Transformasi Pasar Konvensional ke E-Commerce bagi Para Pedagang

Statistisi di Badan Pusat Statistik
Transformasi Pasar Konvensional ke E-Commerce bagi Para Pedagang 29/01/2021 1917 view Ekonomi pxhere.com

Pada 2 Maret 2020, Covid-19 pertama kali menyerang Indonesia, dengan 2 kasus yang terjadi di Kota Depok. Pada 15 Maret 2020, angka ini meningkat pesat menjadi 117 kasus. Meskipun begitu, Presiden Jokowi menetapkan bahwa tidak akan melakukan lockdown sebagaimana negara lain, tapi menerapkan langkah antisipatif dengan pelaksanaan PSBB sejak April 2020. PSBB ini pun diikuti oleh instansi dan perusahaan dengan menerapkan Work From Home (WFH) bagi para pekerjanya. Sekolah dan universitas pun tidak ketinggalan memberlakukan Study From Home (SFH). Semua dilakukan untuk menahan laju penyebaran Covid-19.

Dengan adanya PSBB, semua orang dipaksa untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru (new normal), mengerjakan berbagai aktivitas mulai dari belajar, berkerja, ngobrol, main game, hingga bermedsos ria di rumah. Ibu-ibu yang biasanya shopping ke luar terpaksa harus menahan dirinya. Jajan dan makan di luar yang merupakan aktivitas rutin para pekerja dan anak sekolah mau tidak mau berganti dengan makan di rumah karena para ibu kini punya banyak waktu di rumah, dan para anggota keluarga pun stand-by di rumah.

Di satu sisi, kondisi ini menambah family time yang selama ini berkurang karena pekerjaan dan aktivitas di luar. Tapi di sisi lain, kondisi ini juga menyebabkan ekonomi menjadi lesu. Salah satu yang terkena dampaknya adalah para pedagang.

Pembeli berkurang drastis, toko-toko yang biasanya buka dari pagi hingga malam terpaksa harus buka lebih lambat dan tutup lebih cepat. Penjualan yang tidak mencukupi bahkan untuk sewa tempat dan membayar gaji karyawan terpaksa membuat banyak usaha gulung tikar dan PHK dimana-mana. Tak pelak lagi, menurut data BPS, sebanyak 84 persen Usaha Menengah Kecil (UMK) dan 82 persen Usaha Menengah Besar (UMB) menurun pendapatannya saat pandemi. Sementara 10,1% UMK dan 5% UMB berhenti beroperasi. Jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan pun ikut turun -0,29% di bulan Agustus 2020 jika dibandingkan Februari 2020.

Tumbangnya sektor perdagangan sejak diberlakukan PSBB pada April 2020 tergambar di Produk Domestik Bruto Sektor Perdagangan yang turun di triwulan ke II 2020 sebesar -0,43%. Meskipun pemerintah berusaha memberikan stimulus dengan pemberian BLT kepada pemilik usaha sejak Agustus 2020, namun tampaknya sudah cukup terlambat, karena sektor perdagangan sudah semakin terpuruk dan turun lagi di triwulan ke III sebesar -0,97%.

Bertahan pada perdagangan konvensional tampaknya tidak mungkin selama pandemi ini. Namun ada setitik cerah yang mempertemukan para pedagang dan pembeli yang sebenarnya sama-sama saling membutuhkan namun terhalang jarak, yakni memanfaatkan e-commerce. Menurut data Sea Insights, sebanyak 45% UMKM beralih ke e-commerce. 1 dari 5 UMKM merupakan pemain baru di e-commerce. Mereka yang beralih ke e-commerce merasakan manfaatnya, karena 60% bisa berjualan hingga ke luar daerah dan pendapatan merekapun meningkat hingga 165%.

Dari sisi pembeli pun juga merasa senang, karena mereka tinggal duduk di rumah, membuka gadget dan memilih barang yang ingin mereka beli, tidak perlu mengambil resiko dengan keluar dan bertemu orang-orang. Menurut data perusahaan e-commerce enabler Sirclo, selama pandemi pengguna e-commerce bertambah hingga 12 juta pengguna. Sekitar 1 dari 5 pengguna e-commerce bahkan berbelanja sangat sering, bisa 9 kali per bulan atau seminggu 2 kali.

Dengan adanya Covid-19 ini semakin menunjukkan kekuatan e-commerce di Indonesia. E-commerce hadir tidak hanya memberikan kemudahan, namun juga solusi. Jika dahulu banyak pedagang yang sulit memasarkan dagangannya hingga ke kelurahan sebelah, sekarang dapat menjangkau hingga seluruh Indonesia. Jika dulu ingin membeli produk harus ke luar rumah, berpanas-panasan, terkena debu, kuman, dan polusi, sekarang bisa sambil berbaring di kasur. Jika dahulu pandemi terasa menakutkan karena aktivitas pemenuhan kebutuhan ataupun berjualan harus terhalang pembatasan sosial, kini membeli dan menjual bisa dilakukan dari rumah.

Namun di balik cerita indah di atas, ada cerita pilu para pedagang yang masih menggunakan metode konvensional. Para pedagang ini mau tidak mau harus kalah karena Covid-19. Ada yang pendapatannya menurun, bahkan ada yang harus gulung tikar. Bagaimanakah nasib para pedagang ini?

Para pedagang konvensional mau tidak mau harus bertransformasi. Memperlakukan era digital ini bukan sebagai musuh, namun sebagai peluang. Infrastruktur ekonomi digital Indonesia semakin lama semakin matang. Pengguna smartphone diprediksi akan mencapai 90% populasi pada tahun 2025, sementara pengguna internet akan mencapai 77 persen (Sirclo, 2020). Jumlah e-commerce pun semakin bertambah, mereka didukung oleh jasa ekspedisi yang semakin menjamur dan menjangkau hingga ke pelosok daerah. Para pengguna smartphone dan internet ini adalah target yang sangat besar, yang seharusnya bisa dijangkau oleh para pedagang dengan memanfaatkan e-commerce sebagai pasarnya.

Pandemi Covid-19 adalah momentum. Jika para pedagang mau berubah, tidak hanya mengandalkan pasar konvensional tapi juga e-commerce, maka mereka akan berkesempatan memperluas target pasarnya dan meningkatkan pendapatannya. Inilah new normal bagi para pedagang. Adaptasi kebiasaan baru. Jika mereka berhasil menerapkan new normal ini maka mereka akan bertahan dan bahkan bertambah besar.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya