Mahkota Tanpa Kepala Di Panggung Kekuasaan

Kita hidup di era paradoks, di sebuah panggung tempat bayangan semu tampil lebih nyata dari kebenaran itu sendiri. Di tengah riuhnya retorika pembangunan dan gegap gempita kemajuan, kita sering disuguhi pemandangan yang menyesakkan dada dimana individu-individu yang, bak “mahkota tanpa kepala”, menduduki singgasana kekuasaan—di kursi parlemen, kementerian, lembaga independen, hingga jajaran komisaris—bukan karena kedalaman kapasitas keilmuan atau rekam jejak yang mumpuni. Melainkan semata berkat kilaunya popularitas, gempita modal, atau jejaring semu. Hal ini bukanlah sekadar anomali. Justru sebuah gejala nyata yang secara sistematis menggerogoti esensi berbangsa dan bernegara.
Fenomena ini terus berulang, menyusup dengan mudah, masuk ke panggung kekuasaan dimana tempat hajat hidup orang banyak dipikirkan, ditentukan, dibentuk dan dibuat. Lantas, bagaimana kondisi demikian bisa terjadi?
Untuk memahami medan paradoks yang terus membodohi ini, ada baiknya menelisik kembali pemikiran para pemikir klasik hingga observasi kontemporer atas masyarakat yang kini tersesat dalam belantara digital.
Bayang-Bayang Gua Kekuasaan
Plato (427–347 SM) melalui Allegory of the Cave dalam Republik (Soejono Soemargono, 2001, hlm. 316–329) mengisahkan manusia yang terbelenggu dalam gua, hanya mampu memandang bayangan di dinding dan menganggapnya sebagai kenyataan, tanpa pernah menyadari dunia sejati di luar sana.
Dalam konteks hari ini, masyarakat kerap menjadi tawanan gua serupa. Bayang-bayang itu kini diperkuat oleh media dan pemburu kekuasaan, menghadirkan kesan manis, penampilan karismatik, atau gambaran “merakyat” dari politisi, yang sesungguhnya hanyalah “Gong Tanpa Gaung”, bising di telinga namun hampa makna. Substansi yang kosong, di balik kemasan yang menyesatkan nalar.
Kekuatan alegori Plato tetap hidup hingga kini. Gagasannya terus diolah dalam karya modern. Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019) serta Dave Eggers dalam The Every (2021) mengangkat tema serupa, mengkritisi masyarakat yang dikendalikan oleh informasi, teknologi, dan persepsi. Individu terjebak dalam gua buatan sistem politik atau korporasi, kehilangan kemampuan membedakan kenyataan dan bayang semu.
Pertarungan antara kenyataan dan bayang-bayang palsu menjadi tantangan lintas zaman. Di tengah kabut bayangan itulah, Aristoteles (384–322 SM) melalui Nicomachean Ethics (terjemahan Ratih Dwi Astuti, 2020, hlm. 156–160) mengingatkan pentingnya phronesis atau kebijaksanaan praktis.
Phronesis adalah kapasitas untuk memahami realitas kompleks dan merumuskan keputusan yang tepat demi kebaikan bersama. Sehingga bukan sekadar soal kecerdasan, tetapi kemampuan memahami kenyataan dengan jernih dan mengambil keputusan yang tepat demi kebaikan bersama. Pemimpin sejati, menurutnya, harus berkarakter luhur, adil, berani, dan berpikiran waras.
Menegakkan Substansi dan Memulihkan Kepercayaan
Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1981) menyoroti bagaimana dalam masyarakat modern, tanda-tanda dan citra menggantikan realitas itu sendiri. Hasilnya adalah dunia hiper-realitas, di mana kenyataan dibentuk sepenuhnya oleh citra.
Politisi tidak perlu benar-benar mampu, cukup terlihat mampu lewat kemasan pencitraan yang dirancang dengan cermat. Substansi menjadi tak penting karena tanda telah menjadi segalanya. Publik menerima tanda itu secara pasif, sering tak lagi sanggup membedakan mana yang asli dan mana yang palsu.
Sejalan dengan Baudrillard, Guy Debord dalam The Society of the Spectacle (1967) mengkritik bagaimana kapitalisme modern mengubah segenap kehidupan menjadi tumpukan tontonan besar, bayang-bayang palsu yang mendominasi pengalaman sosial.
Politik dan kehidupan publik pun beralih fungsi menjadi sekadar pertunjukan. Para politisi yang kosong tetap bersinar di panggung yang semu. Fenomena yang kental dengan sifat permukaan dan ketiadaan substansi ini bukanlah anomali di negeri kita, Indonesia.
Dalam kancah politik, kerap tersaji figur-figur yang melenggang mulus ke kursi kekuasaan berkat popularitas instan dari dunia hiburan, media sosial, atau sekadar relawan politik dadakan, tanpa melalui jenjang penempaan kapasitas yang memadai.
Tantangan meritokrasi di Indonesia pun terkuak dengan jelas. Meskipun pada tataran formal ada klaim tentang seleksi berbasis merit, fakta menunjukkan bahwa koneksi politik, lobi-lobi senyap, sering kali lebih mempengaruhi tahapan akhir seleksi posisi kepemimpinan. Gerusan nyata ini mengikis pondasi keputusan berbasis kompetensi dan keunggulan.
Konsekuensi dari panggung kekuasaan yang hampa substansi adalah realitas pahit yang mau tidak mau harus kita hadapi. Ketika jabatan-jabatan strategis diisi oleh mereka yang kurang berkapasitas, kualitas tata kelola negara tak terhindarkan akan merosot tajam.
Keputusan publik sering kali tak lagi bersandar pada data sahih atau analisis mendalam, melainkan didikte oleh populisme sesaat, reaktivitas dangkal, atau oportunisme belaka, yang pada akhirnya akan berdampak buruk pada kemandekan pembangunan.
Dalam atmosfer semacam ini, hilangnya kepercayaan publik semakin menjadi sebuah keniscayaan. Masyarakat mulai menunjukkan sinisme dan apati terhadap institusi politik dan pemerintahan, lantaran mereka melihat bahwa kualifikasi dan integritas tak lagi menjadi prasyarat utama untuk memegang kekuasaan.
Menghadapi realitas yang getir ini, adalah panggilan bersama untuk mendesak kembali pada esensi, dan memperkuat pondasi substansi. Memang bukanlah tugas ringan, melainkan membutuhkan upaya kolektif dan kesadaran mendalam dari seluruh elemen bangsa.
Memperjuangkan tanpa henti untuk merevitalisasi meritokrasi sejati, memastikan bahwa setiap rekrutmen dan promosi, terutama di sektor publik, benar-benar didasarkan pada kompetensi, integritas, dan rekam jejak yang teruji, bebas dari intervensi politik atau praktik patronage.
Pada saat yang sama, pendidikan literasi kritis bagi masyarakat menjadi sangat vital. Warga negara harus diberdayakan untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas, mampu membedakan fakta dari citra semu, substansi dari tampilan yang kosong. Penanaman pendidikan karakter dan pemikiran kritis sejak usia dini harus menjadi pilar utama kurikulum pendidikan kita.
Akuntabilitas dan transparansi harus ditegakkan di setiap lini institusi publik. Dari pengambilan keputusan hingga alokasi sumber daya, semuanya harus terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut akan mengembalikan kepercayaan publik dan mempersempit ruang bagi praktik "kosong tapi terisi."
Kita juga perlu menggeser narasi budaya melalui apresiasi pada substansi, bukan sensasi. Media massa dan masyarakat harus bekerja sama untuk lebih menghargai kerja keras, keahlian, dan kontribusi nyata, daripada sekadar popularitas atau viralitas instan. Memberikan platform yang lebih luas bagi para pakar dan individu berkapasitas adalah bagian integral dari langkah ini.
Terakhir, namun tak kalah penting, peran aktif masyarakat sipil tetaplah krusial. Mereka harus terus menjadi pilar pengawas, fact-checker, dan memastikan kualitas kepemimpinan dan kebijakan tetap terjaga dan tidak disandera oleh kepentingan sesaat.
Fenomena-fenomena yang digambarkan di atas mencerminkan krisis nilai yang mengitari ruang kekuasaan.
Membangun kembali pondasi yang kuat, berbasis kapasitas dan integritas, adalah keniscayaan demi masa depan bangsa yang tidak hanya bersinar di permukaan, tetapi juga kokoh di intinya. Jika tidak, kita akan terus menyaksikan mahkota-mahkota tanpa kepala berkuasa, membawa negeri ke arah yang tak berujung.
Artikel Lainnya
-
154810/08/2020
-
132122/03/2021
-
191207/07/2020
-
Persoalan HAM Masa Lalu, Kini Dan Nanti
250709/12/2019 -
141715/02/2021
-
Hari Kejaksaan dan Cermin Buram Penegakan Hukum Kita
11823/07/2025