Antisipasi Pengaruh Kaum Oligark dalam Pilkada

Mahasiswa
Antisipasi Pengaruh Kaum Oligark dalam Pilkada 25/11/2020 1116 view Politik wikimedia.org

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia akan terjadi pada tanggal 09 Desember 2020. Pilkada yang dilaksanakan di tengah pandemi ini cukup menuai pro kontra.

Ada pihak yang menolak terjadinya pilkada karena sangat berisiko dengan adanya pandemi Covid-19. Namun, ada juga pihak yang menyetujui pilkada demi merotasi roda kepemerintahan.

Di balik pro kontra tersebut, pemerintah Indonesia tetap gigih untuk melaksanakan pilkada. Mereka yakin dan optimis bahwa pilkada itu akan berjalan baik dengan memperhatikan protokol kesehatan secara ketat.

Maka, kita tidak perlu heran jika selama ini sudah terjadi kampanye dan debat publik secara virtual dan tatap muka hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Para kandidat menggunakan berbagai media untuk berkampanye dan berdebat. Mereka berusaha meyakinkan masyarakat dengan visi dan misi yang bagus dan menarik. Semuanya berjalan normal, meskipun sedikit terganggu oleh pandemi Covid-19.

Namun, sebelum pilkada serentak terjadi, kita perlu mengantisipasi beberapa hal, di antaranya: Pandemi Covid-19, money politic (politik uang), black campaign (kampanye hitam) yang terjadi di dunia nyata dan di dunia maya, pengaruh kaum oligark, dan yang lainnya.

Terkait pandemi Covid-19, penulis yakin bahwa pemerintah pusat dan daerah sudah mempertimbangkan segala sesuatu yang perlu. Lalu, terkait money politic dan black campaign, penulis juga yakin bahwa masyarakat kita sudah pintar dan lihai membaca situasi-situasi tersebut. Sebab, selama ini, praktik politik “kotor” semacam itu sudah sering terjadi dan cukup membosankan. Maka, salah satu hal penting yang perlu diantisipasi secara sungguh-sungguh di dalam pilkada kali ini ialah pengaruh kaum oligark.

Pengaruh Kaum Oligark

Oligarki berasal dari kata oligarkhia yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit (yang terdiri atas oligai (sedikit) dan arkhein (memerintah)).

Aristoteles mengambil pengertian tersebut dengan menerangkan bahwa oligarki merupakan sistem kekuasaan yang berada di tangan segelintir orang untuk kepentingan mereka sendiri (Johan Paji, Akademika Vol. XIV, No. I, Agustus-Desember 2018, hlm. 10-11).

Kemudian, Jeffrey Winters, sebagaimana dikutip Johan Paji dalam artikel berjudul Melawan Oligarki, mendefinisikan oligarki sebagai pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya (Johan Paji, Akademika Vol. XIV, No. I, Agustus-Desember 2018, hlm. 11). Dalam hal ini, Winters menunjukkan bahwa oligark mempunyai kekuatan yang besar dari segi materi dan posisi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Maka, tidak dapat dimungkiri bahwa kaum oligark memiliki pengaruh yang besar bagi para kandidat di dalam pilkada. Sebab, para kandidat tidak dapat maju dengan berani tanpa sokongan dari kaum oligark. Dalam hal ini, kaum oligark menjadi sandaran yang kuat untuk pelbagai kepentingan sebelum dan selama pilkada.

Mereka menjadi kekuatan tersendiri bagi para kandidat, baik secara moral maupun materil. Mereka mendukung para kandidat dengan dana segar yang banyak untuk membiayai kampanye, debat publik, dan lain-lain. Mereka memberi sembari meminta janji dari para kandidat.

Akibatnya, ketika seorang kandidat terpilih, kaum oligark akan mengendalikannya. Kekuasaannya akan “dimonitor” oleh kaum oligark. Dia hanya menjadi pemimpin boneka atau pemimpin bayangan. Sebab, pada umumnya, oligarki bersifat ekstraktif, yaitu berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok melalui kolaborasi tidak sehat dengan kapitalisme yang berakibat pada pencabutan kepentingan publik (Peter Tan, 2018: 47). Misalnya, kaum oligark meminta balas jasa atas dana yang pernah diberikan kepada kandidat terpilih dengan proyek-proyek tertentu, termasuk proyek tambang sekalipun.

Tentang hal ini, Jeffrey A. Winters, sebagaimana dikutip F. Budi Hardiman dalam buku Dalam Moncong Oligarki: Skandal Demokrasi di Indonesia, mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia paling tepat dijabarkan sebagai demokrasi kriminal karena para oligark secara teratur ikut serta dalam pemilihan umum sebagai alat berbagi kekuasaan politik, sambil menggunakan kekuatan kekayaan mereka untuk mengalahkan sistem hukum dengan intimidasi dan bujukan (F. Budi Hardiman, 2013: 35).

Pada titik ini, Winters secara gamblang menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah hancur dicengkeram dan dikuasai oleh kaum oligark.

Oleh karena itu, hal-hal semacam ini patut kita antisipasi dan waspadai di dalam pilkada kali ini. Kita berusaha menjauhkan para kandidat dari pengaruh kaum oligark. Agar dengan demikian, para kandidat mampu memprioritaskan kepentingan rakyat terlebih dahulu ketimbang kepentingan kaum oligark.

Di samping itu, kita berusaha mendukung para kandidat untuk mengimplementasikan visi dan misi mereka dengan baik, tanpa dihalang-halangi oleh kepentingan kaum oligark. Sebab, penulis yakin bahwa para kandidat sesungguhnya memiliki cita-cita dan mimpi yang baik, yaitu menyejahterakan rakyat yang miskin dan sengsara.

Memilih Kandidat yang Jujur dan Bersih

Untuk mengantisipasi dan menjauhkan bahaya yang dibawa oleh kaum oligark, kita mesti memilih kandidat yang jujur dan bersih. Dalam hal ini, kandidat yang jujur dan bersih adalah kandidat yang tidak terlalu bekerja sama dengan kaum oligark. Dengan demikian, kandidat semacam itu dapat membawa harapan akan kesejahteraan yang sesungguhnya bagi masyarakat kita.

Untuk mengidentifikasi pemimpin yang bersih dan jujur, kita dapat menggunakan skeptisisme metodis Rene Descartes (1596-1650). Menurut Descartes, untuk mencapai kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh, kita harus menyangsikan segala sesuatu (Mathias Daven, “Epistemologi”, Manuskrip (Maumere: STFK Ledalero, 2018), hlm. 19-20).

Terkait konsep Descartes tersebut, kita sering dengar pernyataan semacam ini: “Ragulah sebanyak mungkin sampai engkau tidak dapat meragukan bahwa sesuatu yang sedang engkau ragukan tidak dapat diragukan lagi.”

Dalam konteks pilkada, kita berusaha “mencurigai” dan meragukan semua kandidat dengan menggunakan konsep Descartes. Kita mencurigai kemampuan para kandidat dari berbagai sisi, baik materi, kapabilitas, integritas, moral, dan yang lainnya.

Misalnya, kita dapat mencurigai dan meragukan para kandidat yang ditopang oleh indikator-indikator bernuansa oligarkis seperti berkampanye dengan jumlah massa yang sangat besar, memberikan uang dan makanan gratis kepada massa yang hadir pada saat kampanye, memberikan bahan bakar (bensin dan solar) gratis kepada semua pemilik kendaraan yang hadir dan ikut pawai pada saat kampanye, memiliki partai pendukung yang sangat banyak dan lain-lain.

Di samping itu, kita juga dapat mencurigai para kandidat yang ingin meraup suara pemilih dengan cara “money politic” dan sejenisnya.

Setelah kita mencurigai para kandidat dengan cara demikian, kita memberanikan diri untuk menilai dan mengambil keputusan tentang kandidat yang jujur dan bersih.

Kita dapat memilih kandidat yang kurang bahkan tidak condong kepada indikator-indikator yang bernuansa oligarkis. Sebab, penulis yakin bahwa kandidat semacam itu adalah kandidat yang kurang bahkan tidak didukung oleh kaum oligark. Alhasil, jika terpilih, kandidat semacam itu akan lebih memprioritaskan kepentingan masyarakat daripada kepentingan kaum oligark karena beban yang dipikulnya ialah kepercayaan rakyat saja, bukan “hutang” dari kaum oligark.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya