Gerak Lambat Disrupsi Era Pasca Pandemi

Pengajar
Gerak Lambat Disrupsi Era Pasca Pandemi 11/09/2022 467 view Lainnya retizen.republika.co.id

“Satu-satunya hal yang konstan di dunia ini adalah perubahan”_(Heraclitus, filsuf Yunani).

Diskursus dan pembicaraan tentang disrupsi telah menjadi topik dan kajian utama lintas ilmu. Fenomena disrupsi yang kini merambah hampir ke seluruh dimensi hidup manusia mulai mendapat perhatian banyak orang dan dunia. Menghadapi fenomena baru ini, muncul respon yang beragam dari warga dunia. Ada yang melihat fenomena ini sebagai peluang yang mesti dimanfaatkan secara maksimal, namun ada juga yang menilainya sebagai tantangan baru yang tidak dapat dielakkan.

Dalam bukunya yang berjudul The Fourth Industrial Revolution, Klaus Schwab menyatakan bahwa perkembangan teknologi dan digitalisasi akan merevolusi segalanya. Sederhananya, inovasi teknologi besar sedang berada di ambang perubahan penting di seluruh dunia. Skala dan ruang lingkup perubahan menjelaskan mengapa gangguan dan inovasi terasa begitu akut sekarang ini. Di mana kecepatan inovasi dalam hal pengembangan dan difusi lebih cepat dari sebelumnya.

Salah satu faktor utama yang melahirkan era disrupsi ini ialah perkembangan teknologi yang canggih dan eksponensial (perkembangan yang berlipat ganda). Sebab pada dasarnya teknologi dalam perkembangannya dapat mengubah wajah dunia. Teknologi melahirkan suatu revolusi, di mana revolusi teknologi berhasil menunjukkan perubahan yang terjadi pada manusia dalam melakukan proses produksinya. Kemajuan teknologi digital dan informasi secara masif mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga menumbuhkan teori disrupsi.

Selain karena faktor perkembangan teknologi yang super canggih dan eksponensial, fenomena disrupsi juga sempat dipicu oleh hadirnya wabah covid-19 beberapa waktu lalu, yang secara membabi buta menyerang masyarakat dunia tanpa ampun. Banyak korban berjatuhan, roda ekonomi macet, situasi politik menjadi chaos dan dunia berantakan.

Istilah disrupsi secara masif mulai dipopulerkan pada akhir abad ke-20 dalam dunia bisnis, di mana perusahaan besar mengalami kemunduran sebagai akibat dari penetrasi kreativitas dan inovasi dari perusahaan kecil melalui bisnis digital. Hal ini di luar dugaan sebelumnya. Sejak itu, istilah disrupsi sering menjadi fokus perhatian para ekonom. Dengan adanya perkembangan digital, maka bisnis baru tumbuh, di mana perusahaan-perusahaan kecil, dapat mengalahkan perusahaan besar yang sudah mapan.

Persis pada masa pandemi, di tengah situasi yang serba terbatas dan darurat, perusahaan-perusaan kecil berbasis digital mendapat tempat yang istimewa. Pandemi menjadi momen emas bagi para start-up untuk tumbuh dan berkembang. Perusahaan-perusahaan kecil yang berbasis teknologi digital semakin menjamur. Karena itu, tidak heran jika pada masa pandemi proses disrupsi berjalan lebih cepat.

Yuswohady mantan Sekretaris Jendral Indonesia Marketing Association (IMA) pernah menyatakan bahwa sebelum adanya pandemi, para ahli meramalkan era disrupsi baru akan terjadi dalam kurun waktu 5-10 tahun ke depan. Namun, sejak adanya pandemi covid-19, disrupsi bisa jalan lebih cepat dua atau tiga tahun. Itu berarti kehadiran virus corona menjadi katalis baru selain revolusi teknologi yang semakin merangkak per tahap. Pandemi virus corona (covid-19) telah secara masif mendorong terbukanya proses disrupsi di berbagai sektor.

Maraknya penjualan yang dilakukan secara daring atau online selama masa pandemi menjadi bukti kejayaan fenomena disrupsi. Hal ini diakui oleh sejumlah pengelola e-commerce di Tanah Air. Pemicunya tak lain karena alasan keamanan dan kesehatan. Sebab imbauan untuk menjaga jarak di tengah pandemi menjadi standar baku jika ingin tetap beraktivitas. Melansir Forbes, 30 Juni 2020 juga menyatakan bahwa bisnis ritel online termasuk salah satu sektor yang bertahan cukup baik di tengah pandemi. Buktinya, Amazon sebagai ritel online raksasa di dunia atau ritel online nasional seperti Lazada Shopee, dan lain-lain mengalami pertumbuhan yang luar biasa selama pandemi, karena banyak konsumen yang tidak bisa melakukan transaksi secara langsung di toko.

Selain fenomena transaksi jual beli online, pendidikan daring dan pembelajaran online juga menjadi babak baru digitalisasi di bidang pendidikan yang selama ini bersifat kaku dan baku. Di Indonesia, praktek pendidikan daring (online learning) diterapkan secara masif mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi. Tidak ada lagi aktivitas pembelajaran di ruang-ruang kelas sebagaimana lazim dilakukan oleh tenaga didik; guru maupun dosen.

Sebenarnya tidak hanya fenomena transaksi jual beli online dan pendidikan berbasis daring saja. Tetapi masih banyak lagi fenomena disruptif yang terjadi dalam pelbagai dimensi hidup manusia yang dipicu oleh pandemi Covid-19. Poinnya bahwa kehadiran pandemi menjadi pemicu baru laju disrupsi selain revolusi teknologi itu sendiri. Pandemi sukses mempercepat laju disrupsi dari yang diperkirakan sebelumnya. Jika secara normal laju disrupsi diperkirakan terjadi selama 5-10 tahun, namun dengan hadirnya pandemi covid-19 hanya membutuhkan waktu 2-3 tahun.

Lalu, bagaimana dengan laju disruptif pada era pasca pandemi? Yang pasti ada perubahan. Di mana situasi kembali berjalan normal. Orang tidak lagi harus menjaga jarak atau menjalakan isolasi mandiri. Kota-kota tidak lagi dilockdown, roda ekonomi mulai berputar seperti biasa, kios dan toko serta usaha ekonomi lainnya kini mulai beroperasi normal, proses pendidikan kembali bertatap muka di kelas-kelas, upacara keagamaan kembali diadakan di gereja, mesjid, dan tempat-tempat ibadah lainnya. Singkatnya, boleh dikatakan bahwa pandemi covid-19 mulai mereda, meskipun di kota-kota tertentu aturan penggunaan masker dan vaksin masih ketat.

Peralihan situasi dari masa pandemi ke pasca pandemi atau dari situasi darurat ke situasi normal sangat berimplikasi pada laju disrupsi itu sendiri. Laju disrupsi yang cepat pada masa pandemi kini berjalan lambat pada era pasca pandemi karena orang-orang mulai kembali pada zona nyaman dan cara berpikir lama.

Orang merasa lebih bebas, tanpa tekanan dan malas, sehingga tidak lagi mempunyai daya juang untuk melahirkan inovasi-inovasi baru yang menunjang gerak maju peradaban manusia. Mungkin saja, jika pandemi covid-19 tidak terjadi maka pendidikan yang terdigitalisasi, perayaan keagamaan virtual, transaksi jual beli online dan inovasi-inovasi kreatif lainnya baru akan terjadi lima atau sepuluh tahun lagi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa laju disrupsi pada era pasca pandemi mengalami stagnasi dan cendrung lebih lambat dari masa pandemi. Padahal dalam analisis teori, prinsip utama disrupsi ialah perubahan dan kompetisi. Kedua prinsip ini mengandaikan ada penetrasi inovatif dan kreatif dari manusia. Namun sayangnya manusia yang hidup era pasca pandemi lebih memilih tidur dan membiarkan diri terperangkap dalam logika dan cara berpikir lama yang stagnan. Inovasi-inovasi kreatif yang pada masa pandemi bertumbuh subur kini pelan-pelan dikubur oleh rasa malas dan daya juang yang lemah.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya