Media Sosial dan Fenomena Hoaks

Mahasiswa
Media Sosial dan Fenomena Hoaks 06/11/2021 1224 view Lainnya teen. co.id

Perkembangan teknologi yang masif dan sporadis di era modern ini telah membentuk sebuah peradaban baru yakni peradaban generasi milenial. Teknologi telah menjamah hampir seluruh kalangan masyarakat milenial tanpa memandang suku, ras, agama, lingkungan kebudayaan, dan statusnya dalam masyarakat. Salah satu bukti perkembangan teknologi itu adalah menjamurnya media-media sosial di khalayak publik sebagai salah satu wadah informasi dan komunikasi masyarakat era milenial.

Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya media sosial dalam dunia informasi dan komunikasi sesungguhnya membawa dampak positif yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Setiap individu mampu mengakses beragam informasi tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Selain itu untuk menunjukkan eksistensinya, media sosial juga memberikan kebebasan kepada individu untuk mengekspresikan diri di hadapan publik seturut potensi dan kreativitasnya.

Tak dapat dipungkiri juga bahwa kehadiran media sosial di tengah arus modernisasi juga membawa dampak yang destruktif. Merebaknya berbagai informasi juga turut melemahkan daya nalar masyarakat terhadap informasi “di luar akal sehat” (hoaks). Nilai-nilai budaya yang mentradisi dianggap tidak relevan lagi dengan kehidupan di era modern ini. Semua nilai-nilai budaya itu harus mengikuti perkembangan zaman. Diskursus mengenai hoaks di kalangan pengguna media sosial adalah hal yang lumrah dan kerap dianggap sepele. Namun, bagaimana diskursus hoaks di kalangan pengguna _yang dalam tulisan ini penulis menyebutnya sebagai pengguna yang “melek media sosial?.” Dibutuhkan pendasaran yang akuratif dan efisien guna membendung aliran hoaks dalam wajah transformasi NKRI tercinta ini.

Berangkat dari fenomena tersebut penulis ingin mengulas bagaimana menjamurnya budaya hoaks di kalangan kaum milenial serta langkah antisipatif dalam menghadapi radikalisme hoaks terutama dalam penggunaan media sosial. Penulis melihat bahwa di satu sisi generasi milenial begitu mudah menerima gerakan modernisasi bangsa ini sementara di sisi lain upaya membendung budaya hoaks telah mencapai titik buntu. Peran kaum muda sangat dituntut sebagai penggerak modernisasi untuk mencari langkah solutif atas lengsernya hakikat media sosial dari penangkal menjadi mediator hoaks.

Media sosial dan Fenomena Hoaks

Pada hakikatnya penggunaan media sosial di kalangan masyarakat mendorong terciptanya kemerosotan sikap kritis dan selektif terhadap informasi yang diperoleh. Berdasarkan data riset masyarakat telematika Indonesia (Mastel) pada Februari 2017 silam menunjukan masifnya peredaran hoaks melalui jejaring sosial. Peredaran hoaks melalui media-media sosial seperti facebook, twiter, instagram, path, line, whatsapp, dan telegram yakni sebanyak 92,4 %, melalui platform media baru seperti aplikasi chat sebanyak 62,8 %, email 3,1 %, dan situs web sebanyak 34,9 %, serta melalui media-media utama seperti televise 8,7 %, radio 1,2 % dan media cetak 5 % (Matias Banusu dalam Cendana, 2019:5-6).

Pergerakan kejahatan (hoaks) melalui media-media itu secara perlahan menggerogoti lini pertahanan utama media sosial yakni perkembangan karakter hingga mencapai sebuah penalaran yang berujung pada titik buntu. Dalam menyikapi hal itu tindakan preventif sekaligus terobosan baru mesti menjadi langkah antisipasi terhadap kejahatan dunia maya layaknya hoaks.

Perbedaan praktik penggunaan media sosial di kalangan masyarakat menjadi salah satu penyebab menjalarnya hoaks. Di satu sisi masyatakat melihat media sosial sebagai media konstruksi yang memiliki daya provokatif terutama dalam pendidikan karakter. Hal ini tercatat dalam data google N-gram yang merekam popularitas kata dalam jutaan media informasi yang pernah terbit sejak abad ke-16, menjelaskan keterkaitan perkembangan informasi dengan perubahan medium informasi (surat kabar, radio, tv dan internet). Dalam hal ini, terlihat nyata bahwa pengembangan bahasa melalui media sosial menjadi salah satu ujung tombak pembangunan karakter bangsa.

Sementara itu di pihak lain, penyalahgunaan media sosial sebagai penggerak kejahatan seperti hoaks meredamkan peradaban bangsa dengan menginternalisasikan nilai-nilai destruktif yang memecah belah persatuan dan kesatuan. Hal ini senada dengan data kementerrian komunikasi dan informasi di akhir tahun 2016 bahwa terdapat 800 ribu situs terindikasi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Penggunaan media sosial secara tak sadar telah memunculkan daya nalar pelaku hoaks terhadap pergerakan kejahatan dalam dunia maya. Lantas apakah penggunaan media sosial diberhentikan demi meredam hoaks?

Transformasi Nilai

Minimnya kesadaran kolektif akan penggunaan media sosial yang efektif di kalangan milenial telah mentransformasikan nilai media sosial itu sendiri. Bagi pengguna media sosial yang bertujuan membangun pendidikan karakter mereka telah menjauhkan kejahatan-kejahatan teknologi seperti hoaks dan membangun nilai-nilai edukatif. Sementara bagi pengguna yang memanfaatkan media sosial sebagai mediator hoaks, mereka telah mentransformasikan nilai media sosial dari pembangunan pendidikan karakter menjadi penebar kejahatan sosial.

Berkaca dari fenomena itu, penyalahgunaan media sosial sebagai mediator hoaks mengisyaratkan akan terjadinya perang melawan hoaks dengan berbagai macam tingkatan level guna menghancurkan sistem utama penebar hoaks. Pandangan-pandangan para ahli akan dijadikan konsep memusnahkan hoaks di kalangan masyarakat. Di samping itu, penyesuaian pola pikir dan tindakan preventif itu harus memastikan transformasi nilai edukatif media sosial tidak ikut terseret dalam fenomena hoaks ini.

Pada hakikatnya, pandangan-pandangan yang dangkal pengguna media sosial di era modern seperti menjunjung tinggi kebebasan berekspresi menjadi salah satu faktor penyebab lengsernya transformasi nilai media sosial. Pergeseran nilai transformatif media sosial disebabkan oleh salah pengertian makna kebebasan berekspresi pengguna dalam kompetisi media sosial yang melahirkan ide dan mencerdaskan pendidikan karakter.

Untuk membendung lemahnya kebebasan berekspresi tersebut, pengguna mulai melancarkan serangan-serangan terhadap lawan dengan menebar hoaks di media-media lain. Cara ini dilakukan untuk tetap memastikan persaingan nalar meskipun di sisi lain telah terjadi penyelewengan transformasi nilai media sosial itu sendiri. Oleh karena itu, sebelum melancarkan persaingan kompetitif pengguna harus memprioritaskan tujuan nilai konstruktif media sosial bukannya menghasilkan dampak negatif yang destruktif seperti penebaran hoaks sebagai kejahatan sosial di kalangan pengguna media online.

Langkah Solutif

Merebaknya fenomena hoaks dalam penggunaan media sosial adalah hal yang sulit dibendung. Pasalnya, menjalarnya peredaran hoaks telah menjadi makanan sehari-hari banyak kalangan terutama kalangan melek media sosial. Fenomena hoaks telah menjadi penyakit menular. Namun, mengutip kata-kata Budiman Sudjatmiko bahwa tiap penyakit memiliki obatnya, tinggal kecerdasan kita untuk tidak mengonsumsi obat-obat kadaluwarsa.

Menanggapi problem hoaks di era modern ini penulis hanya menawarkan satu langkah solutif guna menetralkan fenomena hoaks yakni budaya literasi. Pemahaman akan pentingnya budaya literasi seperti membaca dan menulis di kalangan generasi muda perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat nyata dengan pemahaman bahwa semakin banyak membaca pengguna media sosial akan semakin kritis dan selektif menilai beragam informasi yang ditampilkan media sosial.

Selain itu, penerapan budaya literasi di kalangan generasi muda mampu mencegah pemahaman-pemahaman yang menyesatkan seperti salah pengartian makna kebebasan berekspresi. Peran kaum generasi milenial merekonstruksi budaya literasi yang telah mentradisi dan meningkatkan pendidikan karakter.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya