Civil Islam dan Kebebasan Beragama: Suatu Harapan yang Penuh Kecemasan

Civil Islam dan Kebebasan Beragama: Suatu Harapan yang Penuh Kecemasan	11/10/2024 281 view Agama koran-jakarta.com

Dengan jumlah penduduk Muslim yang amat besar, Indonesia dihadapkan dengan tantangan khas untuk menciptakan kehidupan yang damai. Tak dapat diragukan lagi, dengan jumlah populasi Muslim yang tak sedikit, menyimpan keragaman pikiran, ideologi, sistem politik, geliat intelektual, konsepsi mengenai akhirat dan jalan menuju akhirat yang berbeda-beda.

Misalnya adalah mengenai hak asasi manusia terdapat kelompok dalam Islam yang menyetujui hal itu dan tidak. Tentang kesetaraan demokrasi pun demikian, ada yang menerima dan bahkan mendukung penuh ada pula yang menolak dan mengkafirkan hal itu dengan dalih produk dari kebudayaan barat. Sebenarnya, tak hanya dua elemen tersebut yang menuai perdebatan antar kelompok dalam Islam.

Memang, dua tema tersebut menjadi dewasa dan direkam dengan baik oleh akademisi barat, sehingga tidak mengherankan pula kelompok bagian dari Islam yang melabeli hal terkait khususnya demokrasi merupakan produk kebudayaan barat. Namun, dalam laporan penelitian Robert W. Hefner yang terekam dalam karyanya Civil Islam: Muslims and Democratizations in Indonesia (2000) menyebutkan bahwa Muslim Indonesia menyimpan aspek-aspek pro demokrasi dengan istilah 'Civil Islam'.

Menariknya, Bagi Sumantho al-Qurtuby, gagasan Civil Islam ini sedikit membuat akademisi barat kebakaran jenggot. Pasalnya, akademisi barat mengamati bahwa tidak adanya istilah bahkan konsepsi Islam yang 'Civil'. Hal tersebut dikarenakan akademisi barat masih menggunakan kacamata Weberian dalam memotret masyarakat Muslim yang bagi Hefner hal tersebut malah akan menghasilkan konklusi yang tidak relevan dan akurat.

Melalui karya yang sama, Hefner mengartikan Civil Islam sebagai bentuk Islam yang selaras dengan demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme dan hak-hak sipil. Seperti halnya yang direpresentasikan oleh kelompok Islam Moderat, NU dan Muhammadiyah.

Jika berbicara demokrasi, kedua kelompok tersebut, antara NU dan Muhammadiyah bersepakat untuk mendukung dan siap untuk berpartisipasi penuh. Namun, bagaimana dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan? apakah keduanya benar-benar menerima dan mendukung kebebasan beragama dan berkeyakinan?

Namun, kiranya, antara NU dan Muhammadiyah masih menggodog dengan amat serius mengenai (KBB) Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Pasalnya, KBB harus kerap digunakan kelompok intoleran untuk memuluskan tujuan ideologisnya.

Mengutip Bapak Pluralisme Indonesia, Gus Dur, dalam karyanya Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2005) yang berpendapat bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan jika tidak dibarengi dengan pemahaman konsepsi moderasi akan mengarah pada tindak radikal dan ekstrem.

Begitu pula M. Amien Rais yang menganggap perlunya untuk mengelola dengan baik kebebasan beragama agar tidak melahirkan kelompok-kelompok radikal yang intoleran, dengan penuh kehati-hatian agar tidak memberi ruang pada ekstremisme yang sembunyi di balik selimut 'kebebasan'.

Sehingga kelompok Civil Islam tersebut secara tidak langsung lebih mendukung toleransi terbatas yang hanya berhenti pada hak-hak beragama kelompok lain. Namun, setelah kran demokratisasi terbuka lebar paska runtuhnya orde baru, spirit kebebasan beragama dan berkeyakinan meningkat.

Hefner dalam karyanya yang telah disinggung di atas juga menganggap kini Islam telah mengalami kemajuan yang signifikan dengan mendukung dan berpartisipasi aktif dalam aktualisasi ide-ide demokrasi, pluralisme, hak-hak sipil, kesetaraan gender dan lain sebagainya.

Namun, dengan kejamakan kelompok dalam Islam tak menyurutkan tantangan Civil Islam dalam konteks kebebasan beragama. Tak sedikit kelompok dalam Islam yang menolak Civil Islam apalagi paska runtuhnya Rezim Suharto. Menurut Martin Van Bruinessen, melalui Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia (2002), kran kebebasan yang terbuka lebar turut membuka ruang ekspresi politik bagi kelompok radikal dan terkoneksinya dengan jaringan transnasional.

Tak hanya itu, tantangan lain yang berangkat dari kesalahpahaman mengenai Civil Islam pun tak dapat dinafikan. Irisan antara Civil Islam dengan sekularisme terlihat sangat dekat. Bahkan tak sedikit yang menganggap dua hal tersebut sama. Padahal Civil Islam sama sekali tidak menghilangkan identitas agama asli. Civil Islam yang dikemukakan oleh Hefner berusaha menjembatani antara tradisi keagamaan dan demokrasi.

Belum lagi kesalahpahaman bahwa arah dari Civil Islam adalah politik identitas yang negatif dengan alasan 'demokrasi islam' yang justru akan menghasilkan konflik antar agama, diskriminasi atas kaum agama minor, tidak dipenuhinya hak-hak beragama.

Dengan demikian, bingkai demokrasi dalam konteks Civil Islam perlu diperkuat. Dengan mengedepankan toleransi, dialog (bukan debat) dan pendidikan dapat menjembatani dalam upaya menciptakan masyarakat beragama yang harmonis dan inklusif serta tidak melanggar hak-hak beragama kaum minoritas.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya