Membedah Diskursus Pancasila versi Kacamata Millenials

Pembelajar Kajian Ilmu Politik Pemerintahan
Membedah Diskursus Pancasila versi Kacamata Millenials 02/06/2020 1306 view Budaya wikimedia.org

Berbicara mengenai Pancasila pasti semua memiliki konsepsi dan pemahaman yang berbeda-beda. Beragam cara kita menerjemahkan Pancasila dalam kehidupan keseharian berarti menunjukkan bahwa kodrat kita sebagai bangsa yang majemuk masih berlaku.

Tetapi satu hal yang pasti jika Pancasila yang telah dirumuskan oleh para founding fathers kini telah menjadi ideologi dan dasar negara yang kita diami saat ini. Itu sudah menjadi konsesus nasional yang harus disikapi dengan bijak.

Memang, tidak mudah jika ingin menjadi manusia pancasilais, apalagi kita bicara soal kacamata millenials terhadap Pancasila. Melalui artikel ini saya ingin menunjukkan bagaimana kaum millenials mengaktualisasikan Pancasila di negeri ini. Apalagi kita kaitkan dengan situasi saat ini.

Ya, situasi di mana kita semua sedang mengibarkan bendera perang dengan pandemi NCoV-19. Terkadang saya tertawa sendiri melihat kaum millenials menyikapi Pancasila. Bagaimana tidak, kaum millenials sekarang sudah dirasuki oleh roh-roh modernisasi dan globalisasi yang menggerakkan mereka.

Era tersebut telah mengubah tatanan hidup dari kita semua apalagi bagian dari kita yang tidak memiliki daya untuk meresponnya. Seolah-olah roh-roh abstraks itu telah mengendalikan dan memperbudak kita. Betapa tidak, Pancasila yang sudah kita terapkan selama bertahun-tahun bisa tergeser dengan cepat oleh hadirnya modernisasi dan globalisasi. Sungguh itu yang terjadi di negeri Pancasila ini.

Pancasila versus MoGlo (Modernisasi dan Globalisasi)

Banyak yang mengatakan jika nilai-nilai MoGlo tersebut tidak sesuai dengan budaya ketimuran kita. Bahkan saya masih ingat ketika pembelajaran mata pelajaran PPKn waktu SMP guru saya mengatakan jika nilai-nilai MoGlo tersebut harus kita saring mana yang sesuai mana yang tidak.

Namun nampaknya justru kaum millenials menjadi penggemar berat dari nilai-nilai MoGlo tersebut. Lalu, apa yang kita akan saring, kalau nilai-nilai MoGlo sudah digemari oleh kaum millenials kita? Sungguh negeri ini dipenuhi oleh kaum-kaum dagelan yang membuat kita terkadang merasa terhibur, terkejut, atau bahkan membuat kita menjadi marah.

Betapa tidak, kalau kita amati pemberitaan berbagai media terhadap kelakuan kaum millenials, nampaknya Pancasila hanya menjadi pajangan di dinding-dinding gedung, tembok yang tak bertuan. Ya, yang tak bertuan dalam arti ada kemauan untuk menghidupkan nilai Pancasila.

Coba kita amati, tapi jangan jauh-jauh dari keadaan yang kita alami saat ini. Dalam situasi merebaknya pandemi NCoV-19 ini banyak dari kaum millenials yang terlibat tawuran. Setidaknya sudah terjadi berkali-kali baku hantam antar kelompok. Dilansir dari liputan6.com (21/05) tawuran yang terjadi di Bekasi melibatkan dua ormas.

Bukan kaleng-kaleng karena ormas yang terlibat tersebut adalah pemuda pancasila dan persaudaraan setia hati Ternate (PSHT). Tentu sebagian kita akan menafsirkan bahwa itu sungguh-sungguh konyol.

Ilustrasi tawuran tersebut hanya menjadi bagian mini kondisi yang sesungguhnya. Masih banyak aksi baku hantam di luar sana bahkan setiap daerah pun terjadi. Tentu ini menjadi pertanyaan besar bagi semua kalangan. Jika kelompok pemuda Pancasila saja terlibat aksi begitu, bagaimana dengan orang-orang yang tidak berpancasila? Itu sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab.

Namun kejadian itu bukan hanya sekali saja, bahkan di tengah merebahknya NCoV-19 itupun masih terjadi, bahkan sering. Memang kebiasaan yang sudah membudaya sulit digeser. Nampaknya Pancasila sudah tidak dijadikan sebagai acuan lagi dalam kita bertindak.

Amat sangat disayangkan, karena para founding fathers kita telah merumuskan dengan hasil terbaik agar kita semua kelak dapat membangun bangsa yang bermartabat. Perlu diingat jika tawuran hanya menjadi salah satu kasus saja, masih banyak penerapan Pancasila yang kontras seperti kriminalistas millenials, narkoba, berjudi, prostistusi atau yang lainya. Namun bukan berarti semua millenials memiliki kebiasaan tersebut bukan?

Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa, apalagi di masa remaja secara psikologi dan emosional memang masih labil dan juga kita ingin menunjukkan jati diri kita. Bahwa inilah kita. Kita yang paling jantan. Oleh karenanya kaum millenials pada dasarnya masih perlu perhatian dan bimbingan dari semua pihak.

Kaum Millenials dan Solidaritas Kemanusiaan

Terlepas dari itu semua, saya ingin juga menunjukkan kehebatan kaum millenials. Harus dipahami semua tidak bisa kita samakan karena pada intinya semua diciptakan memiliki kekurangan dan kelebihanya masing-masing.

Saya pernah membaca sebuah kalimat yang ada di papan pinggir jalan raya. Kebetulan kalimat itu ditulis oleh salah satu pendiri perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Kalimat tersebut bunyinya seperti ini: Pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.

Sungguh kalimat yang sangat mendalam bagi saya di mana di situ terpendam nilai-nilai kemanusiaan yang yang begitu curam. Jika kita kaitkan dengan situasi saat ini, yakni sudah kita ketahui NCoV-19 telah melanda negeri ini dan itu bertepatan juga saat kita menjalani kehidupan Ramadhan. Saya menyaksikan sendiri ternyata masih banyak kaum millenials yang rasa kemanusiaanya masih ada. Tidak hanya ada tetapi saya melihat nilai nilai tersebut membuat mereka menjadi orang humanis apalagi saat situasi pandemi NCoV-19 ini. Sungguh luar biasa.

Sedikit bercerita, tentang apa yang saya ketahui. Saat Ramadhan di tengah pandemi NCoV-19 ini banyak dari kaum millenials yang turun ke jalanan atas nama solidaritas kemanusiaan. Mereka membagikan takjil gratis ke setiap orang yang membutuhkan. Mulai dari pengayuh becak, pemulung, dan lainnya.

Aktivitas tersebut tidak hanya sekali saja, tetapi bahkan 30 hari penuh. Dari situ saya terharu, ternyata kaum millenials kita masih ada yang peduli, masih ada jiwa solidaritas kemanusiaan, sehingga Pancasila secara jelas telah mereka tanamkan dalam jiwa mereka.

Memang sebagian orang pasti berargumen jika itu tidak seberapa. Tetapi bagi saya tindakan kecil tersebut telah memberikan nilai kemanusiaan yang amat besar, terlebih itu dilakukan saat kita berperang dengan pandemi NCoV-19. Sungguh sangat menginspirasi.

Satu hal lagi yang harus saya kagumi. Saya pernah melihat berita dari salah satu tayangan televisi di mana ada sekelompok organisasi disabilitas yang juga berdonasi membuat paket sembako untuk dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Bagi saya itu hal sangat sangat istimewa walaupun mungkin bagi orang lain tidak seberapa.

Keterbatasan yang melekat dalam dirinya saja mampu mereka tembus. Lalu, bagaimana dengan kita kaum millenials yang mungkin diberi harta materiil yan melimpah? Jika mereka saja memiliki solidaritas kemanusiaan, mengapa kita yang diberi kelebihan tidak bisa? Tentu ini menjadi refleksi dari kita untuk menghidupkan kembali Pancasila yang sudah kita sepakati bersama.

Dari apa yang telah saya sampaikan maka bisa dipahami bahwa banyak varian cara pikir Pancasila yang telah diaktualisasikan kaum millenials. Terlepas dari positif atau negatif saya meyakini itu adalah masih dalam prosesnya. Masa millenials adalah masa yang menggebu-gebu. Hidup kata sebagian orang harus bewarna, jangan mulus-mulus saja.

Intinya bahwa kita harus bisa melihat dari berbagai sudut yang berbeda agar aktualisasi negatif yang dilakoni oleh kaum millenials tidak serta merta mendikte dirinya menjadi manusia yang tidak pancasilais. Itu adalah sebuah dinamika proses yang harus dijalani. Bagi saya hijrah dari yang negatif menuju positif adalah hal yang harus kita acungi jempol. Mengapa? Karena itu perlu tekad kuat dan tidak semua orang bisa melakoninya.

Selamat Hari Lahirnya Pancasila.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya