Masih Pentingkah Ujian Nasional? Sebuah Catatan Akhir Tahun

Masih Pentingkah Ujian Nasional? Sebuah Catatan Akhir Tahun 24/12/2019 2318 view Pendidikan wikimedia.org

Niat baik dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menghapus Ujian Nasional (UN) ternyata memunculkan pro dan kontra. Namun, Menteri Nadiem yakin penghapusan UN akan lebih mengukur kemampuan siswa, guru dan juga sekolah. Benarkah ini langkah yang tepat dalam memperbaiki mutu pendidikan?

Mendikbud Nadiem Makarim memutuskan mengganti Ujian Nasional dengan metode asesmen kompetensi minimum dan survei karakter mulai 2021. Patokan metode ini adalah metode Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Penilaian yang dilakukan dalam survei itu terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.

Kebijakan tersebut diharapkan mendorong peserta didik berpikir logis, berprestasi sesuai kompetensi dan mengasah karakter siswa lebih baik. Selain itu, guru juga ditantang agar menerapkan proses belajar dua arah. Yang dapat dipahami siswa dan bukan hanya sekedar hafalan semata. Sehingga pembelajaran dalam kelas lebih hidup.

Menurut pengamat pendidikan dari Center for Education Regulations and Development Analysis, Indra Charismiadji, metode PISA dan TIMSS berupa ujian dengan soal yang mengandalkan nalar. Dia menyatakan soal-soal ini bukan tipe yang bisa dijawab dengan hafalan. “Jadi, siswa tidak bisa menyontek,” ucapnya seperti dimuat Koran Tempo, Sabtu, 14 Desember 2019.

Menurutnya selama ini UN tidak dapat menunjukkan ukuran yang sesungguhnya. Sebab, dalam banyak pengalaman ketika UN ternyata ada manipulasi. Terdapat dua konteks manipulasi yakni negatif seperti bocoran (kunci jawaban) dan manipulasi nilai dan manipulasi positif, dengan model bimbel (bimbingan belajar) yang mengajarkan caranya mengerjakan tes. Indra menuturkan adanya UN membuat anak belajar bagaimana mengerjakan soal secara cepat dibanding memahami penerapan materi pada soal tersebut.

Alhasil siswa yang dihasilkan adalah siswa yang mampu mengerjakan soal dengan cepat, tetapi gagap menerapkan materi itu dalam kehidupan nyata. Nilai bagus memang terlihat keren, tetapi jika tidak mampu mengaplikasinya dalam kehidupan nyata menjadi nihil. Itulah problem utama yang sedang dihadapi oleh pendidikan kita. Siswa yang dihasilkan adalah siswa yang hanya mampu mengerjakan soal-soal ujian sekolan dan nasional, tetapi tidak mampu mengerjakan soal ujian hidup.

Contoh paling nyata adalah siswa/i Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dituntut untuk mendapatkan nilai UN tinggi, tetapi lupa untuk menyiapkan mereka kompentensi dan soft skill yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Soft skill yang seharusnya sudah diajarkan sejak bangku sekolah tidak diperhatikan.

Pemerintah malah asyik meningkatkan tuntutan mereka kepada siswa agar mendapatkan nilai bagus saat UN. Alhasil generasi yang dihasilkan adalah generasi yang penuh tekanan. Sebab siswa tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat dan minat karena adanya tuntutan yang tinggi untuk mendapatkan nilai UN yang bagus.

Menurut Indra Charismiajdi praktisi pendidikan Indonesia untuk mencetak SDM unggul, yang harus diajarkan kepada generasi saat ini adalah keterampilan sosial-emosional, antara lain Problem Solving (Mampu memecahkan masalah), Ressilience (Ketangguhan), Control (Pengendalian), Teamwork (Kerja sama tim), Initiative (Prakarsa), Confidence (Kepercayaan diri) dan Ethics (Etika).

Sifat-sifat tersebut harus tertanam secara baik agar generasi masa depan yang dihasilkan baik melalui sistem pendidikan berbasis formal maupun non formal bisa menjadi SDM unggul yang berdaya kreatifitas tinggi dan mampu berinovasi.

Jika dilihat secara jernih UN telah membuat siswa hanya mengalir dalam sebuah sistem. Siswa dituntut mendapatkan nilai tinggi, tetapi ketika terjun ke dunia kerja malah tidak bisa melakukan apa-apa. Yang sering kita temukan adalah peserta didik hanya disiapkan untuk mengikuti UN bukan menyiapkan sotf skill dan tuntutan di dunia kerja.

Tidak adil jika sekolah hanya menyiapkan siswanya menghafal dan mengerjakan soal-soal dengan baik tetapi tidak melatih soft skill. Padahal soft skill itulah yang dibutuhkan dalam dunia kerja.

Pendidikan Seperti Apa yang Kita Harapkan?

Mencetak pemimpin masa depan sebagaimana yang disampaikan oleh Mas Mentri Nadiem Makarim adalah untuk menciptakan SDM yang unggul, sebagaimana disampaikan oleh Liputan6.com pada Rabu (4/12/2019).

Semuanya diawali dengan "Kemerdekaan harus turun terus. Lembaga perguruan tinggi merdeka dari berbagai macam regulasi dan birokratisasi. Para pendidik dan dosen juga dimerdekakan dari birokrasi. Sebab kita memasuki era dimana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu, masuk kelas tidak menjamin belajar.”

Kita tidak bisa terus-terusan berada dalam situasi buruk seperti ini. Mengubah sistem pendidikan yang selama ini hanya menyiapkan generasi pekerja. Karena itu, materi dan sistem pelajaran untuk kedepannya menyiapkan siswa untuk menjadi inovator dan pencipta.

Metode dan gaya pembelajaran yang sedang kita lakukan saat ini adalah gaya zaman dulu. Karena itu, perlu ada pembaharuan dalam pendidikan kita agar apa yang menjadi kecemasan dan duka masyarakat dapat diselesaikan.

Untuk memacu prestasi pendidikan Indonesia, sistem pendidikan berbasis Science, Technology, Engineering, Art and Mathematics atau STEAM mulai diterapkan dalam pendidikan kita. Ini merupakan sebuah model pembelajaran populer di tingkat dunia yang efektif dalam menerapkan Pembelajaran Tematik Integratif karena menggabungkan lima bidang pokok dalam pendidikan yaitu ilmu pengetahuan, teknologi, matematika, seni dan rekayasa.

Metode tersebut mengajak siswa untuk mengintegrasikan mata pelajaran dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran melibatkan tujuh keahlian utama bagi siswa abad 21, yaitu, kolaborasi, kreatif, berfikir kritis, berpikir secara komputasional, pemahaman budaya, dan mandiri dalam belajar dan berkarir.

Pembelajaran STEAM adalah langkah selanjutnya dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi dunia nyata yang penuh masalah agar siap dalam persaingan global. Sebab, science, technology, engineering, art and mathematics adalah mata pelajaran yang saling berkaitan dalam kehidupan nyata manusia.

Kelima bidang itu, saling kait mengait dan tak bisa berdiri sendiri. Namun, selama ini kelimanya dipelajari terpisah-pisah, jadi seolah-olah hanya bisa dipahami secara teori. Padahal, kelimanya penting dikuasai oleh anak didik supaya mereka bisa memecahkan masalah dalam dunia kerja, masyarakat, dan dalam semua aspek kehidupan.

Kita tidak akan mampu menciptakan 1000 startup baru jika sistem pendidikan kita masih seperti ini. Belum lagi jika kita berbicara tentang kesejahteraan guru. Atau tugas mereka yang semakin menumpuk karena tuntutan dari pemerintah yang pada akhirnya mereka tidak fokus untuk mengajar. Maka masalahnya akan semakin banyak. Karena itu, sistem pendidikan kita perlu diubah agar apa yang menjadi cita-cita bersama, yaitu Indonesia Emas di tahun 2045 nanti dapat terwujud.

Yeri Lando, Peminat Masalah Pendidikan

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya