Perdagangan Buta

Mahasiswa
Perdagangan Buta 22/03/2021 1244 view Opini Mingguan bp-guide.id

“Benci produk asing, gencarkan impor beras melebihi batas!”

Akhir Maret pemerintah akan meneken perjanjian dengan Thailand untuk mengimpor beras sebanyak satu juta ton. Menurut Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, penyebab impor beras dikarenakan penyerapan beras dari Perum Bulog yang sangat memprihatinkan. Bulog tidak bisa membeli semua beras dalam negeri karena gabah yang dihasilkan basah. Padahal menurut Buwas, beras impor yang masih dalam simpanan ada sebanyak 461.000 ton. Lalu beras sisa impor tahun 2018 masih tersedia di gudang Bulog sebanyak 275.811 ton, dimana sebanyak 106.642 ton turun kualitasnya.

Berdasarkan fakta tersebut, seharusnya impor beras tidak dilaksanakan secara besar-besaran, bila perlu justru ditiadakan. Terlebih pada kenyataannya kualitas beras impor tidak semuanya sesuai dengan selera masyarakat. Pembelian beras impor tanpa ada penyaluran yang signifikan ke masyarakat hanya akan menghabiskan biaya dan membuat Indonesia sendiri merugi karena stok beras impor yang menumpuk.

Terlebih, beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo menyerukan untuk membenci produk asing agar masyarakat lebih menyukai produk dalam negeri. Namun seperti menjilat ludah sendiri, pemerintah justru mengambil kebijakan yang berlawanan dengan pernyataan yang digaungkan. Pemerintah justru mencontohkan kepada masyarakat untuk gencar membeli produk asing yang kualitasnya belum tentu lebih baik.

Jika sudah seperti ini, bagaimana cara masyarakat mencintai produk dalam negeri? Pemerintah adalah contoh bagi rakyatnya. Namun, keputusan yang dikeluarkan di akhir Maret ini menjadi cerminan kegagalan pemerintah dalam mengelola beras dalam negeri. Dengan dalih beras dalam negeri yang kualitasnya tidak bisa dibeli oleh Bulog, pemerintah menggencarkan impor beras bahkan sampai satu juta ton.

Mirisnya, penumpukan beras hingga tahunan tidak menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan impor beras. Padahal, beras yang masih tersimpan di gudang Bulog itu bisa dijual kepada masyarakat terlebih dahulu. Beras dengan kualitas yang masih bisa dikonsumsi seharusnya dikeluarkan dari gudang Bulog atau bisa digunakan sebagai tambahan kekurangan stok.

Untuk permasalahan kualitas beras dalam negeri, seharusnya pemerintah mengatasi hal tersebut lebih dulu. Pemerintah seharusnya mampu memprediksi dan memberikan solusi bagi para petani jika musim hujan tiba. Bukan malah menggunakan alasan kualitas beras petani yang kurang untuk memilih impor beras. Pada kenyataannya, impor beras hanya akan merugikan petani dan negara. Mungkin hanya akan menguntungkan suatu golongan atau pribadi saja.

Perdagangan beras sepertinya buta pada keadaan negeri yang merupakan negara agraris. Terlebih pemerintah sepertinya kurang memahami keadaan petani yang tidak bisa menjual berasnya kepada Bulog. Apakah mereka bisa menjual berasnya kepada masyarakat atau tidak? Padahal, kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab pemerintah. Sehingga pemerintah harus segera melakukan inovasi terhadap sumber daya pangan di Indonesia. Hal ini bertujuan agar perdagangan dalam negeri dipenuhi produk sendiri.

Apa yang sebenarnya terjadi? Untuk siapa impor beras dilaksanakan? Impor pada hakikatnya bukanlah pilihan terbaik. Harus ada pembenahan pada diri sendiri agar target pangan di dalam negeri dapat terpenuhi. Tidak boleh ada penyalahgunaan jabatan hanya untuk kepentingan pribadi. Pada hal ini, presiden sebagai kepala pemerintahan harus bisa mengontrol kebijakan para menterinya.

Kebijakan impor beras ini seperti tidak sejalan. Presiden berjalan ke kanan namun anak buahnya berjalan ke kiri. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan keinginan presiden. Namun anehnya kebijakan impor beras secara besar-besaran menjadi pilihan pemerintah. Padahal, seharusnya presiden bisa mengatur hal tersebut agar tidak terjadi penumpukan beras impor di gudang Bulog dan kerugian besar yang dialami petani.

Harus ada perbaikan sumber daya alam dan manusia, khususnya petani. Kemampuan petani harus dapat ditingkatkan sehingga lebih berkompeten dalam persaingan perdagangan di era saat ini. Petani harus diberi bekal ilmu pengetahuan dan fasilitas yang memadai. Selain itu harus ada peningkatan kesejahteraan petani agar masyarakat mau menjadi petani. Hal ini dikarenakan profesi petani dianggap rendah. Padahal, karena petani kita bisa makan.

Petani juga seharusnya mampu meningkatkan kualitas beras yang dihasilkannya. Sehingga pemerintah tidak punya alasan lagi untuk mengimpor beras. Jika impor beras terus dilakukan, bukan tidak mungkin para petani akan memilih mundur dari pekerjaannya karena tidak memperoleh kesejahteraan hidup. Indonesia akan dijajah asing melalui kegiatan impor yang dilakukan pemerintah. Lantas, lama kelamaan bukan tidak mungkin juga kita hidup di negeri sendiri namun seperti hidup di negara asing. Perdagangan tidak boleh buta pada produk sendiri atau kita yang akan dibutakan oleh produk asing.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya