Pendidikan di Indonesia Harusnya Berkaca dalam Film Monalisa Smile

Mahasiswa
Pendidikan di Indonesia Harusnya Berkaca dalam Film Monalisa Smile 29/07/2020 2097 view Pendidikan pixabay.com

“Pendidikan adalah suatu usaha memproduksi seseorang menjadi Buruh”

Kutipan tersebut berasal dari seseorang yang tidak mau disebutkan namanya. Ia beranggapan bahwa pendidikan adalah mereproduksi seseorang menjadi buruh atau budak korporat. Ia juga baru sadar akan hal ini semenjak kuliah di salah satu universitas di Indonesia. Ia sadar akan kutipan tokoh terkenal Michel Foucault yang kira-kira berbunyi “Pintar itu karena dia mendapatkan nilai bagus saat ulangan lalu mengerjakan PR kemudian dipuji orang deh” Kutipan tersebut membuat saya terhentak akan apa yang saya alami sekarang ini sebagai seorang mahasiswa.

Ya, menjadi pintar karena adanya kebiasaan dari mengerjakan tugas dan mendapatkan nilai dari setiap ulangan-ulangan terutama mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Keempat pelajaran tersebut merupakan suatu tolak ukur untuk menentukan seseorang masuk dalam kategori layak atau tidak layak menjadi jajaran dalam kategori orang pintar.

Biasanya ciri-ciri yang dapat dikatakan sebagai orang pintar itu karena diajak diskusi sebelum ulangan, biasanya duduk di depan serius merperhatikan pelajaran, dan nilai selalu tinggi dalam bidang Matematika, Fisika, dan Kimia. Lebih banyak orang-orang yang menganggap bahwa nilai ketiga mata pelajaran tersebut menjadi sebuah hal bergengsi, dalam hal ini saya semakin berpikir “Kok menjadi orang pintar seperti seorang pekerja ya bukannya pendidikan membuat seseorang menjadi bebas?

Coba kita telaah apa yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia. Selama saya SD sampai SMA, saya paling takut kalau dapat nilai jelek karena setiap dapat nilai jelek selalu dimarahin oleh guru dan siswa dituntut untuk mengerjakan PR, mengikuti ulangan, mendengarkan apa yang diomongkan oleh guru. Siklus tersebut akan berputar-putar sampai tidak ada berhentinya.

Mengenai kebebasan ini, saya teringat akan film dari Monalisa Smile. Film tersebut memberi inspirasi bagi saya bagaimana seharusnya pendidikan itu berada yaitu pendidikan yang menuntun kepada seseorang untuk berani memutuskan jalan hidup seseorang mau kemana.

Film yang diperankan oleh Julia Roberts yang mengajar di salah satu universitas yang berisi kumpulan orang “cerdas”. Kata cerdas dimaksudkan adalah cerdas karena mengikuti apa yang tertera dalam silabus. Ia tidak kehabisan akal dalam mencoba untuk mendapatkan hati mahasiswinya dan ini berhasil dalam waktu yang lama hingga akhirnya merubah pandangan bahwa seorang wanita tidak harus hidup dengan menikah lalu punya anak tetapi hidup bebas merdeka memilih jalan hidup masing-masing seperti melanjutkan kuliah hukum dan ada yang memilih menjadi wanita karier.

Film tersebut memberi saya inspirasi terhadap apa yang seharusnya dunia pendidikan lakukan. Dunia pendidikan seharusnya melakukan pembebasan terhadap apa yang dialami oleh anak bangsa.

Pembebasan dapat digambarkan melalui kurikulum yang baik yang membebaskan setiap orang untuk berkarya bukan mementingkan nilai. Pembebasan nilai dari adanya Ujian Nasional, kurikulum hafalan, ulangan dan PR yang membuat seseorang menjadi stress akan nilai malahan dengan adanya konstruksi semacam ini maka terjadi sebuah kekacauan yaitu manusia menjadi tidak bebas dalam memilih malahan siswa yang berada dalam jenjang pendidikan akan berada dalam kungkungan yang tidak baik sehingga dampak ke depan adalah penolakan terhadap lamaran kerja dan kurangnya adaptasi dalam hidup bermasyarakat.

Kurikulum yang ada di Indonesia dapat dikatakan sebagai hal yang bermasalah karena dengan adanya Ujian Nasional yang mementingkan nilai untuk lulus, adanya konstruksi yang dimaknai bahwa pintar berdasarkan nilai dari mata pelajaran eksakta dan SMA yang mementingkan buku , buku, dan buku.

Kepintaran seseorang merupakan konstruksi dari adanya pengalaman atau sebuah kebiasaan yang ditanamkan sejak lama namun untuk mengubahnya perlu waktu yang cukup lama maka diperlukan sebuah langkah dari para pengambil kebijakan.

Langkah pengambilan kebijakan bisa bermacam-macam tergantung dari pribadinya. Pengambilan kebijakan yang saya soroti adalah kebijakan Kampus Merdeka ala Nadiem Makarim.

Kebijakan Kampus Merdeka ini berusaha membuat Indonesia menjadi bebas akan beban dalam kungkungan UN, PR,dan konstruksi “cerdas”. Tiga hal ini coba dipangkas oleh Pak Nadiem dalam perumusan kurikulum Kampus Merdeka melalui berbagai macam hal. Ujian Nasional membuat semua orang berpikir memperoleh nilai yang tinggi sehingga nilai menjadi suatu cara untuk mendapatkan segala-galanya padahal tidak. PR yang memberatkan siswa membuat siswa akan lebih tertekan dan tertindas, dan konstruksi cerdas ini harus dimaknai bahwa yang pintar itu semua orang bukan hanya berdasarkan nilai tinggi tetapi berdasarkan kemampuan diri masing-masing.

Akhirnya, dalam film ini saya ingin berbicara bahwa Indonesia butuh sebuah revolusi. Revolusi yang dimaksud adalah revolusi mengenai adanya pendidikan yang tepat di Indonesia. Pendidikan yang mementingkan soft skill dibandingkan dengan hard skill yang lebih menekankan pada kualitas kepemimpinan dan Kerjasama yang baik untuk membangun Indonesia.

Kualitas Kepemimpinan dan Kerjasama tergantung dari Individu ini dalam memahami sebuah realita sehingga dengan memahami sebuah realita, individu jadi berhasil untuk membangun Indonesia menjadi pribadi yang lebih berwarna.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya