Maraknya Patologi Birokrasi di Indonesia
Pada era reformasi ini kasus mengenai patologi birokrasi masih sering kita temui di Indonesia. Kasus mengenai patologi memang tidak dapat dipungkiri ada dalam tubuh birokrasi. Hal ini dikarenakan tindakan semena-mena birokrat maupun lemahnya sistem birokrasi yang ada di negeri ini. Bahkan dalam paradigma Actonian dinyatakan bahwa power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup, tapi kekuasaan yang absolut pasti korup) secara lebih rinci dapat dijabarkan bahwa birokasi dalam hubungannya dengan kekuasaan akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan wewenangnya (Ismail, 2009).
Patologi birokrasi merupakan sebuah penyakit yang ada pada birokrasi. Penyakit ini sudah mengakar sehingga sulit untuk dicabut ataupun untuk dihilangkan. Patologi birokrasi juga dapat dikatakan sebagai sebuah penyakit yang sudah ada dan terpelihara sejak lama, selama birokrasi itu ada dalam pemerintahan. Maka dari itu penyakit birokrasi ini tidak dapat dikatakan sebagai penyakit modern karena sudah ada sejak zaman kerajaan.
Patologi birokrasi memiliki berbagai macam bentuk atau jenis dan setiap jenis patologi birokrasi dapat berpengaruh terhadap kinerja birokrat baik secara langsung maupun tidak. Patologi birokrasi tidak hanya berpengaruh terhadap kinerja birokrat tetapi juga dapat berpengaruh terhadap sistem birokrasi yang ada. Jenis-jenis patologi birokrasi menurut Sondang Siagian (1994) antara lain adalah : penyalahgunaan wewenang, persepsi yang didasarkan pada prasangka, pengaburan masalah, menerima sogokan, pertentangan antar kepentingan, status quo dan masih banyak lagi (heylaw.edu (31/08/2021).
Salah satu jenis patologi birokrasi yang sering ditemui di Indonesia adalah kasus suap, penyogokan bahkan korupsi. Sepanjang tahun 2021 saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menetapkan 123 tersangka korupsi dari total 127 penyelidikan dan 105 penyidikan. Berbagai macam n kasus dapat diungkap oleh KPK baik kasus mengenai bansos yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan kawan-kawan, jual-beli jabatan di Pemda Probolinggo dan suap pajak, kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim yang sudah menjerat total 26 tersangka dan masih banyak lagi tentunya. Sepanjang 2021 lalu, KPK juga menerima 2.029 laporan gratifikasi dan dari keseluruhan laporan tersebut, total nilai gratifikasinya mencapai Rp 7,9 miliar. Dari total gratifikasi yang diserahkan kepada KPK tersebut, sebanyak Rp 2,29 miliar telah ditetapkan menjadi milik negara. Sementara sisanya, sebanyak Rp 5,6 miliar tidak ditetapkan sebagai milik negara dan dikembalikan kepada penerimanya (CNN Indonesia (29/12/2021).
Banyaknya kasus suap, penyogokan dan korupsi ini dipengaruhi oleh kulitas birokrat yang cukup rendah. Rendahnya kualitas birokrat ini disebabkan kurangnya nilai moral dan kesadaran akan hak yang dimiliki oleh orang lain. Faktor lain maraknya kasus ini adalah tidak ditaatinya hukum yang berlaku maupun ketaatan hukum birokrat yang rendah dan hal ini juga di dukung dengan lemahnya hukum yang berlaku. Bahkan sampai saat ini belum satupun koruptor yang menerima hukuman mati di Indonesia.
Upaya pemerintah untuk membenahi birokrasi adalah dengan dilaksanakannya program reformasi birokrasi demi tercapainya pelayanan publik yang baik, masih dinilai kurang mampu menekan maraknya patologi birokrasi yang ada. Hal tersebut dapat dilihat dari kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Masyarakat terkadang lebih memilih mengurus suatu keperluan melalui agen karena lebih cepat dan dapat dipercaya daripada birokrat yang pada dasarnya melayani masyarakat.
Pelayanan yang dinilai kurang jelas juga semakin memperlemah kepercayaan masyarakat. Kurang jelas yang di maksud di sini adalah kapan, bagaimana, dengan cara apa pelayanan tersebut dilakukan.
Cara untuk menekan patologi birokrasi agar tidak semakin marak adalah dengan membuat aturan yang cukup jelas mengenai birokrasi. Pengawasan terhadap birokrat agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang. Melakukan pelatihan terhadap birokrat tidak hanya sebatas pengetahuan saja melainkan perihal moral dan HAM agar ketika melakukan pelayanan birokrat dapat menjunjung tinggi etika pelayanan publik yang baik. Sosialisasi terhadap masyarakat juga diperlukan agar masyarakat juga paham mengenai bagaimana cara mendapatkan pelayanan publik yang baik.
Birokrasi yang tidak mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat, birokrasi yang menyalahgunakan kekuasaan, birokrasi yang tidak dapat menjunjung keadilan bukanlah birokrasi yang sebenarnya. Karena pada dasarnya birokrasi merupakan pelayan bagi masyarakat yang akan selalu melayani masyarakat, bukannya dilayani masyarakat. Birokrasi yang sehat tentunya akan menekan maraknya patologi birokrasi di negeri ini.
Artikel Lainnya
-
127331/10/2020
-
179920/06/2020
-
164512/05/2020
-
Gerak Lambat Disrupsi Era Pasca Pandemi
111011/09/2022 -
Konstruksi Budaya: Relasi Perempuan dan Alam
189914/04/2021 -
Pro Tambang dan Agenda Manusia Abad Ini
179720/06/2020
