RUU HIP: Dari Soal Salah Kaprah Sekulerisasi Ke Laku Pancasila

Sekuler, sekularisme, dan sekularisasi memiliki pengertian yang berbeda-beda. Namun secara mendasar ketiganya bersumber dari semangat yang sama: memerdekakan dunia dari otoritas keagamaan. Secara historis, para sekularis adalah mereka yang beranggapan bahwa agama merupakan belenggu menuju kemajuan. Benarkah begitu?
Sebagai seorang yang beragama dan menerima Pancasila (dan berharap dengan tulus anak-cucu saya pun begitu), saya merasa perlu mempertanyakan persepsi para sekularis tersebut, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Sebab, dengan beragama, saya—dan mungkin jutaan penganut agama lainnya—rasa-rasanya sama sekali tidak menjadi terbelakang karena percaya pada Tuhan. Apalagi, Tuhan saya: Allah SWT. merupakan Tuhan yang perintah-Nya sangat progresif dan berkemajuan. Tilik saja ayat pertama yang Dia wahyukan kepada Nabi Muhammad: “Bacalah!” Apakah membaca mengindikasikan keterbelakangan?
Agama sangat progresif bagi saya: agama menyatakan bahwa suatu kaum hanya akan bangkit dengan usahanya sendiri (QS. Ar-Ra’d [13]: 11); memerintahkan saya mengamati keseimbangan alam semesta secara teliti berualang-ulang (QS. Al-Mulk [67]: 3-4); serta menolak praktik jahiliyah yang mengaitkan fenomena alam dengan mitos: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dan keduanya tidak gerhana karena kematian seseorang, atau karena kelahirannya.” (HR. Bukhari). Saya pikir agama memiliki banyak hal yang mendorong manusia untuk berpikir logis dan maju.
Semangat Sekulerisme dalam RUU-HIP
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP), agaknya menyimpan semangat sekularisasi dan oleh karenanya berpotensi menjadi produk sekuler. Saya mengganggap RUU-HIP itu sebagi produk sekuler sekurangya dalam beberapa poin. Pertama, dalam Pasal 6 Ayat (1), di situ Pancasila seperti tengah direduksi dengan menjadikan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila. Hal tersebut seperti mengesampingkan kedudukan nilai ketuhanan, yang merupakan butir pembuka bagi seluruh sila setelahnya.
Bernegara dalam konteks Indonesia, yang diawali dengan penghayatan terhadap nilai ketuhanan dalam Pancasila sejatinya menjadikan Indonesia berbeda dengan negara demokrasi lainnya. Indonesia, meliputi kemanusiaannya, persatuannya, kerakyatannya, termasuk keadilan sosialnya bersumber dari semangat percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga, mendudukkan keadilan sosial sebagai sendi pokok ketimbang ketuhanan sama dengan mengatakan kalau tanganlah yang menggerakkan otak, bukan otak yang menggerakkan tangan.
Cindy Adams, di dalam bukunya yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, mengabadikan momen perenungan Bung Karno di malam sebelum beliau berbicara di Badan Penyidik. Sambil mengagumi alam ciptaan Tuhan, Bung Karno berkata: “Aku menangis karena besok aku akan menghadapi saat bersejarah dalam hidupku. Dan aku memerlukan bantuan-Mu. Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya Engkaulah yang Maha Pencipta. Engkaulah yang selalu memberi petunjuk pada setiap nafas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku.”
Kedua, pada Pasal 6 Ayat (3), agama tidak dimasukkan ke dalam dimensi keadilan sosial. Padahal aktivitas sosial manusia Indonesia tidak bisa dipisahkan dari aktvitas keagamaan, misalnya pernikahan, cerai, perdagangan, hukum adat, dan lain-lain. Dan yang ketiga, dalam Pasal 7 Ayat (3), religiusitas Pancasila direduksi habis-habisan ke dalam ekasila, yang dalam pasal tersebut disebut gotong-royong. Hal tersebut terkesan mengabaikan semangat fundamen Negara Indonesia, di mana dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa negara Indonesia merdeka di atas berkat dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Semangat kegotongroyongan dan kemerdekaan Indonesia tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dibentuk oleh semangat percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (Suryanegara, 2014).
Salah Kaprah Generalisasi Sejarah
Dalam lingkup modernitas, sejarah sekuler bisa dilacak dari penghujung abad pertengahan, yakni ketika Eropa mengalami proses pencerahan. Pada fase itu di Eropa terjadi ketegangan antara kaum agamawan dengan para ilmuwan. Otoritas keagamaan di Eropa kala itu dinilai memonopoli kebenaran, dan mengungkung rasionalitas para ilmuwan (Supraja, 2017). Sehingga, sekularisme dalam perjalanan sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari kebencian golongan rasional terhadap golongan religius. Persepsi historis itu juga yang menyumbang semangat sekularisasi di Indonesia.
Apa yang terjadi di dalam sejarah agama di Eropa tidak terjadi di Indonesia. Sehingga, generalisasi yang menganggap bahwa semua kawasan yang memercayai agama adalah koheren dengan pengebirian rasionalitas sehingga perlu disekulerkan, tidak bisa dibenarkan. Sebaliknya, kehadiran agama—khususnya Islam—di kawasan Nusantara justru berperan membebaskan pikiran manusia dari belenggu mitos (Al-Attas, 2011).
Kenyataan bahwa terdapat perbedaan sejarah beragama antara Eropa dengan Indonesia itulah yang sebaiknya digunakan untuk mendudukkan agama dalam bernegara pada konteks Indonesia. Melalui Pancasila, Indonesia merupakan negara yang berdemokrasi, sekaligus juga berketuhanan. Dengan begitu, beberapa poin yang cenderung sekuler dalam RUU-HIP, sebagaimana telah disebutkan di atas sebaiknya dihapuskan.
Urgensi: Antara Tafsir dengan Laku Pancasila
Pada dasarnya, dan secara umum produk pemikiran terlahir untuk sebuah kebaikan. RUU-HIP sebagai hasil pemikiran, tentu disusun untuk kebaikan bangsa Indonesia juga. Namun, rasa-rasanya bangsa kita sudah sangat akrab dengan hal-hal seperti belajar Pancasila, memikirkan Pancasila, hingga menafsirkan Pancasila. Yang semakin asing dan langka saat ini justru adalah laku Pancasila, dan masyarakat kita membutuhkan itu; utamanya yang dicontohkan oleh para tokoh publik di negeri ini.
Urgensi dari Pancasila saat ini, agaknya bukanlah membuat undang-undang. Negara sedang butuh produk kultural yang lebih merakyat, yakni aplikasi dari Pancasila itu sendiri. Masalah kebangsaan seperti intoleransi, maraknya korupsi di kalangan elit negeri, tingginya angka kemiskinan, sepertinya bukan bersumber dari tidak tersedianya undang-undang yang mengatur Pancasila. Semua penyakit itu disebabkan karena kita sibuk menafsir, dan lupa beranjak untuk bergerak secara jujur atas tafsir tersebut, sebagai pribadi dengan laku Pancasila.
Laku Pancasila adalah ketika seorang ayah mampu berlaku adil kepada keluarganya; ketika seorang guru menyediakan pembelajaran yang demokratis di dalam kelas; ketika tokoh politik berlaku jujur dalam karir politiknya. Itu semua hanya akan terwujud jika kita mau beranjak dari sibuk menafsir, menjadi sibuk “me-laku-kan” Pancasila.
Artikel Lainnya
-
18823/07/2024
-
305130/11/2020
-
158817/08/2020
-
Ironi Eksistensi Reformasi di Era Efisiensi
88006/06/2025 -
Masalah Kenakalan Remaja dan Solusinya
3798313/09/2020 -
149111/12/2020