Mahasiswa, Demokrasi, dan Perlawanan Online Subversif

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
Mahasiswa, Demokrasi, dan Perlawanan Online Subversif 22/02/2020 1892 view Politik Piqsels

Secara historis, tidak dapat disangkal bahwa para Bapak Bangsa yang memperjuangkan dan melahirkan republik ini bukanlah orang-orang tua, melainkan orang-orang muda yang visioner, militan, dan penuh dengan semangat pengorbanan pada zamannya. Dalam upaya untuk mengenang dan mempelajari semangat perjuangan para Bapak Bangsa sejak awal pergerakan kebangsaan, satu hal yang pasti bahwa mereka berjuang untuk membangun kehidupan bernegara ke arah yang lebih baik pada usia yang masih sangat muda. Sutomo berusia 20 tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa ketika beliau mendirikan Boedi Oetomo.

Dua puluh tahun kemudian apa yang telah dimulai pada tahun 1908 mencapai tahap perkembangan yang sangat menentukan sejarah republik ini yaitu Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Sumpah pemuda adalah hasil kongres pemuda kedua yang berlangsung di Jakarta pada 27-28 Oktober. Kongres ini dihadiri oleh 750 pemuda dan pemudi dari seluruh wilayah Nusantara, mewakili semua organisasi pemuda yang ada pada zaman itu seperti Jong Jawa, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Katholieke Jongelingen Bond, Jong Ambon dan sebagainya.

Gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil melengserkan kekuasaan otoriter dan militeristik Orde Baru menjadi gerakan terbesar dalam sejarah Indonesia yang bukan hanya menjadi kenangan di Indonesia, melainkan menjadi memori kolektif seluruh wilayah di dunia.

Perlawanan yang paling serius dan terorganisasi terhadap kekuasaan Soeharto datang dari Partai Rakyat Demokratik (PRD). Partai ini sebelumnya bernama Persatuan Rakyat Demokratik. Organisasi ini kemudian menyatakan diri sebagai partai pada bulan April 1996 yang diprakarsai oleh sejumlah intelektual muda, termasuk ketua pertamanya yaitu Budiman Sudjatmiko. Sebagian besar anggota PRD adalah intelektual dan aktivis muda, khususnya mahasiswa. Sejak awal pendirian, PRD sudah menunjukkan sikap oposisi terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru.

Tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa demokrasi meniscayakan peran warga negara yang kritis terhadap jalannya pemerintahan sekaligus membutuhkan pemimpin yang tidak alergi untuk dikritik dan diprotes. Pertanyaan penting yang mesti dijawab adalah masyarakat sipil yang berada di posisi mana yang mampu secara efektif mengontrol jalannya kekuasaan agar kekuasaan berdaya guna bagi perwujudan kesejahteraan masyarakat?

Pengontrolan dan kritik habis-habisan terhadap kekuasaan yang lupa diri hanya akan efektif jika dilakukan oleh masyarakat sipil yang mengambil posisi di luar kekuasaan. Orang yang berada di dalam kekuasaan, termasuk kaum intelektual, biasanya jinak dan tidak menggonggong jika terjadi penyelewengan di dalam tubuh kekuasaan.

Kontrol yang hanya bersifat internal saja senantiasa akan bertabrakan dengan kepentingan para pengontrol sendiri. Lebih sering juga terjadi praktik penyelewengan secara berjamaah sehingga berlaku prinsip: maling tidak akan teriak maling. Maling yang ada di dalam arena kekuasaan mengakibatkan kerugian bagi pihak-pihak yang berada di luar kekuasaan. Atas dasar ini, maling di dalam tubuh kekuasaan hanya secara efektif diteriaki oleh orang yang berada di luar kekuasaan (Jean Loustar Jewadut, “Mahasiswa dan Permainan Kekuasaan”, The Columnist, Minggu, 16 Februari 2020).

Penyalahgunaan kekuasaan di kalangan para elite politik tetap eksis baik pada masa Orde Baru maupun pada era reformasi. Namun, satu hal yang menguntungkan yaitu jika dibandingkan dengan masa Orde Baru, penyalahgunaan kekuasaan pada era reformasi lebih mudah dilacak dan diketahui oleh publik.

Demokrasi pada era reformasi memberikan satu modal penting kepada publik untuk melacak kerja para pejabat publik yaitu kontrol terhadap kekuasaan. Sekalipun dalam sebuah negara demokrasi, kontrol masyarakat terhadap kekuasaan negara terbatas namun selalu bersifat nyata terutama terkait dengan keterbukaan pengambilan keputusan. Keterbukaan itu tentu saja tidak tanpa batas.

Masyarakat umum memang sering tidak dapat mengetahui secara pasti motivasi seorang pemimpin dalam menetapkan kebijakan tertentu. Keterbukaan yang dimaksudkan adalah bahwa betapa pun masyarakat umum tidak dapat menyelami motivasi seorang pemimpin dalam menetapkan kebijakan tertentu, kegiatan pemimpin yang bersangkutan tetap terjadi di hadapan masyarakat.

Segala kebijakan yang diambil dan program yang dilakukan oleh pemimpin dapat langsung diamati oleh masyarakat melalui media massa. Masyarakat dapat mengetahui dengan mudah berdasarkan realitas yang terjadi di lapangan bahwa seorang pemimpin menetapkan kebijakan yang pro rakyat ataukah sebaliknya.

Ketersediaan kontrol terhadap kekuasaan menjadi satu modal penting bagi masyarakat sipil untuk melawan kekuasaan yang terus menodai prinsip-prinsip fundamental demokrasi di Indonesia.

Salah satu komponen masyarakat sipil yang bisa diandalkan untuk menyelamatkan demokrasi dari serangan oligarki adalah mahasiswa.

Dalam catatan sejarah, tidak dapat disangkal bahwa mahasiswa berhasil memberikan pengaruh yang hebat terhadap keberlangsungan demokratisasi di Indonesia.

Selain itu, oleh karena modal pengetahuan, kekritisan, independensi, dan posisi mahasiswa yang berada di luar kekuasaan, mereka dipercayai oleh publik dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan, memberikan kritikan, dan merancang gerakan-gerakan perlawanan terhadap kekuasaan yang menganaktirikan masyarakat.

Perlawanan mahasiswa terhadap penyimpangan kekuasaan menjadi semakin dimungkinkan pada era media digital sekarang ini. Mahasiswa menjadi salah satu komponen masyarakat sipil yang akrab dengan media digital. Demokrasi dalam ranah media lebih dimungkinkan pada era media digital. Media digital menjadi platform yang bisa diakses dan digunakan oleh kaum oligark dan masyarakat sipil biasa.

Pada era media digital juga muncul banyak media online yang menjadi saingan dan sekaligus tantangan bagi media-media mainstream para oligark. Media-media online yang lebih independen, kritis, terbuka, dan jujur, lebih menyuarakan kebenaran dengan memuat berita-berita dan opini-opini kritis yang isinya mengkritisi kebijakan pemerintah demi perbaikan hidup masyarakat. Berkembangnya media-media online menjadi peluang yang baik bagi mahasiswa untuk menyuarakan kebenaran dan kekritisan demi membela nasib masyarakat kecil dan tertindas (Jean Loustar Jewadut, “Oligarki Media dan Perlawanan Media Online”, The Columnist, Senin, 30 Desember 2019).

Mahasiswa mesti menjadi garda terdepan mengusahakan revolusi media sosial dengan menjadi warga digital yang bukan hanya berpartisipasi secara online di media-media sosial, melainkan bergerak lebih jauh dengan melibatkan diri dalam tindakan online subversif seperti mengajukan petisi, posting, blogging, dan menyebarluaskan konten-konten kritis dan kritik terhadap kekuasaan yang disajikan dalam akun-akun youtube, seperti yang biasa dibuat oleh Deny Siregar.

Tindakan online subversif mesti membawa aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Dalam hal ini, mahasiswa berperan sebagai perpanjangan lidah masyarakat atau sebagai perantara antara pemerintah dan masyarakat.

Lebih dari itu, tindakan online subversif juga mesti berujung pada upaya untuk melibatkan secara langsung dan aktif masyarakat-masyarakat sektoral seperti kaum buruh, para petani, para nelayan, dan kelompok masyarakat sektoral lainnya yang merasa paling dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang salah arah. Dalam arah yang kedua ini, dibutuhkan kecakapan untuk melakukan pengorganisasian gerakan karena harus melibatkan masyarakat sektoral secara langsung dan aktif.

Kata benda subversi dan kata sifat subversif yang menjadi turunannya, pernah menjadi sebuah kata yang menakutkan bagi masyarakat pada masa Orde Baru.

Rezim yang otoriter mengklaim sebagai subversif kegiatan-kegiatan yang lazim dalam demokrasi seperti pertemuan untuk berdiskusi, tulisan-tulisan kritis yang menilai kinerja pemerintah, dan demonstrasi untuk memperjuangkan kedaulatan substansial. Tuduhan subversif terdengar sebagai sebuah ketukan palu hakim yang menjatuhkan keputusan hukuman mati atau membawa orang untuk berada di balik terali besi. Namun, pada era reformasi, kata subversif merepresentasikan kepekaan masyarakat sipil, teristimewa mahasiswa terhadap kenyataan penyalahgunaan kekuasaan.

Atas dasar itu, pemerintah tidak bisa bersikap otoriter dan menggunakan instrumen hukum untuk merespon tindakan-tindakan online subversif masyarakat sipil. Atau dengan kata lain, tindakan-tindakan online subversif yang berasal dari masyarakat sipil mesti diterima dan direspon secara positif melalui penetapan kebijakan-kebijakan yang benar-benar berguna bagi perwujudan kebaikan bersama.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya