Fresh Graduate dan Cita-Cita Masa Kecil

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang
Fresh Graduate dan Cita-Cita Masa Kecil 06/12/2021 1235 view Pendidikan pxhere.com

Ketika kita masih kanak-kanak, orang dewasa sering kali bertanya demikian, "Kamu punya cita-cita mau jadi apa?" Waktu itu, jawaban kita murni spontanitas kekanak-kanakkan. Anak-anak yang suka nonton Serial Aksi Power Rangers mungkin akan bercita-cita menjadi salah satu anggota heroic ala Amerika tersebut. Anak seorang polisi kemungkinan besar meniru gaya ayahnya yang gagah dengan seragam polisi. Spontanitas kekanak-kanakan selalu tanpa pertimbangan rasional yang matang. Imajinasi anak-anak tentang cita-cita pasti dilakukan dengan meniru orang-orang ideal baik yang mereka tonton di televisi maupun yang mereka temukan dalam kehidupan mereka setiap hari.

Pada fase tertentu dalam hidup ini, kita kemudian mampu membuat pertimbangan atas setiap keputusan kita. Atau dengan kata lain, kita sudah mampu berpikir mandiri. Kita mulai sadar bahwa siapa kita tidak lain adalah keputuasan kita. Kita mulai paham alasan dan konsekuensi setiap keputusan kita. Di usia-usia demikian, kita kemudian sadar bahwa cita-cita bukan soal imajinasi kekanak-kanakan. Pertanyaan, "Apa cita-citamu?" tidak dijawab semudah saat kita kanak-kanak. Bahkan, banyak orang dewasa yang bingung dengan cita-citanya sendiri.

Kalau dulu istilah "cita-cita" sebatas bahan ngobrol "gemes-gemesan" antara kita dengan orang-orang dewasa, kini cita-cita malah menjadi cara hidup itu sendiri dan ideal masa depan yang harus diperjuangkan. Cita-cita bukan lagi sebuah kata yang dijawab tetapi pekerjaan yang dilakukan. Cita-cita kini bukan sebatas imajinasi tanpa keringat. Cita-cita bukan prestasi yang diraih nanti. Cita-cita adalah cara kita survive dari hari ke hari saat ini. Akumulasi setiap keputusan kita di setiap saat akan sangat menentukan siapa kita di hari ini, esok dan nanti. Orang bijaksana bilang, "Tidak ada kesuksesan tanpa keringat perjuangan". Cita-cita kini menjadi keputusan yang murni sangat pribadi. Mungkin usulan keluarga, sahabat dan kekasih sangat berharga, tetapi pada akhirnya kita sendiri yang menentukan keputusan kita.

Saya kira, pendidikan formal bukan satu-satunya tempat orang-orang berjuang untuk ideal masa depannya. Beberapa orang malah survive tanpa melalui studi di ruang kelas. Sebaliknya, banyak juga lulusan dari kampus ternama malah kalah bersaing di dunia kerja. Hal ini membuktikan bahwa kompetisi di ruang kelas berbeda dengan di dunia kerja. Pemenang di ruang kelas tidak berarti dengan mudah menjadi juara di medan kerja. Di dunia kerja, yang dibutuhkan skill konkret yang punya kontribusi signifikan atas kemajuan lingkungan kerja tersebut. Ketika kita tak memiliki peran, kita dengan sendirinya akan tersingkir dari lingkungan tersebut.

Dalam tulisan kecil ini, saya ingin merefleksikan tentang apa artinya menjadi "Fresh Graduate" yang tidak hanya knowledgeable tetapi know how to do. Harus diakui bahwa istilah "Fresh Graduate" tidak lain adalah produk kepala orang-orang barat. Secara leksikal, istilah ini diterjemahkan dengan istilah "Lulusan Baru". Namun, terjemahan ini tidak sepenuhnya memuat makna yang hendak disampaikan oleh orang-orang barat dengan apa artinya "Fresh Graduate". Adjektif "Fresh" sebetulnya lebih dari sekadar "baru". Saya kira, istilah "Fresh" mengandung makna yang lebih dari soal "seorang yang baru lulus sekolah". "Fresh Graduate" tidak dibatasi pada persoalan "baru tamat sekolah". "Fresh Graduate" bukan soal titik final dari sebuah durasi, melainkan intensitas pemahaman atas sebuah knowledge.

Kalau pemahamannya soal "baru" saja, orang barat bisa saja menyebut "New Graduate". Tetapi, mereka tidak menggunakan kata "new" sebagai adjektif "graduate". Bagi orang-orang barat, "Fresh Graduate" tidak sekadar merujuk pada seseorang yang secara administratif "baru lulus sekolah". "Fresh Graduate" selalu mengacu pada seseorang yang secara knowledge dan skill canggih dan bersemangat. Mereka adalah orang-orang passionate di bidang mereka masing-masing. Oleh karena itu, mereka disebut "Fresh Graduate".

Saya sendiri lebih suka menerjemahkan "Fresh Graduate" dengan istilah "Lulusan Segar". Memang, kadang-kadang aktivitas menerjemahkan selalu menemui benturan antara cita rasa bahasa dan logika bahasa. Orang Italia bilang, "Menerjemahkan tidak lain adalah mengkhianati". Tetapi, istilah "Lulusan Segar" setidaknya tidak lebih mengkhinati ketimbang istilah "Lulusan Baru". "Lulusan Segar" lebih mengandung makna passionate dan intensitas knowledge dari seorang yang belajar. Istilah "segar" lebih mengandung makna yang lebih dari sekadar seseorang yang "baru-baru ini lulus". Adjektif "segar" sekali lagi memaksudkan intensitas knowledge milik sang "graduate" (lulusan). Istilah "segar" dengan demikian bukan sebatas predikat parsial, tetapi identitas otentik seorang pembelajar.

Mungkin persoalan leksikal di atas tidak terlalu penting untuk hidup konkret-harian. Yang terpenting adalah bagaimana adjektif "fresh" dari seorang "graduate" benar-benar tampak dalam keseharian hidupnya. Itu berarti, kecanggihaan ide seorang "Fresh Graduate" perlu dimanifestasi dalam kehidupan konkret hariannya. Atau dengan kata lain, intensitas knowledge-nya perlu diperlihatkan dalam bentuk kontribusi positif-konkret terhadap lingkungan di mana ia berada. "Fresh Graduate" akhirnya adalah mereka yang survive dari kesenangan-belajar tentang apapun secara terus-menerus. Seperti kata Jack Ma, "Jangan sampai ide yang brilliant terdengar seperti kentut kalau tanpa manifestasi konkret".

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya