Asimilasi yang Humanis dan Berkelanjutan

Asimilasi yang Humanis dan Berkelanjutan 26/04/2020 1299 view Opini Mingguan pixabay.com

Salah satu cara untuk memutus penyebaran rantai Covid–19 yang dilakukan oleh Kementrian Hukum dan HAM adalah dengan memberikan asimilasi bagi narapidana dengan ketentuan sudah menjalani 2/3 masa tahanan dan ketentuan lainnya.

Tentu sebuah kebijakan yang besar dan mendesak tidak terlepas dari pro dan kontra tetapi pada akhirnya tetap dilakukan atas dasar kemanusiaan. Hal ini karena lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kita terlampau penuh (over capacity). Kondisi lapas kita yang demikian menyebabkan para narapidana menempati urutan teratas daftar yang paling rentan terpapar virus korona.

Sejauh ini, sejumlah 38,822 narapidana yang telah dikeluarkan dari lembaga permasyarakatan (per 20 April) . Sedari awal sejak kebijakan ini santer diperbincangkan, saya agak sedikit skeptis dan pesimistis sebab kebijakan asimilasi masal dengan melibatkan narapidana yang cukup banyak dilakukan dengan proses yang sangat cepat.

Hal ini dikarenakan cepatnnya penyebaran virus korona yang tidak bisa dibendung. Tetapi ironinya, proses yang cepat tersebut dilakukan tanpa diimbangi dengan sosialisasi kepada masyarakat sebagai tempat paling akhir berbaurnya kembali para narapidana.

Sikap saya yang skeptis dan pesimistis tidak salah sebab akhir-akhir ini banyak kasus kriminal berupa pencurian ataupun begal kembali terjadi yang mana dilakukan oleh para mantan narapidana yang terlibat dalam program asimilasi. Misalnya saja, kejadian yang terjadi di Jakarta Utara (Jumat, 10 April 2020) dimana seorang eks narapidana asimilasi terlibat tindakan kriminal pencurian telepon seluler dengan tiga korban padahal narapidana tersebut baru saja dibebaskan pada 7 April 2020 (Kompas, 23/04/2020). Sungguh sebuah Ironi bukan ?. Ya, kita memang terlalu larut dalam pro-kontra suatu kebijakan dan menafikan masyarakat sebagai objek tunggal dari suatu kebijakan.

Ely Alawiyah Jufri (2017) dalam penelitiannya terkait pelaksanaan asimilasi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta menemukan bahwa tidak sedikit pihak luar atau masyarakat yang tidak menerima bahkan takut untuk mempekerjakan narapidana dengan alasan mereka adalah seorang narapidana.

Penelitian dari Ely Alawiyah Jufri menggambarkan bahwa sosialiasi dari pemerintah penting untuk dilakukan sebab status narapidana yang mereka pikul dapat menjadi batu sandungan saat para narapidana memulai kembali hidup mereka yang baru di masyarakat.

Selain itu, faktor ekonomi kita yang sedang lesu sebagai akibat dari kebijakan pembatasan sosial menyebabkan banyak perusahaan mati suri. Situasi ini juga mengakibatkan sebanyak 38,822 narapidana yang terlibat program asimilasi terjerembab dalam kelompok pengangguran.

Dengan komplikasi situasi yang demikian maka tidak mengherankan jika para narapidana akan kembali berulah dengan melakukan berbagai tindakan kriminalitas yang dapat mengakibatkan timbulnya persoalan baru di tengah pandemi ini.

Memang Sejauh ini, hanya sebanyak 10 eks narapidana program asismilasi (data per 14 April) yang kembali berulah. Tetapi di tengah situasi pandemi seperti ini, kejadian semacam ini tidak perlu terjadi sebab dapat menimbulkan keresahan hingga kepanikan baru di tengah masyarakat yang sedang berjuang dengan wabah ini.

Kita tentu berharap agar tidak ada narapidana lain lagi yang kembali berulah, maka dari itu perlu tindakan tegas dari aparat kepolisian untuk narapidana yang kembali berulah, namun kita perlu juga langkah-langkah mitigasi yang humanis dan berkelanjutan.

Seorang narapidana yang selama ini menghabiskan seluruh waktunya di dalam lapas ketika keluar dan kembali berbaur hidup dengan masyarakat di tengah keadaan ekonomi yang sedang tidak menentu maka mereka akan menjadi bagian dari kelompok yang ikut menderita.

Maka dari itu, para narapidana harus tetap diperhatikan oleh pemerintah. Karena alasan sisi kemanusiaan yang menjadi lahirnya program asimilasi masal maka mereka juga harus diperhatikan dengan baik tanpa mencederai sisi kemanusiaannya sebab dengan status mantan narapidana sekalipun, seseorang tidak dapat menghilangkan hak asasi yang dimiliki seorang manusia selama manusia itu hidup.

Oleh karena itu, kebijakan asimilasi yang sudah dilakukan sejauh ini jangan berhenti saat para narapidana melewati pagar terakhir lapas tempat mereka dibina tetapi harus terus berkelanjutan saat mereka berada di tengah masyarakat.

Dengan demikian, ada beberapa poin penting yang menurut penulis perlu diperhatikan dalam pelaksanaan program asimilasi yang humanis dan berkelanjutan. Pertama, selain melibatkan pihak keluarga sebagai penjamin para narapidana, Lembaga Permasyarakatan (Lapas) juga harus melibatkan pemerintah daerah pada tingkat Desa atau Kecamatan atau juga tokoh masyarakat untuk ikut terlibat dalam mengawal para narapidana saat kembali memulai hidup yang baru di masyarakat.

Keterlibatan pemerintah desa/kecamatan/toko masyarakat bisa mulai dilakukan saat menjemput narapidana tersebut ketika pertama kali keluar dari Lapas. Ini penting dilakukan agar para narapidana merasa diterima oleh kelompok masyarakat dan merasa diawasi pemerintah setempat sehingga peluang mereka untuk kembali berulah semakin kecil.

Pemerintah daerah ataupun tokoh masyarakat yang hadir dapat menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait program asimilasi. Mereka juga tidak perlu kita kucilkan atau jauhkan. Kita wajib menghargai mereka sebagai manusia seutuhnya sesuai dengan kodratnya.

Kedua, narapidana tersebut wajib terdaftar sebagai penerima jaring pengaman sosial sebab ketika pertama kali keluar dari lapas maka pertama kali pula mereka akan menata hidup yang baru. Memang tidak mudah memulai hidup yang baru di tengah wabah korona seperti ini. Maka dari itu bantuan sosial wajib untuk mereka peroleh.

Kita berharap agar semua komponen masyarakat dan pemerintah tidak terpecah tetapi tetap satu fokus dalam memerangi wabah korona. Dengan demikian, kita harus satu suara untuk saling membantu, memberi suport ataupun motivasi sehingga pada akhirnya kita bisa memenangkan perang melawan korona Perang melawan korona juga adalah perang melawan solidaritas yang menembus perbedaan. Semoga.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya