbatas, pada intinya kelas digital hanya mempermudah proses pembelajaran, tetapi tidak dapat menciptakan learning environments yang bisa dirasakan seperti pada kelas tradisional.

Belum lagi beberapa kasus yang terjadi selama pembelajaran daring. Berapa banyak peserta didik yang mengalami stress akibat dari banyaknya tugas selama pandemi.

Parahnya lagi bahwa tugas yang diberikan seringkali tidak diawali dengan penjelasan terlebih dahulu. Ibarat pemain sepak bola mau menghadapi lawan tetapi strategi tidak diberikan, ketika timnya kalah tinggal saling menyalahkan.

Di sisi lain, kecurangan juga sering dilakukan dari sisi peserta didik. Mulai dari kamera yang sengaja dipasang video bergerak, sengaja dimatikan atau bahkan justru keluar dari ruang kelas digital dengan dalih gangguan signal. Tidak berhenti sampai di situ, berapa banyak kasus orang tua yang akhirnya mengeluhkan kelas online karena harus mengerjakan tugas anaknya.

Fenomena ini setidaknya bisa sedikit menggambarkan bahwa apa yang terjadi sekarang bisa katakan sebagai pseudo-education atau pendidikan yang semu dan jika diteruskan akan menciptakan disaster on education atau bencana pendidikan. Seolah-olah kita melaksanakan pendidikan tetapi sejatinya apa yang dilakukan hanyalah melaksanakan formalitas dengan penuh tipuan.

Pendidikan yang Sejati

Setuju atau tidak, pendidikan bukanlah hanya sekedar transfer of knowledge melainkan juga transfer of value. Kelas digital hanya memainkan peran dari sisi tarbiyah, ta’lim dan tadris tetapi belum mampu menyentuh level ta’dib. Ta’dib merupakan level tertinggi dalam pendidikan yang tidak hanya memberikan pengetahuan melainkan juga membangun sisi keadaban.

Level ini menjadi pekerjaan rumah terbesar dalam pendidikan digital karena pembangunan karakter akan sangat sulit jika hanya dilakukan dengan interaksi di balik layar. Jangan sampai, pendidikan pada akhirnya kembali terjebak pada sisi formalitas semata, mengabaikan substansi yang oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai proses memanusiakan manusia.

Hal yang harus dilakukan salah satunya adalah dengan meningkatkan kesadaran berbagai pihak. Imam Az-Zarnuji, ulama besar pengarang kitab Ta’limul Muta’allim menjelaskan ada tiga komponen penting dalam pendidikan yaitu Muta’allim (peserta didik), Ustadz (Pendidik) dan Abun (Orang Tua/Wali). Sinergitas ketiganya sangat penting agar pembelajaran online menjadi efektif.

Pendidik harus bertanggung jawab dalam melaksanakan pembelajaran dan tidak hanya memberikan tugas-tugas semata tanpa memberikan penjelasan. Peserta didik harus memiliki self directed learning yang tinggi sehingga memiliki rasa senang dan butuh akan pendidikan. Serta, orang tua yang selalu memantau, mendukung, dan membimbing proses pembelajaran digital.

Jika ketiga komponen ini saling mendukung, maka transfer of knowledge yang dilakukan oleh pendidik akan dikuatkan dengan transfer of value yang dilakukan oleh orang tua. Pembelajaran daring pada akhirnya tidak hanya menyentuh level tarbiyah, ta’lim, dan tadris tetapi juga bisa mencapai ta’dib.

Pendidikan sejatinya bukan hanya sebatas melaksanakan pembelajaran di kelas dan mengakhirinya dengan penjejalan tugas. Pendidikan adalah sebuah kegiatan yang dilakukan bersama berdasarkan pengalaman nyata.

Kreativitas, kepekaan sosial, dan kesehatan mental akan terwujud manakala pendidikan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab antar sesama. Pembelajaran daring memang sebuah keharusan, namun tidak semestinya hal ini dijadikan sebagai alasan untuk tidak menjaga kualitas pendidikan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya