KUHAP Baru dan Rasa Cemas yang Belum Terjawab
Pengesahan UU KUHAP yang baru pada November 2025 memang disebut sebagai langkah pembaruan hukum acara pidana, tetapi bagi saya justru memunculkan lebih banyak kekhawatiran daripada rasa aman. Sejak awal, proses revisi KUHAP terasa serba tergesa, publik diminta untuk tidak menyebarkan hoaks, namun ironi muncul ketika informasi resmi mengenai isi dan perubahan substansial dalam UU ini sendiri tidak disosialisasikan secara memadai. Masyarakat seolah dituntut untuk percaya begitu saja, tanpa pernah benar-benar diberi ruang untuk memahami atau menilai.
Minimnya ruang partisipasi publik menjadi masalah besar pertama. Pemerintah mengklaim telah melibatkan akademisi, advokat, hingga lembaga masyarakat sipil. Namun banyak lembaga independen justru menyuarakan desakan agar revisi KUHAP dikaji lebih mendalam karena banyak pasal yang berpotensi multitafsir. Bila sejak awal prosesnya tidak transparan, wajar bila muncul keraguan apakah masukan kritis benar-benar dipertimbangkan atau sekadar dicatat untuk memenuhi formalitas. Sebuah regulasi yang mempengaruhi hak dasar warga negara semestinya dibahas dengan terang dan melibatkan partisipasi yang bermakna, bukan sekadar prosedural.
Masuk ke substansi, kekhawatiran semakin bertambah. KUHAP adalah aturan yang menentukan bagaimana aparat boleh menahan, menggeledah, menyita, melakukan penyidikan, hingga membawa seseorang ke proses peradilan. Dengan posisi sepenting itu, setiap celah kecil dalam rumusan pasal bisa berdampak besar terhadap kehidupan seseorang. Sayangnya, beberapa ketentuan dalam KUHAP baru membuka ruang interpretasi yang terlalu luas. Alih-alih memperkuat perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa, sejumlah aturan justru dikhawatirkan memperbesar kewenangan aparat tanpa pengawasan yang memadai.
Di negara yang punya sejarah panjang penyiksaan dalam proses penyidikan, penahanan sewenang-wenang, serta pendampingan hukum yang tidak optimal, ruang interpretasi seperti ini seharusnya dipersempit, bukan diperluas. Modernisasi hukum acara pidana tidak cukup hanya dengan menyematkan label “lebih berorientasi HAM.” Yang lebih penting adalah memastikan bahwa setiap aturan bisa diterapkan secara konsisten, jelas, dan akuntabel oleh aparat di seluruh level, bukan hanya menjadi jargon politis dalam proses legislasi.
Pemerintah berulang kali menjanjikan KUHAP baru yang lebih modern, lebih menjunjung due process, dan lebih melindungi hak asasi manusia. Namun janji itu masih sebatas narasi, karena hingga UU disahkan, peraturan pelaksanaannya belum tersedia. Bahkan pemerintah sendiri menargetkan regulasi turunan dirampungkan sebelum Januari 2026, target yang terdengar optimistis, bahkan terlalu optimistis, jika melihat pengalaman aturan turunan KUHP yang molor bertahun-tahun. Tanpa aturan teknis, aparat di lapangan akan bekerja berdasarkan tafsir masing-masing, dan di situlah risiko penyalahgunaan wewenang muncul.
Masalah berikutnya terkait kesiapan penegak hukum. Revisi seluas ini tidak mungkin dijalankan hanya dengan membaca teks UU yang baru. Polisi, jaksa, hakim, hingga lembaga pendukung peradilan harus memahami perubahan prosedur secara menyeluruh. Pertanyaannya: apakah sudah ada pelatihan massal dan intensif? Apakah sistem pengawasan sudah dipersiapkan? Ataukah masyarakat lagi yang nanti harus menanggung risiko ketika aparat kebingungan menerapkan aturan baru? Perubahan hukum acara pidana bukan sekadar soal pasal, tetapi soal kesiapan institusi, integritas, dan penegakan etika.
Kekhawatiran terbesar saya adalah revisi KUHAP berpotensi memperlebar jarak kekuasaan antara negara dan warga. Dengan pengawasan yang lemah, transparansi yang minim, serta kebiasaan aparat yang terkadang mengedepankan kekuasaan dibandingkan hak warga negara, perubahan seperti ini justru membutuhkan kehati-hatian ekstra. Sayangnya, yang terlihat sejauh ini justru percepatan, bukan pendalaman. Hukum acara pidana bukan sesuatu yang boleh diburu-buru; dampaknya bisa menyentuh kehidupan siapa saja, termasuk mereka yang tidak pernah membayangkan akan berhadapan dengan aparat penegak hukum.
Pada akhirnya, KUHAP baru memang telah disahkan, tetapi rasa aman masyarakat belum ikut hadir bersamanya. Yang muncul justru rasa cemas: tentang kewenangan aparat yang semakin luas, tentang proses hukum yang rawan salah tafsir, dan tentang masyarakat yang diminta percaya pada aturan yang belum lengkap. Reformasi hukum seharusnya membawa kita lebih dekat pada keadilan dan kepastian. Namun jika pembaruan KUHAP justru menambah ruang gelap dalam proses pidana, maka pertanyaannya menjadi sederhana namun penting: siapa sebenarnya yang dilindungi oleh pembaruan ini, warga negara atau kekuasaan?
Karena bila tujuan utamanya adalah menciptakan sistem peradilan yang adil, transparan, dan manusiawi, maka setiap proses dan pasal seharusnya mendekatkan kita pada kepastian hukum, bukan ketidakpastian. Hukum tidak boleh menjadi ruang abu-abu yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang punya kuasa. Ia harus menjadi pegangan bersama, yang dipahami publik, diawasi publik, dan dirasakan manfaatnya oleh publik.
Selama revisi KUHAP masih meninggalkan lebih banyak tanda tanya dibanding jawaban, publik berhak untuk terus bersuara, mengkritik, dan mengawasi. Reformasi hukum tidak lahir dari diam, melainkan dari keberanian mempertanyakan apa yang tidak beres. Jika negara sungguh ingin dipercaya, maka langkah pertama yang harus dibuktikan justru sederhana: tunjukkan bahwa hukum dibuat untuk melindungi rakyat bukan sebaliknya.
Artikel Lainnya
-
182125/03/2020
-
90514/09/2023
-
159707/06/2020
-
RUU HIP: Dari Soal Salah Kaprah Sekulerisasi Ke Laku Pancasila
131208/07/2020 -
Mengakrabkan Literasi Pada Anak Usia Dini
138129/09/2020 -
136508/09/2021
