Melawat Hukum Indonesia yang Sedang Sakit

Suatu ketika, Simonides dan Socrates berdiskusi tentang keadilan. Diskusi yang cukup menguras energi tersebut akhirnya mampu melahirkan suatu kesimpulan, bahwasannya keadilan adalah seni yang memberikan sesuatu yang baik kepada teman dan memberikan sesuatu yang tidak baik kepada musuh. Terlepas dari semuanya itu, sebagai homo sapiens yang dimampukan oleh rasio dan kepemilikan akal budi, koruptor yang kedapatan ‘mencuri’ uang rakyat lalu dihukum puluhan tahun penjara tidak perlu ditangisi. Sebab pada dasarnya, hal tersebut merupakan prinsip keadilan.
Akhir-akhir ini sejumlah media menyuguhkan informasi menarik terkait tuntutan hukum kasus penyiraman air keras terhadap salah satu penyidik KPK, Novel Baswedan. Hal mendasar yang menyebabkan tuntutan tersebut menarik ialah kedua pelaku penyiraman yang menyebabkan kerusakan permanen pada bola mata kiri Novel Baswedan tersebut hanya dituntut satu tahun penjara. Tuntutan ini pun serentak menuai banyak perdebadatan dari pelbagai kalangan pasalnya, tindakan yang dilakukan oleh Rahmat Kadir Mahulettu dan Ronny Bugis ini dinilai sangat tidak tepat dan tidak sebanding dengan perbuatan yang telah mereka lakukan.
Menguak Kejanggalan
Novel Baswedan mengalami serangan saat usai menunaikan salat subuh di masjid Jami Al Ihsan, Kelapa Gading, Jakarta Timur pada 11 April 2017 (tirto.id, 12/6/2020). Dijelaskan bahwa ketika hendak kembali ke rumahnya, Novel Baswedan didatangi oleh kedua orang tak dikenal yang kemudian menyiraminya sebuah cairan. Kasus yang menimpa Novel tersebut langsung diproses dan tak dapat ditolak bahwa penanganan kasus terkesan lamban dan tak menunjukan suatu titik kepastian yang jelas.
Setelah mendapat desakan dari pelbagai pihak, pengusutan kasus ini pun kembali berlanjut hingga akhirnya pada tahun 2018 polisi berhasil membuat sketsa wajah penyerang Novel Baswedan.
Pada penghujung tahun 2018, kasus ini pun mendapat predikat ‘abu-abu’ lantaran para pelakunya pun belum berhasil diketahui. Pada tahun 2019 otoritas terkait seperti Polri membentuk tim pakar yang beranggotakan 65 orang dengan masa kerja 8 Januari - 9 Juli. Lagi-lagi, tim bentukan Tito Karnavian (sekarang Menteri dalam Negeri) ini gagal mengeksekusi tugasnya dengan baik. Kasus ini cukup menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia pasalnya pelbagai upaya yang dilakukan terkesan hambar dan nihil. Hingga akhirnya, bertepatan dengan pergantian Kapolri dari Tito Karnavian ke Idham Aziz pada 1 November 2019 mulai ada titik terang. Pada 27 Desember 2019 terjadi penangkapan terhadap kedua pelaku penyiram Novel Baswedan.
Mendengar tuntutan hakim terhadap kedua pelaku tersebut, masyarakat tersentak dan tertunduk. Seolah ada yang janggal dalam tuntutan tersebut. Bagaimana mungkin kasus yang memakan waktu cukup lama dan kerusakan permanen pada bola mata bagian kiri Novel Baswedan ini hanya diganjari hukum setahun penjara? Apakah hukum di negara ini sedang ‘sakit’ atau sudah diklaim sebagai alat pelanggengan kekuasaan?
Kita harus kritis bahwa ada yang tidak benar dengan hukum di negara ini. Saatnya segala bentuk kejanggalan harus ditelanjangi biar publik tahu bahwasannya hukum selalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Dilansir dari Antara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati DKI Jakarta, Ahmad Patoni, rendahnya tuntutan disebabkan oleh tidak terbuktinya dakwaan primer pasal 355 KUHP tentang catatan penganiayaan berat berencana. Pasal ini sendiri berisi ancaman hukuman 12 tahun penjara. Dalam penjelasan lanjutannya, rendahnya tuntutan tersebut disebabkan oleh sikap kedua pelaku yang awalnya ingin menyiram badan Novel Baswedan tetapi ternyata mengenai mata dan karena kedua pelaku tersebut sudah meminta maaf dan bersikap kooperatif.
Adapun motif dari penyiraman tersebut adalah kebencian terhadap Novel Basawedan karena menghancurkan institusi Polri. Entahlah, institusi Polri apa yang dimaksudkan dan kerugian seperti apa yang dialami oleh kedua pelaku sehingga nekat menjalankan aksinya.
Kebutaan Novel Baswedan dan Kebutaan Hukum Indonesia
Secara etimologis hukum berasal dari beberapa kata yang berbeda yakni ‘recht’ atau ‘rectum’ yang berarti bimbingan, tuntutan atau pun pemerintahan, ‘lex’ atau ‘lesere’ yang berarti menghimpun orang-orang untuk dikomando atau diperintah dan ‘ius’ atau ‘iubere’ sendiri mengandung arti mengatur dan memerintah. Sejatinya hukum merupakan kekuatan terakhir yang dimiliki sekaligus diandalkan oleh rakyat. Sayangnya, di mata banyak orang Indonesia, tuntutan hukum dalam persidangan hanya formalitas belaka.
Kita harus jujur bahwa defisit kesadaran tentang hukum diakibatkan oleh tingkah laku aparat penegak hukum itu sendiri. Soyogianya, peribahasa Belanda ini pantas disematkan kepada para oposisi keadilan: Hoe hooger greest, hoe groter beest-semakin tinggi intelektualnya, semakin besar kebinatangannya. Lantas, apa yang akan terjadi dengan masyarakat jika hukum yang pada entitasnya baik secara perlahan disusupi oleh orang-orang yang cacat secara logika. Sekali lagi, tuntutan satu tahun penjara bagi kedua pelaku merupakan representasi dari hukum Indonesia yang sedang buta, sedang sakit.
Sampai titik ini penulis masih belum bisa memahami secara utuh alasan terkait penyiraman Novel Baswedan. Seperti yang kita ketahui bahwa kedua pelaku penyiram Novel Baswedan ini berdalih bahwa mereka (kedua pelaku) tidak sengaja melakukan penyiraman ke bagian wajah Novel Baswedan. Alih-alih ingin menyiram badan Novel Baswedan, cairan tersebut malah mengenai wajah. Aneh dan janggal bukan?
Pada hemat penulis, penyiraman cairan ke wajah Novel Baswedan bukanlah suatu bentuk kesengajaan melainkan suatu bentuk perencanaan yang dikemas secara rapi. Penyiraman cairan yang mengakibatkan kebutaan pada Novel Baswedan pun akhirnya berdampak pada ‘kebutaan’ hukum di negara ini. Menyitir Haris Azhar, tuntutan rendah bagi kedua terdakwa kasus Novel Baswedan aneh tapi wajar. Aneh karena kejahatan kejam hanya dituntut rendah. Namun wajar karena Rahmat dan Ronny hanya sekadar boneka (Tempo.co 12/6/2020). Satu suara, Novel Baswedan dan hukum di negara ini sudah sama-sama buta akibat ulah orang-orang yang nuraninya telah tumpul sehingga sulit membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.
Kedua pelaku penyerangan Novel Baswedan merupakan anggota polisi. Idealnya, polisi adalah pengayom masyarakat. Sebab pada dasarnya, masyarakat merupakan substansi demokrasi, maka sebetulnya polisi sedang menjalankan tugas mulia untuk melindungi demokrasi (Tan, 2018:155). Dalam kasus penyerangan tersebut, kedua pelaku sesungguhnya telah memperlihatkan kepada publik bahwasannya mereka berdua gagal menjadi pengayom masyarakat. Jika tidak terlalu berlebihan, penulis ingin mengatakan kedua pelaku yang notabenenya adalah anggota polisi tersebut secara tidak langsung telah merusak substansi identitas dan eksistensinya.
Jalan Pulang
John Locke dalam salah satu karya tersohornya tentang negara menyatakan ada dua jenis pengalaman dalam diri manusia yakni pengalaman lahiriah atau eksternal sensation dan pengalaman batiniah atau internal sense. Dalam pemahaman yang lebih integral, pengalaman batiniah merupakan pengalaman yang menangkap aktivitas indrawi yakni segala aktivitas material yang berhubungan dengan pancaindra manusia. Sedangkan, pengalaman batiniah sendiri terjadi ketika manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitasnya sendiri dengan cara mengingat, menghendaki, meyakini dan sebagainya. Kedua bentuk pengalaman inilah yang nantinya akan membentuk pengetahuan manusia melalui proses selanjutnya.
Sakitnya hukum di Indonesia diakibatkan oleh matinya pengalaman batiniah para penegak hukum. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, para penegak hukum hendaknya mengaktifkan pengalaman batiniahnya agar hal serupa yang dialami oleh Novel Baswedan tidak terjadi lagi.
Indonesia merupakan negara demokrasi. Hal tersebut ditandai dengan adanya pengakuan dan kesamaan hak semua warga negara. Kita semua berharap agar kasus yang dialami oleh Novel Baswedan ini tetap dipantau. Kewajiban kita adalah sama-sama memberantas ketidakadilan bukan mencela keadilan. Kasus yang menimpa Novel Baswedan sesungguhnya menjadi ujian dan pembelajaran tersendiri bagi bangsa dan generasi muda. Pada titik ini penulis mengajak semua pihak untuk mendukung aparat penegak hukum sebab negara ini masih punya orang-orang baik, orang-orang yang tidak saja mengandalkan pengalaman lahiriah dalam setiap tuntutan dan keputusan melainkan juga mengandalkan pengalaman batiniah. Semoga saja tidak ada lagi ‘Novel Baswedan’ lainnya di negara tercinta ini.
Artikel Lainnya
-
191610/11/2020
-
117630/03/2022
-
144507/06/2020
-
Patriarki : Penjara Hidup Bagi Perempuan
80513/12/2021 -
40421/11/2022
-
Peran Domestik Ibu di Tengah Wabah Corona
172507/04/2020