Masyarakat Risiko: Siluman Neoliberalisme?

Mahasiswa di Universidad Pontificia Comillas, Madrid, Spanyol
Masyarakat Risiko: Siluman Neoliberalisme? 19/10/2024 268 view Politik Dok. NTT EXPRESS

Kemiskinan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, tidak disebabkan oleh kekurangan sumber daya alam dan sumber daya manusia, tetapi sistem ekonomi yang dicekik oleh negara-negara industri maju dengan sistem ekonomi neoliberalisme.

Indonesia dispionase oleh para investor baik korporat nasional maupun trans-nasional. Akibat cengkeraman neoliberalisme ini dapat ditemukan dalam proyek geothermal, pertambangan pasir, mangan, emas, batu bara, dan pertambangan besar-besaran lainnya di tanah air. Masyarakat adat selalu menjadi korban yang ditindas, diusir, dan dialienasi.

Jalam Licin Neoliberalisme

Globalisasi mempercepat eksplorasi dan operasi-ekspansif proyek kebebasan ekonomi dan pasar bebas ke seluruh dunia. Neoliberalisme memungkinkan usaha untuk mencari kesuksesan ekonomi yang terdesentralisasi. Ada beberapa proyek paradoksal neoliberalisme yang kian menggurita ke seluruh dunia antara lain; pertama, para neolib menciptakan persoalan-persoalan ekonomis dan melanggengkan mekanisme pemiskinan: dari kolonialisasi menuju neokolonialisasi, pengglobalan privatisasi pasar; membangun institusi-institusi pasar rahasia; praktik mengutangkan tanpa henti kepada rakyat miskin (kredit); privatisasi kebutuhan-kebutuhan dan propaganda politik investasi di mana-mana.

Kedua, para neolib berani mengambil dan menciptakan risiko-risiko besar di tengah rakyat miskin, serta memasang perangkap. Ketiga, para neolib mengendalikan dan memalsukan kesadaran negara-negara miskin dunia dengan mengangkangi hukum normatif dan kekuasaan politis negara, melanggar hak-hak asasi masyarakat adat, menguras kekayaan hutan, mengerontangkan keutuhan kandungan bumi, penggusuran secara paksa tanah pertanian, mineral, operasi pertambangan secara liar.

Keempat, para neolib menyumbat dan mengerdilkan pendapatan per kapita (hak ekonomis) rakyat miskin dengan meningkatkan produksi barang/jasa, mempercepat peredaran uang, menaikkan harga barang produksi dari negara-negara industri maju, meninggikan bunga pinjaman, mengurangi pajak untuk dunia bisnis dan industri dan menurunkan harga panenan masyarakat miskin.

Kelima, menurut kepercayaan kaum neolib, mekanisme pajak yang rendah dan pengurangan pajak diyakini akan memberikan stimulan pada perekonomian dengan mendorong orang untuk menghasilkan pendapatan yang besar dan pada akhirnya untuk berinvestasi dan membelanjakan uang mereka lebih banyak (George Ritzer, 2014: 1019).

Keenam, secara radikal neoliberalisme menjunjung tinggi individualisme. Ketujuh, peran negara diminimalisasikan dan dibatasi dengan mekanisme-mekanisme diskriminatif. Sejarah membuktikan bahwa negara tidak mampu menyejahterakan kaum miskin, sebagaimana yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh para neolib dengan mekanisme kebebasan ekonomi dan pasar bebas.

Kedelapan, kaum neolib menegaskan, “Negara harus dibatasi dan tugasnya adalah bekerja sama dengan pasar global (dengan mekanisme neoliberalisme) yang terbuka” (George Ritzer, 2014: 1020). Negara harus berhenti mengalirkan pelbagai bantuan dana kepada kaum miskin, karena hal ini dapat meningkatkan kemalasan, angka pengangguran, kemiskinan, buta huruf, dan ketidakadilan dalam masyarakat. Tindakan mengalirkan bantuan memupuk kemalasan dan melanggengkan penderitaan, kelaparan dan patologi sosial dalam masyarakat.

Kesembilan, sebaliknya negara wajib membantu perusahaan neoliberal untuk berinvestasi secara bebas, berdagang bebas, kepemilikan pribadi dan membuka pasar sebebas-bebasnya. Kebebasan pasar dan pasar bebas diyakini dapat mengantar masyarakat kepada kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan kemiskinan dikurangi.

Ekonomi berkelanjutan ala neoliberalisme mendesak negara untuk menyediakan iklim yang kondusif untuk meningkatkan kepemilikan pribadi dan berdagang secara bebas. Hukum negara, sistem politik, agama dan teknologi harus mendukung dan turut memperjuangkan mekanisme pasar bebas dan kebebasan ekonomi. Segala berurusan dengan ekonomi diserahkan kepada pribadi/swasta dan membatasi regulasi dan peranan negara.

Menurut keyakinan para neoliberal, Produksi Nasional Bruto (PDB) dan jual-beli dalam masyarakat menjadi tolok ukur tingkatan kemakmuran dan kesejahtaraan masyarakat. Perusahaan memproduksi barang/jasa sebanyak-banyaknya, masyarakat pun wajib belanja terus-menerus dan mengonsumsi sebanyak-banyaknya. Semakin meningkat daya komsumtif masyarakat, semakin meningkat pula jumlah produksi barang/jasa. Semakin meluas wilayah produksi, semakin masyarakat dipalsukan, diobjektivikasikan, diperas, dan sumber daya alam dikeruk secara ekstraktif.

Tumbal rezim ekonomi neoliberal ini adalah masyarakat miskin di negara-negara berkembang seperti Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin dan khususnya di beberapa wilayah di Indonesia. Privatisasi ruang publik, perampasan lahan pertanian dan hak ulayat masyarakat adat melalui proyek geothermal, pertambangan pasir, mangan, emas, batu bara, dan lain-lain, merupakan bukti jalan licin neoliberalisme.

Masyarakat Risiko

Modernisasi mendaruratkan struktur/suprastruktur masyarakat adat dan mempercepat proyek agenda neoliberal masyarakat industri maju. Ulrich Bech (dan juga Anthony Giddens) menyebut masyarakat modern sebagai masyarakat risiko. Masyarakat risiko dipandang sebagai suatu karakteristik masyarakat industri maju. Risiko-risiko diciptakan oleh segelintir orang superkaya dengan sistem ekonomi neoliberalisme.

Para neolib tidak mau dikekang oleh negara, dan masyarakat warga. Mereka harus bebas dari cengkeraman dan paksaan-paksaan struktural. Mereka membangun hubungan dan jaringan-jaringan sosial baru yang individualistik. Akibatnya hubungan sosial tradisional menjadi renggang, pecah bela dan tidak stabil.

Para neolib mampu mereduksi keberisikioan wilayah-wilayah tertentu dan kebiasaan-kebiasaan kehidupan secara keseluruhan, namun pada saat yang sama memperkenalkan parameter-parameter risiko baru yang sebagian besar, atau sama sekali tidak dikenal pada era-era sebelumnya (Anthony Giddens, 1991: 3-4).

Di tempat lain para neolib mengurangi, meminimalkan dan mencegah risiko-risiko berbahaya bagi keseluruhan kehidupan, tetapi di tempat lain ia justru memperparah patologi sosial dan melanggengkan penindasan terhadap kaum miskin. Sesungguhnya risiko besar yang diciptakan oleh kaum neolib ini melampaui batas demografis, geografis, politik dan megapolitik. Misalnya, geothermal di Poco Leok, Kab. Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan beberapa wilayah di Indonesia membawa dampak buruk/risiko besar di beberapa kampung di sekitar (BBC NEWS INDONESIA, ‘Jangankan di Banten, kami menolak geothermal di mana pun’ – Mengapa proyek geothermal di Indonesia menuai penolakan warga?, https://www.bbc.com/indonesia/articles/crm2lygk8x8o).

Sistem politik demokratis mengandaikan perizinan bagi pembebasan bagi para neolib untuk memperkenalkan dan memperlancarkan agenda kebebasan ekonomi dan pasar bebas. Para neolib melalui sistem politik demokratis mendistribusi risiko bagi rakyat miskin. Dengan melampaui hukum, struktur sosial dan sistem politik negara, para neolib memperbesar jumlah dan tingkatan risiko dalam rakyat miskin demi tercapainya kebutuhan dan kepentingannya.

Para neolib dapat mengendalikan dan membeli keselamatan dari risiko-risko besar tersebut. Sebaliknya rakyat miskin justru menarik banyak risiko berbahaya. Para neolib memanfaatkan risiko-risiko besar yang dialami rakyat dengan mempromosikan dan mendistribusikan teknologi-teknologi canggih lagi mahal guna mengurangi dan mengatasi risiko-risiko yang kaum neolib ciptakan kepada rakyat miskin. Agar bisa selamat dan bertahan hidup, rakyat miskin harus membeli, dan mengonsumsi meskipun dengan utang/pinjaman/kredit.

Namun dalam konteks tersebut, akan muncul apa yang dikatakan oleh Ulrich Beck sebagai “efek boomerang”. Efek bumerang ini merupakan konsekuensi logis dari risiko yang para neolib sendiri ciptakan bagi kehancuran masyarakat rakyat miskin. Risiko besar itu akan menyerang kembali para neolib baik dalam bentuk ideologis maupun dalam bentuk kerugian/ kehancuran pusat-pusat produksi mereka.

Demokrasi Pancasila

Neoliberalisme berupaya melampaui kebebasan politik (demokrasi) dan megapolitik di negara-negara berkembang. Neoliberalisme tidak membawa keuntungan apapun bagi rakyat miskin, kecuali mengekalkan penindasan dan kemiskinan.

Neoliberalisme adalah musuh kekal demokrasi. Untuk konteks Indonesia, neoliberalisme beroperasi secara penuh rahasia sejak tahun 1970-an. Sejak itu pulahlah neoliberalisme berusaha menggulingkan dan menjenazahkan sistem demokrasi Pancasila di Indonesia.

Sistem ekonomi neoliberal sangat bertolak belakang dengan cita-cita universal bangsa Indonesia, terutama dalam membangun bangsa yang beradab, adi, makmur dan sejahtera. Demokrasi Pancasila merupakan ideologi politik dan falsafah yang tepat bagi pembangunan manusia Indonesia, bukan sistem ekonomi-politik neoliberalisme. Oleh karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa pasar bebas dan kebebasan ekonomi dapat menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia adalah bahaya besar.

Demokrasi Pancasila adalah kekuasaan politis oleh seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi membagi trias politika, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Oleh karena itu, seluruh rakyat wajib membantu negara (pemerintah, birokrat negara dan aparat negara) untuk melawan dan mengantisipasi proyek penindasan dan pemiskinan oleh kaum neolib global. Lebih dari itu, negara (pemerintah dan aparaturnya) wajib mempraktikkan nilai-nilai demokrasi Pancasila dan UUD 1945.

Pemerintah mesti menghidupkan kembali dan menstimulasi demokrasi Pancasila ke seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi Pancasila melampaui neoliberlisme dan dapat mengatasi risiko-risiko yang dibentangkan oleh neoliberalisme. Dengan perkataan lain, sistem demokrasi Pancasila Indonesia harus menghancurkan dan menghentikan sistem perekonomian neoliberal global.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya