Masyarakat Sadar Hukum(an)

Masyarakat Sadar Hukum(an) 25/08/2020 1289 view Hukum Piqsels.com

Seorang pendekar yang terkenal bijaksana dan baik hati diserang dan terbunuh oleh makhluk jadi-jadian. Orang-orang yang mendengar kabar tersebut merasa sedih dan marah bercampur dendam. Mereka prihatin pada nasib pendekar itu, sekaligus khawatir hal yang sama akan menimpa mereka.

Berbagai kecaman kemudian disuarakan agar makhluk itu diburu dan dimusnahkan.

Beberapa hari kemudian, jejak makhluk itu ditemukan dan orang-orang berhasil melumpuhkannya. Makhluk itu kemudian terbunuh dalam pertarungan tersebut. Di akhir kisah, seluruh rakyat bersuka cita dengan keberhasilan tersebut.

***

Cerita di atas adalah kisah fiktif dari dunia yang tidak mengenal hukum selain hukum rimba. Tapi ternyata kisah serupa terulang di zaman sekarang ini. Pembunuhan terhadap seorang polisi di daerah saya, beberapa waktu yang lalu memicu kemarahan masyarakat dan aparat.

Korban adalah seorang polisi yang terkenal baik dan disenangi oleh masyarakat, sementara pelakunya adalah seorang residivis yang terkenal banyak melakukan kejahatan dan meresahkan masyarakat.

Maka wajar ketika banyak orang kemudian mengutuk pelaku tersebut dan berharap agar dia segera mendapat hukuman yang setimpal. Postingan orang-orang lokal di media sosial dipenuhi dengan ucapan-ucapan seperti "Bunuh saja kalau ketemu", "Jangan kasih ampun", "Dasar binatang" dan umpatan sejenisnya yang semua ditujukan untuk pelaku tersebut.

Singkat cerita, setelah diadakan pencarian dan pengejaran, pelaku tertangkap dalam keadaan luka-luka dan kemudian meninggal dalam perawatan di Rumah Sakit.

***

Ada hal yang berbeda dari dua cerita ini. Pelaku pembunuhan polisi itu adalah manusia, bukan makhluk jadi-jadian. Perbuatannya memang bertentangan dengan moral, tapi tidak mengeluarkannya dari spesies kita. Karena itu saya merasa tidak nyaman melihat bagaimana dia diperlakukan.
Saya bukan mempermasalahkan luka di badannya. Meskipun kabarnya itulah yang menjadi penyebab kematiannya. Karena kalau benar itu akibat perlawanan ketika ditangkap, artinya itu memang bagian dari prosedur. Dan membahas hal itu tanpa bukti bisa mengarah kepada suudzon berkepanjangan.

Yang membuat saya terganggu adalah tersebarnya foto-foto pelaku dalam keadaan terkapar setelah ditangkap. Saya yakin itu bukan bagian dari prosedur penyergapan. Bahkan bisa saja foto-foto itu diambil oleh orang-orang di luar aparat yang kebetulan berada di lokasi. Dan ini malah membuat saya semakin mempertanyakan alasan tersebarnya foto-foto tersebut. Ditambah lagi ada sebagian orang yang membagikan kondisi memilukan itu di timeline grup seolah-olah itu adalah kemenangan yang besar.

Jika ini kita anggap sebagai happy ending dan peran antagonis telah mendapat hukuman yang setimpal, maka bagi saya, minimal ada dua kekeliruan dari cara kita berpikir.

Pertama, kita gagal menerapkan asas praduga tak bersalah. Saya tidak akan mengatakan bahwa orang tersebut belum tentu bersalah. Malah saya yakin dia bersalah dan pantas untuk dihukum berat.

Tapi itu saya, dan saya bukan polisi yang bisa menyelidiki kasus ini, apalagi hakim yang bisa memutuskan. Selama kasusnya belum selesai diproses, dia tetap tidak bersalah secara hukum. Dan sebagai bagian dari ketaatan hukum, sudah sepantasnya saya mengenyampingkan prasangka pribadi.

Kesedihan, kemarahan dan dendam adalah hal manusiawi tapi jangan sampai membuat kita melupakan kemanusiaan orang lain. Karena bisa-bisa kita malah termakan prasangka dan tak bisa berpikir objektif.
Dan itu mengarah kepada kesalahan yang kedua yaitu membenarkan hukuman tanpa proses hukum. Padahal hukuman tanpa dasar hukum hanya tersisa imbuhan tanpa kata dasar alias kehilangan maknanya. Hukuman yang tujuannya menghasilkan sesuatu yang lebih baik, malah akan menjadi sarana balas dendam semata.

Namun sungguh disayangkan, pemberian sanksi tanpa proses hukum yang jelas tampaknya memang sudah menjadi bagian dari kesadaran mental kita. Contohnya pelajar yang terjaring saat bolos kemudian dihukum push up. Atau pelaku tawuran yang disuruh telanjang dada sambil jalan jongkok. Semua keadaan tersebut sudah dianggap hal biasa. Sampai-sampai yang menghukum dan dihukum seakan tidak menyadari bahwa itu adalah kekeliruan.

Begitu pula yang terjadi pada kasus sebelumnya. Karena orang banyak sudah yakin siapa yang bersalah, mereka tak merasa risih ketika sekian banyak proses terlewati. Yang penting hasil akhir yang diinginkan telah terpenuhi ketika orang tersebut telah mendapat balasan perbuatannya.
Jika kekeliruan berpikir seperti diatas tidak dikoreksi, maka sulit berharap menjadikan hukum sebagai sarana berubah ke arah yang lebih baik. Kalau kita sudah menerima hukuman sebagai balasan bagi kejahatan, akan sulit menerima solusi lain yang lebih konstruktif.

Dengan demikian menjadi hampir mustahil membuka kesempatan agar orang-orang yang melakukan kesalahan bisa berubah dan berhak mendapat kesempatan kedua.
Yang mungkin terjadi justru ketidakpercayaan terhadap hukum formal yang membuat orang-orang meninggalkannya secara keseluruhan. Jadinya kita akan mundur menjadi peradaban yang mengandalkan hukum rimba seperti cerita di awal tulisan ini. Dan entah kenapa saya merasa itu lebih baik dari kondisi setengah hati seperti ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya