Vaksin Nusantara dan Rasionalisme Kritis Popper

Pandemi Covid-19 belum usai. Dia tetap eksis sampai saat ini. Bahkan, di beberapa negara, dia makin menjadi-jadi. Misalnya, di India, sebutan yang viral sekarang ini ialah “tsunami” pandemi Covid-19.
Untuk mengatasi semuanya itu, pelbagai cara telah dilakukan. Mulai dari seruan dan ajakan untuk menjaga protokol kesehatan sampai pada vaksinasi. Namun, Covid-19 tetap “tak terkalahkan”. Selain karena “daya jelajahnya” yang luar biasa, perilaku masyarakat global yang tidak patuh dan taat menyebabkan pergerakannya makin “liar” dan membahayakan.
Dalam konteks Indonesia, salah satu langkah penting pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan anak-anak Ibu Pertiwi dari bahaya Covid-19 ialah mendatangkan vaksin dari beberapa negara sahabat. Sampai saat ini, ada banyak warga negara Indonesia yang sudah divaksin. Salah satu vaksin yang dipakai dalam vaksinasi di Indonesia ialah vaksin Sinovac.
Sembari menggunakan jasa dari vaksin Sinovac, pemerintah Indonesia meminta masyarakat untuk mandiri di pelbagai bidang kehidupan dalam menangani pandemi Covid-19. Salah satu bentuk kemandirian itu ialah pembuatan vaksin di dalam negeri. Hal ini bertujuan agar kita tidak terlalu bergantung pada vaksin dari luar negeri. Anak-anak Indonesia didorong untuk menghasilkan vaksin sendiri, meskipun dipelajari dari vaksin yang telah diproduksi oleh negara lain.
Di bawah komando mantan Menteri Kesehatan, Dr. Terawan Agus Putranto, misi itu siap dieksekusi. Hal itu sejalan dengan niatnya untuk tetap membantu masyarakat Indonesia setelah menyelesaikan tugasnya sebagai Menteri Kesehatan. Maka, bersama dengan timnya, Dr. Terawan berusaha membuat vaksin dalam negeri yang disebut dengan vaksin Nusantara.
Ada banyak masyarakat Indonesia yang mendukung pembuatan vaksin Nusantara. Sebab, keberadaan vaksin Nusantara dapat menolong kita untuk melepaskan ketergantungan pada vaksin yang diproduksi oleh negara-negara lain. Untuk itu, ada beberapa anggota DPR RI yang “pasang badan” dan menyatakan sikap setuju terhadap vaksin Nusantara. Bahkan, ada beberapa anggota DPR RI yang menjadi relawan untuk mendapatkan suntikan vaksin Nusantara.
Namun, vaksin Nusantara itu belum bisa diterima dan dipakai oleh masyarakat Indonesia karena belum lulus uji klinis dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM sebagai regulatory body bahan obat dan makanan di Indonesia tidak atau belum memberikan izin melanjutkan penelitian. Alasannya tegas: hingga saat ini, penelitian ini tak memenuhi standar pengujian vaksin yang tepat dan baik (Kompas, 19 April 2021).
Banyak orang yang protes dan tidak terima dengan kenyataan itu. Dengan alasan nasionalisme, ada banyak orang yang mengumpat BPOM sebagai lembaga negara yang tidak nasionalis. BPOM juga dianggap sebagai lembaga negara yang tidak menghargai karya anak bangsa.
Sebaliknya, ada banyak orang yang setuju dengan BPOM sembari memberikan penilaian kritis terhadap vaksin Nusantara. Mereka mengkritik dari sisi keilmiahan, kesehatan, dan lain-lain. Misalnya, menurut Iqbal Mochtar, dalam opini berjudul Menyelisik Vaksin Nusantara, konsep vaksin, bahan, alat, dan sebagian peneliti yang terlibat dalam vaksin Nusantara ini berasal dari perusahaan AS. Indonesia hanya jadi tempat uji coba (Kompas, 19 April 2021).
Awalnya, BPOM telah memberikan izin pelaksanaan uji klinis fase 1 sambil terus melakukan pemonitoran dan pendampingan. Namun, dalam perjalanannya, BPOM mencatat sejumlah hal ganjil terkait uji klinis ini. BPOM menganggap penelitian ini belum layak masuk ke fase 2 karena penelitian ini tak memenuhi berbagai syarat penting yang diperlukan, antara lain cara uji klinis yang baik (good clinical practice), pembuktian konsep studi (proof of concept), praktik laboratorium yang baik (good laboratory practice), dan cara pembuatan bahan yang baik (good manufacturing practice) (Kompas, 19 April 2021).
Oleh karena itu, polemik ini perlu dikaji dan dianalisis secara lebih mendalam melalui pemikiran rasionalisme kritis Popper. Sebab, pemikiran Popper berkaitan erat dengan pengembangan ilmu pengetahuan, sekaligus pengembangan peradaban masyarakat global.
Rasionalisme Kritis Popper
“Rasionalisme kritis” adalah suatu istilah yang terdiri dari dua unsur yang sama sekali hakiki bagi Popper, yaitu “rasio” dan “kritik”. Menurut Popper, salah satu cara terbaik untuk mempraktikkan sikap rasional ialah dengan selalu rela menerima kritik dan senantiasa mengkritik dirinya sendiri. Sikap ini paling baik diungkapkan dengan nama “rasionalisme kritis” (K. Bertens, 1983: 77).
Salah satu pernyataan kunci dalam rasionalisme kritis Popper ialah “mungkin saya salah dan Anda boleh jadi benar dan dengan suatu usaha kita bisa makin mendekati kebenaran” (Alfons Taryadi, 1991: 26). Melalui pernyataan ini, Popper menunjukkan suatu sikap ilmiah yang baik dan benar, yaitu kerendahan hati dan keterbukaan terhadap kritik dan segala kemungkinan yang bisa muncul untuk mendekati kebenaran.
Namun, salah satu hal yang perlu digarisbawahi ialah bahwa rasionalisme kritis Popper merupakan suatu pandangan bahwa rasio dapat menemukan kebenaran, tetapi rasio juga harus mempunyai kesediaan untuk mengakui bahwa rasio juga bisa salah dalam mendekati kebenaran. Kemungkinan salah itu dianggap sebagai ruang dinamika bagi suatu evaluasi-kritis dalam taraf yang lebih tinggi (Sulhatul Habibah, 2019: 307). Untuk itu, akal tidak boleh “sombong” dan melihat dirinya sebagai fokus dari upaya manusia untuk mendekati kebenaran. Akal perlu kritis terhadap dirinya sendiri, sekaligus “menggandeng” pengamatan dan percobaan untuk menemaninya dalam usaha mendekati kebenaran.
Menelaah Polemik Vaksin Nusantara
Rasionalisme kritis Popper memiliki peran penting di pelbagai bidang kehidupan manusia. Sebab, rasionalisme kritis Popper dapat membantu manusia untuk mengkritisi segala sesuatu yang ada di dalam hidup ini. Lewat rasionalisme kritis, manusia akan sadar bahwa segala sesuatu dapat dikritik, dievaluasi, dibantah, dan disangkal. Dengan demikian, manusia juga sadar bahwa tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini, tetapi hanya ada kebenaran tentatif (sementara) yang bisa dikritik, dievaluasi, dibantah, dan disangkal eksistensinya.
Terbukanya kemungkinan untuk mengkritik, mengevaluasi, membantah, dan menyangkal dapat membuat segala sesuatu menjadi lebih baik dan lebih maju. Sebab, kritikan, evaluasi, bantahan, dan sangkalan dapat membuka aib, kekurangan, kelemahan, dan kekeliruan dari segala sesuatu, sehingga manusia pada akhirnya tahu dan sadar bahwa hal itu atau hal ini masih memiliki kekurangan, kelemahan, dan kekeliruan di dalam dirinya. Tentu saja, kesadaran akan kekurangan, kelemahan, dan kekeliruan dari segala sesuatu akan membangkitkan semangat manusia untuk memperbaiki, mengubah, dan mereformulasi segala sesuatu supaya menjadi lebih baik dan lebih maju. Dalam bahasa Popper, sikap-sikap kritis semacam ini dapat membantu manusia untuk semakin mendekati kebenaran.
Sikap-sikap kritis semacam itu sangat cocok untuk menelaah aneka persoalan, termasuk polemik vaksin Nusantara yang ramai dibicarakan selama ini di Indonesia. Bahwasannya, kita perlu mengkritik, mengevaluasi, membantah, dan menyangkal eksistensi vaksin Nusantara dengan sikap kritis dan ilmiah. Kita perlu hati-hati terhadap proyek yang dikomandoi oleh Dr. Terawan ini dengan mengkaji dan menganalisis segala sesuatu yang mendukung terlaksananya proyek ini. Kita perlu memikirkan dan mendiskusikan cara uji klinis, pembuktian konsep studi, praktik laboratorium, komposisi bahan, cara pembuatan bahan, serta para pekerja (baca: ilmuwan) yang terlibat dalam pengerjaan proyek ini melalui penggunaan akal, pengamatan dan percobaan yang baik dan benar, bukan oleh perasaan dan nafsu. Sebab, vaksin Nusantara ini adalah persoalan ilmiah yang penting dan riskan, bukan sekadar persoalan nasionalisme sempit yang digaungkan oleh beberapa tokoh publik selama ini.
Misalnya, kita perlu mengkritik dan mengevaluasi Dr. Terawan dan timnya yang sedang melakukan penelitian terhadap vaksin Nusantara. Kritikan dan evaluasi kita tidak tertuju pada pribadi mereka, tetapi pada cara uji klinis, pembuktian konsep studi, praktik laboratorium, komposisi bahan, dan cara pembuatan bahan. Sebab, pada dasarnya, ilmuwan yang sejati tidak akan menakuti kritik. Sebaliknya, ia sangat mengharapkan kritik karena hanya melalui jalan kritik ilmu pengetahuan dapat maju (K. Bertens, 1983: 73).
Akhirnya, penulis menegaskan bahwa polemik vaksin Nusantara ini adalah persoalan ilmiah dan hanya bisa dijawab oleh usaha-usaha ilmiah yang dilakukan oleh para ahli di bidangnya. Maka, untuk menangani dan menyelesaikan polemik vaksin Nusantara ini, biarlah akal, pengamatan, percobaan, dan pengalaman yang bekerja, bukan perasaan dan nafsu tak teratur dari pihak-pihak yang tidak tahu substansi dari vaksin Nusantara itu.
Artikel Lainnya
-
104626/05/2022
-
136908/09/2020
-
140301/09/2020
-
Quo Vadis (Wacana) Bela Negara
201423/08/2020 -
Dilema Mahasiswa Lulusan Jakarta
39513/10/2023 -
Cetak Sawah di Kalimantan Tengah: Ide Presiden di Kala Resah Menuai Masalah
163103/05/2020