Legitimasi Praktik Kekerasan di Masyarakat Meto

Dewasa ini praktik kekerasan marak terjadi. Praktik kekerasan tersebut tidak hanya terjadi secara langsung tetapi juga terjadi secara tidak langsung (kekerasan struktural). Pada kenyataannya, kekerasan tersebut terjadi bukan hanya dilatarbelakangi oleh tirani militer dan politik, melainkan juga produk-produk kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, tulisan ini menguraikan secara sederhana praktik-praktik kekerasan dalam Masyarakat Meto di Timor Tengah Selatan yang menganut sistim budaya patriarki.
Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan ibu kota yaitu Kota SoE. Kabupaten ini menjadi penghubung antara Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Mayoritas masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah Masyarakat Meto. Secara etimologis, frasa Meto berasal dari kata bahasa Dawan atoni meto. Masyarakat Meto memegang paradigma ¬feto-mone. Kata feto (penekanan pada huruf o) berarti perempuan dari garis keturunan ibu, sedangkan mone (penekanan pada huruf e) berarti laki-laki dari garis keturunan ayah. Dengan demikian, paradigma ini menegaskan kembali peran sosial dari masing-masing garis keturunan.
Kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung (kekerasan struktural) sering terjadi dalam Masyarakat Meto di Timor Tengah Selatan. Sebut saja konflik lahan antara masyarakat adat Pubabu dan Pemprov NTT sebagaimana diuraikan oleh Fadly Anetong sebagai konflik agraria terpanjang di negeri ini. Konflik tersebut merupakan bentuk praktik kekerasan langsung dalam masyarakat Meto yang terhitung sejak tanggal 4 Agustus 2020 sampai dengan 18 Agustus 2020. Konflik ini bahkan kembali memanas di akhir Oktober 2022 lalu.
Selain kekerasan secara langsung, kekerasan secara tidak langsung (kekerasan struktural) juga dialami oleh masyarakat Meto di Timor Tengah Selatan. Berdasarkan hasil studi longitudinal terhadap lima kabupaten di Indonesia (2014-2020) oleh The SMERU Research Institute dalam Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Prempuan (MAMPU) menunjukkan angka 50 persen kemerosotan ekonomi di Kabupaten Timor Tengah Selatan, lebih besar dari lima kabupaten lainnya. Kemerosotan ekonomi ini disebabkan oleh ketimpangan struktural baik soial budaya maupun politik.
Menurut Galtung sebagaimana diuraikan Herlambang, terjadinya kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung (kekerasan struktural) disebabkan oleh legitimasi produk-produk kebudayaan, seperti ideologi, bahasa, karya seni, tanda, simbol, dan sebagainya. Dengan demikian, munculnya praktik kekerasan dalam masyarakat Meto disebabkan oleh legitimasi produk kebudayaan setempat.
Sebagian besar masyarakat Meto menganut budaya patriarki. Secara umum budaya patriarki didefinisikan sebagai budaya yang mementingkan garis keturunan laki-laki. Budaya patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan bahwa laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada perempuan. Alhasil, laki-laki Meto cenderung dilihat sebagai ‘yang pertama dan utama’ (pewaris, pemegang kekuasaan, dan pengambil keputusan) sedangkan perempuan Meto cenderung disubordiasikan. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa praktik-praktik kekerasan yang terjadi dalam masyarakat Meto memperoleh legitimasi dari produk-produk budaya patriarki.
Hal tersebut ditegaskan kembali melalui hasil studi The SMERU Research Institute. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kekerasan yang tejadi, khususnya terhadap perempuan di Kabupaten Timor Tengah Selatan disebabkan oleh posisi dominan laki-laki terhadap perempuan. Kata legitimasi sebagaimana ditulis Galtung dalam Herlambang memiliki hubungan dengan praktik kekerasan. Artinya, kekerasan tersebut dilegitimasi oleh produk-produk budaya sehingga dapat dibenarkan secara ideologis agar masyarakat dapat melihat praktik kekerasan tersebut sebagai sesuatu yang wajar terjadi. Oleh karena itu, dapat dikatakan pembenaran terhadap praktik kekerasan melalui produk kebudayaan merupakan sebuah bentuk kekerasan yang disebut sebagai kekerasan budaya.
Galtung mengakui bahwa kekerasan budaya sulit diukur, walaupun memberikan pengaruh besar bagi masyarakat. Menurut Galtung, hal ini disebabkan oleh sifat budaya yang permanen. Artinya, secara esensi selalu bersifat sama dan memberikan transformasi yang lamban bagi perubahan. Kesulitan tersebut tidak menutup niat Galtung untuk mencari alternatif dalam meminimalisasi praktik kekerasan budaya dalam masyarakat. Menurut Galtung, lawan dari kekerasan adalah perdamaian, sehingga lawan dari kekerasan budaya adalah perdamaian budaya.
Baik kekerasan langsung maupun kekerasan tidak langsung (kekerasan struktural) yang terjadi dalam masyarakat Meto sebagaimana diuraikan di atas, memperoleh dasar legitimasi dari produk-produk budaya patriarki. Untuk itu, alternatif peminimalisasian kekerasan tersebut mesti terjadi pada tubuh budaya patriarki itu sendiri. Artinya, perlu ada penyadaran terhadap bentuk-bentuk pemaknaan baru dan seimbang mengenai produk-produk budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat Meto di Timor Tengah Selatan.
Penyadaran terhadap bentuk pemaknaan baru terhadap produk-produk budaya patriarki dalam masyarakat Meto diuraikan sebagai berikut. Pertama, Penyadaran terhadap pemaknaan baru dan seimbang mengenai tanda dan simbol budaya dalam masyarakat Meto. Tanda dan simbol budaya yang dimaksudkan ialah artefak-artefak budaya, karya sastra, bahasa adat, seni dan pengetahuan. Hal ini penting karena tanda dan simbol budaya memiliki peran dalam menciptakan, memelihara, dan mentransformasikan nilai-nilai moral dalam masyarakat Meto.
Kedua, penyadaran terhadap pemaknaan baru dan seimbang mengenai ideologi patriarki dalam masyarakat Meto. Hendaknya, ideologi ini tidak dimaknai secara langsung, seperti pemaknaan sempit akan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat Meto. Ideologi ini mesti memperoleh penyesuaian yang mendalam melalui pengalaman praktis sehari-hari bahwa perempuan Meto juga memperoleh peran penting dalam masyarakat Meto, sedangkan laki-laki Meto memperoleh peran sebagai penolong yang sepadan, sehingga term menguasai yang sering diidentikkan dengan budaya patriarki dalam masyarakat Meto ditransformasi maknanya dengan menolong atau melindungi.
Ketiga, memasukan nilai-nilai penyeimbang dan mempertegas budaya konsensus (consent culture). Mempertegas budaya konsensus berarti masyarakat Meto secara umum (pemerintah dan komunitas budaya) dan para tua-tua adat secara khusus duduk bersama untuk membuat kesepakatan mengenai transformasi makna yang diproduksi oleh budaya patriarki, berupa ideologi, tanda, simbol, karya seni dan sastra. Transformasi makna tersebut mesti dilandaskan pada nilai-nilai penyeimbang, sehingga dapat meminimalisasi kekerasan baik secara langsung maupun struktural dalam masyarakat Meto di Timor Tengah Selatan.
Berdasarkan uraian di atas, saya menyimpulkan bahwa kecenderungan kekerasan yang terjadi dalam masyarakat Meto di Timor Tengah Selatan, salah satunya ialah sebab dari budaya patriarki yang terepresentasi dalam bentuk produk-produk budaya, seperti ideologi, bahasa, karya seni, tanda, simbol, dan sebagainya.
Tentu, tidak mudah meminimalisasi praktik-praktik kekerasan dalam masyarakat Meto yang menganut budaya patriarki. Oleh karena itu, salah satu alternatif ialah perlu ada penyadaran terhadap bentuk-bentuk pemaknaan baru dan seimbang mengenai produk-produk budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat Meto di Timor Tengah Selatan. Untuk mencapai hal tersebut harus ada kerjasama yang maksimal baik masyarakat Meto secara umum (pemerintah dan komunitas budaya) maupun para tua adat setempat.
Artikel Lainnya
-
192106/12/2020
-
151620/11/2020
-
262701/09/2021
-
Kesetaraan Gender dalam Dunia Politik
71616/01/2024 -
Adakah Tayangan Televisi yang Ideal?
99207/06/2021 -
Menepis Stigma Pendidikan Tinggi bagi Perempuan
395906/12/2019