Kurikulum Merdeka, Memerdekakan Semua?
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim baru meluncurkan Kurikulum Merdeka yang merupakan bagian dari program merdeka belajar episode 15 (medcom.id, 11/02/2022). Menurutnya, kurikulum ini menjadi jawaban atas persoalan kemungkinan krisis pembelajaran (learning loss) bagi siswa Indonesia akibat pandemi Covid-19.
Dalam pelaksanaanya, sekolah diberikan kebebasan apakah akan langsung menerapkan kurikulum merdeka ini atau menggunakan Kurikulum 2013 atau Kurikulum 2013 dengan penyederhanaan yang disebut Kurikulum Darurat. Jadi, penerapan Kurikulum Merdeka tidak dipaksakan dan menepis stigma ‘ganti menteri ganti kurikulum’.
Namun, kebijakan ini tidak lepas dari kritikan sejumlah pihak. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) telah lebih awal mengkritisi Kurikulum Prototipe yang akhirnya berganti nama Kurikulum Merdeka. Misalnya, anggaran kurikulum yang terlalu besar karena untuk uji coba Kurikulum Prototipe pada 2021 oleh 2.500 Sekolah Penggerak dan 18.800 Guru Penggerak telah menghabiskan dana Rp 2,86 triliun (medcom.id, 11/02/2022).
Kritik lain adalah soal fleksibilitas kurikulum yang dapat menimbulkan kebingungan bagi sekolah terutama sekolah swasta seperti yang disampaikan oleh pengamat pendidikan, Doni Koesoema. Menurutnya, pemerintah hanya menawarkan, namun tidak melihat kesiapan sekolah terutama sekolah swasta (medcom.id, 20/01/2022). Kebebasan untuk mau menerapkan atau tidak menerapkan Kurikulum Merdeka, juga menimbulkan ketimpangan bagi sekolah-sekolah yang belum siap dengan sekolah-sekolah yang sudah menjadi pilot projek Kurikulum Prototipe.
Terlepas dari itu, penjelasan terkait Kurikulum Merdeka ini perlu mendapat porsi yang lebih melalui sosialisasi dan program pengembangan profesionalisme guru, misalnya tentang landasan filosofis dan substansi Kurikulum Merdeka. Terkait filosofi kurikulum, dalam kesempatan wawancara Nadiem Makarim mengatakan bahwa kurikulum ini menganut filsafat kemerdekaan, kemerdekaan belajar. Apakah benar demikian atau ini sekedar jargon saja?
Dalam program Kampus Merdeka di perguruan tinggi, meskipun ada pemberian keleluasaan kepada mahasiswa untuk mengikuti aktivitas perkuliahan di luar bidang studi dengan mengikuti magang bersertifikat, penelitian mandiri, dan kegiatan membangun desa, faktanya masih ada kendala administrasi dan ketidaksiapan sejumlah lembaga mitra yang justru menjadikan mahasiswa dan dosen tidak merdeka. Selain itu, perbedaan perlakuan juga masih ada misalnya seperti yang dinyatakan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan bahwa fokus kurikulum merdeka belajar adalah siswa, siswa, dan siswa.
Ketika suatu kebijakan hanya berfokus pada satu pihak, akhirnya yang lain menjadi terabaikan. Misalnya, mengabaikan peran guru sebagai ujung tombak kebijakan pendidikan. Maka, landasan filosofis Kurikulum Merdeka harus dijelaskan secara rinci misalnya dalam bentuk naskah akademik dan disosialisasikan.
Menilik pada laman resmi Kemendikbud Ristek ada beberapa karakteristik Kurikulum Merdeka antara lain: Pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila; Fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi; dan Fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Menanggapi karakteristik Kurikulum Merdeka, penulis berpendapat bahwa kurikulum ini sangat ideal dan kalau kita kaitkan dengan filosofi pendidikan. Kurikulum ini selaras dengan semangat pendidikan progresif John Dewey (1959).
John Dewey merupakan pendidik dan juga filsuf yang memiliki laboratorium Sekolah di University of Chicago, Amerika Serikat. Dewey berpendapat bahwa “siswa akan mengembangkan investasi personal (personal investment) pada materi pelajaran jika mereka terlibat dalam tugas-tugas bermakna dan permasalahan berkaitan dengan kehidupan nyata yang berusaha menyamai atau melebihi apa yang para ahli lakukan di dunia nyata” (Krajcik & Blumenfeld, 2006, h. 318). Maka, pembelajaran berbasis pada projek seperti yang ada dalam Kurikulum Merdeka memiliki elan vital yang sama dengan apa yang digagas Dewey namun tetap terasa nuansa ke-Indonesiaannya dengan mengacu pada profil Pelajar Pancasila.
Akan tetapi, untuk bisa memastikan guru mampu melaksanakan itu, semua butuh pendampingan. Bagi guru-guru di sekolah yang bagus, mungkin tidak jadi persoalan. Namun, bagi guru-guru sekolah swasta pinggiran menjadi persoalan yang sulit.
Hal ini berkaitan dengan konsep pengajaran yang sudah diyakini oleh guru dan bahkan sudah dipraktikkan dalam jangka waktu yang lama sehingga tidak mudah untuk diubah. Apalagi jika menilik pada praktik pengajaran dengan sistem banking, di mana guru sebagai depositor pengetahuan dan siswa sebagai penampung pengetahuan melalui pembelajaran pasif dan mengandalkan hafalan tentang fakta-fakta (rote memorisation).
Masih teringat saat penulis mengikuti pelatihan Kurikulum 2013, banyak rekan guru yang tidak bersemangat karena menggap konsep pengajaran yang ada di kurikulum 2013 tidak sesuai dengan konsep yang telah mereka fahami di kurikulum sebelumnya. Akibatnya, hasil pelatihan pun berhenti pada pemahaman dangkal dan jauh dari implementasi.
Hal yang sama bisa juga terjadi dengan Kurikulum Merdeka yang baru ini. Guru baru mulai memahami konsep Kurikulum 2013 dan membiasakan untuk menerapkan Kurikulum 2013, tetapi akan berganti lagi dengan Kurikulum Merdeka yang konsepnya berbeda dengan Kurikulum 2013.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan Kemendikbudristek dan stakeholders yang lain dalam menerapkan Kurikulum Merdeka ini. Pertama, pemberlakuan kurikulum ini tidak kemudian memberikan perlakuan yang berbeda baik sekolah yang sudah siap maupun yang belum siap.
Bagi sekolah-sekolah yang sudah menjadi pilot projek Kurikulum Merdeka seharusnya mampu dan mau mendampingi sekolah-sekolah yang belum siap. Secara lebih praktis, misalnya melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran untuk berdialog mengenai konsep dan landasan filosofis kurikulum.
Kedua, meskipun Kurikulum Merdeka masih berlandaskan pada kurikulum sebelumnya, jangan sampai menggunakan banyak istilah baru yang sebenarnya secara substansi sama. Hal ini sangat berpengaruh pada konsep yang telah diyakini oleh guru pada kurikulum sebelumnya dan berimplikasi pada praktiknya.
Ketiga, Kurikulum Merdeka seharusnya benar-benar memerdekakan semua baik siswa, guru, sekolah swasta atau negeri, sekolah yang sudah maju atau sekolah yang masih merintis. Semua diberi kesempatan untuk belajar dan mempersiapkan diri karena berpindah dari satu kurikulum ke kurikulum yang lain butuh waktu.
Artikel Lainnya
-
459113/07/2020
-
91214/11/2022
-
34908/07/2023
-
Kado Akhir Tahun Jokowi untuk FPI
123431/12/2020 -
Metafisika dalam Hayy Ibnu Yaqzan
79730/12/2022 -
Dilema Mahasiswa Lulusan Jakarta
45013/10/2023
