Layangan Putus dan Surga yang Tak dirindukan

Anak Rumahan
Layangan Putus dan Surga yang Tak dirindukan 30/01/2022 874 view Agama kaskus.co.id

It’s my dream Mas, not her.” Mungkin kalimat ini sangat tidak asing bagi pengguna media sosial.

Ini adalah salah satu dialog viral dari serial yang berjudul Layangan Putus, serial yang baru-baru ini selesai ditayangkan yang membuat jagat maya heboh. Pasalnya, serial yang dibintangi Reza Rahadian, Putri Milano dan Anya Geraldine itu mampu mengaduk-aduk emosi penonton dari mulai marah, kesal, hingga sedih. Ingin makan orang rasanya setelah menonton serial tersebut.

Dari rasa penasaran akan jalan cerita serial tersebut yang ternyata diangkat dari sebuah novel berjudul sama, saya lalu kepo dan kemudian membaca juga novel tersebut. Cukup berbeda dengan apa yang ditampilkan di serial, novel Layangan Putus menawarkan sebuah cerita yang menurut saya punya pesan yang lebih dalam.

Jika di serial Layang Putus kental sekali dengan adegan perselingkuhan, di novel justru tidak ada cerita perselingkuhan sama sekali. Cerita yang diangkat di novel Layang Putus adalah cerita tentang seorang istri yang tiba-tiba dipoligami oleh suaminya. Tanpa perselingkuhan, ceritanya justru fokus pada rumah tangga Kinan, sebagai tokoh utama, setelah Aris menikah lagi.

Cerita poligami ini juga mengingatkan saya pada novel serupa dengan judul Surga yang Tak Dirindukan. Pras yang memiliki rumah tangga bahagia bersama Arini lalu memutuskan untuk menikahi Meyrose yang baru dikenalnya. Tentu saja keputusan Pras untuk berpoligami mendapat penolakan keras dari Arini.

Kedua novel di atas sama-sama menceritakan tentang perasaan seorang istri yang mendapati suaminya menikah lagi secara diam-diam. Namun, tentu saja konflik dan plot yang diangkat sangat berbeda.

Ada kesamaan dalam dua cerita di atas, di mana Pras dan Aris sama-sama memutuskan untuk berpoligami. Keputusan poligami itu juga dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan istri pertama.

Namun, bila dalam kasus Pras, pernikahannya yang kedua terjadi dalam keadaan darurat di mana dia menikahi Meyrose karena ingin menyelamatkan nyawa Meyrose yang saat itu ingin bunuh diri. Tentu dalam kondisi ini, akan sangat sulit untuk menjelaskan ke Arini. Sehingga Pras lebih memilih untuk diam.

Sangat berbeda keadaannya dengan Aris yang jelas-jelas punya niat poligami. Bahkan sempat juga berbulan madu bersama istri barunya ke Turki. Namun, sayangnya ia tidak melibatkan Kinan dalam prosesnya berpoligami. Aris justru ketahuan telah menikah lagi setelah menghilang selama dua belas hari tanpa kabar untuk berbulan madu bersama istri barunya.

Memang, dalam Islam untuk menikah lagi tidak memerlukan izin istri pertama. Namun, pertanyaan yang ada di benak saya adalah mengapa harus disembunyikan? Pras seharusnya tidak menyembunyikan pernikahannya dengan Meyrose, walaupun mungkin Arini tentu saja tidak akan setuju, namun mungkin bila Pras jujur dari awal, akan lebih mudah bagi Arini untuk menerimanya.

Begitu juga dengan Aris yang tiba-tiba menghilang untuk bulan madu. Mengapa dia harus menyembunyikan pernikahannya bila tidak ada yang salah dengan itu? Mengapa dia harus menghilang dua belas hari tanpa kabar? Bukankah kejujuran itu lebih baik walaupun pahit.

Lalu setelah ketahuan berpoligami, Pras mencoba menjelaskan kondisinya saat itu kepada Arini. Bahkan, sahabat-sahabat Pras juga ikut membantu untuk menjelaskan kepada Arini tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sangat berbeda sekali dengan sikap Aris yang selalu menghindar ketika Kinan menuntut penjelasan darinya.

Dan akhir ceritanya pun sangat berbeda. Arini akhirnya mengerti dan bisa menerima kehadiran Meyrose dalam rumah tangganya, sementara Kinan memilih untuk bercerai setelah mencoba bertahan selama satu setengah tahun dalam kondisi berpoligami.

Kedua cerita di atas mungkin hanyalah cerita fiktif belaka. Namun, dari sini kita bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga. Tentang bagaimana komunikasi itu sangat penting dalam sebuah hubungan, tidak hanya hubungan suami istri, hubungan keluarga, pertemanan atau relasi bisnis, tak akan bisa berjalan mulus tanpa komunikasi yang baik.

Setidaknya ini yang saya tangkap dari membaca novel Layangan Putus. Sejak awal, Aris tidak punya itikad untuk mengomunikasikan niatnya berpoligami kepada Kinan. Padahal, menurut penulis novel Layangan Putus, seandainya komunikasi bisa berjalan dengan baik, mungkin kehidupan poligami juga bisa berhasil.

Kondisi buruknya komunikasi ternyata kian parah setelah poligami berjalan. Kinan yang menuntut dialog dan penjelasan dari Aris, tak kunjung mendapatkannya. Padahal, sebagai seorang istri ia sebenarnya cukup berusaha menerima keputusan suaminya. Namun, karena situasi komunikasi yang buruk, pada akhirnya ia memutuskan untuk meminta cerai dari suaminya.

Di dalam Islam, poligami bukanlah sesuatu yang dilarang. Namun, kita juga tahu jika di dalam Islam ada yang namanya adab sebelum ilmu dan ilmu sebelum amal. Dalam hal ini, poligami merupakan ibadah atau amal di mana juga harus didahului dengan ilmu dan juga adab.

Di dalam kasus Layangan Putus, saya tidak menemui sisi adab atau ilmu dari pelaku poligami. Padahal, sosok Aris adalah sosok yang digambarkan religius. Mungkin, sebelum melakukan poligami, dia bisa mengajak istrinya berdialog dulu atau setidaknya mengajak istri ke kajian agar pemahamannya dan istri tentang poligami bisa sama.

Terlebih lagi untuk ilmu, saya merasa Aris tidak punya cukup ilmu untuk berpoligami. Terlihat dari sikapnya yang tidak bisa berlaku adil. Ketidakadilannya terlihat jelas sekali saat membaca novel. Dari mulai fasilitas berbeda, hingga kualitas waktu yang juga berbeda antara yang didapatkan Kinan dan istri keduanya. Padahal, syarat poligami adalah berlaku adil.

Belum lagi kemampuan komunikasi dan keahlian dalam mengelola konflik. Sosok Aris cenderung menggunakan jurus ghosting atau silent treatment kepada Kinan. Bila Kinan menuntut dialog, respon Aris adalah menunda dan menghindar. Padahal, diam dan menghindar bukanlah sebuah cara untuk menyelesaikan masalah. Ada masalah-masalah yang harus diselesaikan dengan bicara dan diskusi yang baik.

Lagi-lagi, komunikasi adalah kunci utama. Dalam sebuah kajian ustaz favorit saya, dijelaskan bahwa komunikasi dalam keluarga itu sangatlah penting. Sangat penting bagi suami istri untuk melakukan syuro atau rapat.

Dengan begitu, komunikasi bisa terjalin dan masing-masing pihak dapat memahami isi kepala dan hati dari pihak lainnya. Bukan malah memutuskan sebuah keputusan besar sendiri, padahal efeknya juga akan dirasakan oleh istri dan anak-anak yang bisa saja kelak menjadi korban dari keputusan itu.

Sebagai seorang yang belum menikah, isu poligami adalah isu yang amat sensitif untuk saya. Saya bukan menentang poligami, namun dari kisah ini saya juga belajar jika poligami tidaklah sesederhana itu.

Ada baiknya seseorang yang menjadi praktisi poligami adalah orang-orang yang benar-benar mampu dalam menjalankannya. Bukan hanya mampu dalam sisi finansial, namun dari sisi adab dan juga ilmu harus sudah mumpuni.

Bahkan untuk beribadah Haji yang wajib saja dituntut untuk mampu terlebih dahulu, apalagi poligami yang hukum asalnya adalah sunah. Jangan sampai niat ibadah tercemar dan berujung siksa hanya karena pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan ilmu dan tuntunan.

Setiap orang memang memiliki ujian dan takdir yang berbeda-beda. Namun, bila memang takdir poligami itu singgah, ada baiknya dilakukan dengan bijaksana, dengan pertimbangan yang matang tentang konsekuensi dan baik buruknya ke depan. Baik untuk suami, istri, dan juga anak-anak. Bila dirasa mudaratnya lebih besar, alangkah baiknya jika dipikirkan ulang kembali. Karena ibadah dalam Islam, tidak hanya sebatas nikah lagi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya