Dilema Demokrasi: Golput atau Memilih?

Pegiat Filsafat
Dilema Demokrasi: Golput atau Memilih? 18/01/2024 290 view Politik teddysonjaya.com

Pesta demokrasi tak terasa sebentar lagi akan digelar secara serentak pada Rabu, 14 Februari 2024 mendatang. Saat ini, proses tahapan pemilu telah memasuki periode kampanye yang dimulai pada tanggal 28 November 2023 dan akan berakhir pada tanggal 10 Februari 2024. Pasca kampanye, periode tenang akan berlangsung dari tanggal 11 hingga 13 Februari 2024, diikuti oleh pelaksanaan pemungutan suara.

Sejumlah tahap penting pemilu sebelumnya telah berhasil dilalui, seperti penyusunan daftar pemilih tetap (DPT), pendaftaran dan verifikasi partai politik, penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan, pendaftaran calon anggota dewan perwakilan daerah (DPD), anggota dewan perwakilan rakyat (DPR), dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota, serta pendaftaran pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Presiden Joko Widodo, sebagaimana disampaikannya pada Rapat Konsolidasi Nasional 2023 dalam Rangka Kesiapan Pemilu 2024 di Istora Senayan pada Sabtu (30/12/2023), mengungkapkan bahwa Pemilu 2024 akan menjadi peristiwa yang sangat kompleks. Pemilihan ini akan dilakukan secara serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Pesta demokrasi lima tahunan ini diikuti oleh lebih dari 204 juta pemilih yang tersebar di 38 provinsi, 514 kabupaten/kota, 7.277 kecamatan, dan 83.771 desa. Partisipasinya melibatkan 18 partai politik nasional dan 6 partai lokal Aceh. Pemilih muda (17– 40 tahun) mendominasi Pemilu 2024 dengan jumlah 106.358.447 atau 52 persen. Artinya peran orang muda amatlah penting dalam menyukseskan kontestasi pemilu kali ini. Hal ini sejatinya perlu ditanggapi secara positif dari setiap insan muda maupun warga negara Indonesia.

Pemilu bukan sekadar rutinitas politik, melainkan panggilan bagi setiap warga negara untuk turut serta dalam membentuk peta kebijakan, memilih pemimpin, dan merajut nasib bersama. Tahun 2024 menjanjikan sebuah perjalanan demokratis yang penuh tantangan, peluang, dan refleksi mendalam tentang nilai-nilai yang kita anut sebagai sebuah bangsa.

Dalam kasus pemilih, dengan menggunakan “rasional” menyadari bahwa dalam pemilu dengan jutaan pemilih, kemungkinan bahwa suaranya akan mengubah hasil pemilu sangatlah kecil. Singkatnya, keuntungan yang diharapkan adalah minimal dan kemungkinan besar lebih besar dari biaya yang diantisipasi, yaitu waktu yang dihabiskan untuk memutuskan siapa yang akan dipilih dan pergi ke tempat pemungutan suara.

Terjadinya kebimbangan antara memilih atau golput perlu untuk dilihat lebih dalam, apakah ini berasal dari diri sendiri atau melalui hasutan orang lain. Oleh karena itu sebagai warga negara yang baik perlu menyadari bahwa eksistensinya adalah hal yang mutlak.

Kesimpulan saya adalah ketika memahami perilaku memilih, teori pilihan rasional tidak terlalu berguna. Ketika memutuskan untuk memilih atau tidak, kebanyakan orang tidak melakukan analisis biaya atau manfaat. Faktanya, banyak orang memilih dalam pemilu terutama karena mereka merasa hal tersebut merupakan kewajiban moral. Pertimbangan etis lebih penting daripada pertimbangan “rasional”. Namun, saya ingin menambahkan bahwa sebagian pemilih sensitif terhadap berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memilih , dan jumlah pemilih akan lebih tinggi ketika hasil pemilu tidak pasti. Jadi pertimbangan rasional memang ikut berperan.

Motivasi Memilih: Menjelaskan Partisipasi Pemilu

Saya beranggapan bahwa jika saya tertarik pada politik, sudah jelas bahwa saya ingin memilih dalam pemilu. Dalam perspektif yang sama, jika saya tidak tertarik pada politik, hal yang “normal” untuk dilakukan adalah tidak melakukan apa pun, yaitu tidak memilih. Kecuali, tentu saja, saya yakin bahwa memilih bukan hanya sebuah hak tetapi juga kewajiban warga negara, yang dalam hal ini saya akan merasa bersalah jika tidak memilih.

Dari sini menunjukkan bahwa minat terhadap politik dan rasa tanggung jawab adalah dua sikap yang paling berkorelasi kuat dengan keputusan untuk memilih atau tidak. Keterlibatan masyarakat terhadap bangsa dan negara bisa dimulai dari hal yang paling kecil, yakni dengan mengikuti Pemilihan Umun sebagai bentuk cinta tanah air dan partisipasi terhadap bangsa dan negara.

Ragu-Ragu dari Memilih

Ketika seseorang mempunyai kemampuan untuk memilih, namun memilih untuk tidak melakukannya, maka individu tersebut ragu dalam memilih. Seorang pemilih mungkin tidak memberikan suara karena berbagai alasan, misalnya karena mereka merasa tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai isu yang ada untuk mengambil keputusan, mereka yakin bahwa memberikan suara pada suatu isu tertentu merupakan konflik kepentingan, mereka tidak memberikan suara mereka sebagai bentuk protes, dan lain-lain.

Oleh karena itu sejak sekarang, mindset kita mestinya diperbaharui bahwa sebagai warga negara yang baik perlu adanya kepekaan, cita rasa terhadap perkembangan politik di Indonesia. Segala sesuatu yang kita tanggapi terhadap pemerintah dapat dilihat sejauh mana kita memiliki kepekaan terhadap bangsa dan negara dengan mengikuti Pemilu. Jika sudah memiliki kesadaran akan keterlibatan dalam memilih baru kemudian kita telusuri calon mana yang sungguh-sungguh memiliki integritas yang baik dalam aneka aspek.

Proses memilih calon mana yang akan dijagokan dalam kontestasi pemilu mendatang perlu melihat pemimpin yang mengutamakan kepentingan nasional, menjunjung tinggi martabat manusia dan menjaga keutuhan ciptaan alam. Hal penting lainnya adalah dengan melihat rekam jejak calon pemimpin agar dapat memberikan gambaran yang baik dalam proses memilah-milah calon yang akan dipilih.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya