Kuatkan Pribadi, Stop Pandemi

Dorr, Dorr, Dorr, adalah bunyi yang mungkin menjadi santapan sehari-hari bagi nenek moyang kita di masa penjajahan. Thiwol dan nasi jagung mungkin adalah makanan pokok leluhur kita yang berjuang melawan kolonisasi Belanda dulu.
Tidak sekejap mata mereka merasakan kondisi demikian. Tidak sebentar waktu yang harus nenek moyang kita habiskan dalam melawan ketertindasan akibat kolonisasi Belanda. Sejarah mencatat, tiga setengah abad lamanya leluhur kita merasakan penindasan dan diskriminasi.
Menimbang masa penjajahan, mungkin enam hingga tujuh generasi harus menanggung penderitaan itu. Secara turun-temurun anak-anak Indonesia menderita mental dan fisiknya. Menderita lahir dan batin.
Lantas, bagaimana bisa kondisi yang begitu menekan, para leluhur kita mampu terus bangkit dan melawan? Bagaimana bisa muncul peristiwa perang Pattimura? Bagaimana bisa muncul peristiwa perang Diponegoro? Bagaimana bisa muncul perang Bali?
Jawabannya, Itu semua karena hadir pribadi-pribadi besar. Itu semua karena hadir pemimpin sejati di Indonesia yang mempengaruhi rakyat Indonesia.
Syahdan, saya ingin bertanya, apakah di antara pembaca budiman ada yang tak mengenal Diponegoro? Apakah di antara pembaca budiman ada yang tak mengenal Pattimura? Barang pasti di antara pembaca yang budiman 99 persen mengenal beliau.
Pertanyaannya, apa yang membuat mereka semua mampu menjadi sedemikian terkenal dan terkenang? Apakah karena ototnya seperti kawat dan tulangnya seperti besi? Apakah karena goyangan aduhainya di Tiktok? Atau karena apa?
Jawabannya adalah karena personalitasnya; karena keberaniannya melawan penjajahan; karena pengabdiannya pada bangsa Indonesia tak terukur.
Selain itu, para nenek moyang kita itu tak mudah terpengaruh oleh lingkungan dan konteks sosial-budaya yang melingkupinya. Mereka tak gampang termakan oleh bisikan harta dan tahta. Mereka berharta dan bertahta sebagai wasilah melawan penjajah.
Hal ini karena mereka bukan kertas putih yang bisa ternoda dan terwarnai begitu saja. Para leluhur kita adalah manusia-manusia yang telah terdidik dan tercerahkan. Tak ada selisih soal itu.
Maka, sekarang pun kita telah lihat dan nikmati bersama hasil dari hadirnya pribadi besar di masa dulu, di masa kolonisasi belanda. Kita telah merdeka dari penjajahan fisik mereka. Tidak lain, akibat pribadi yang terdidik dan tercerahkan itu.
Tapi, semua itu adalah kegemilangan masa lampau. Kegemilangan para pendahulu kita. Kegemilangan yang harus dijadikan bahan ajar dan diskusi dalam berbangsa. Tegasnya, kegemilangan yang harus kita tiru untuk tetap survive dan berdaya di masa terpuruk.
Bagaimana menirunya di masa sekarang? Bagaimana meniru mereka di masa pandemi ini? Jawabannya: Kuatkan pribadimu. Biasakan diri kita untuk tidak ngeyelan, untuk selalu taat protokol kesehatan. Itu saja dulu.
Kita sekarang tak perlu mengangkat bambu runcing untuk menggentarkan dan membunuh musuh. Kita tak perlu melempar bom untuk meluluhlantakkan penjajah Corona. Luluhlankan dengan mematuhi protokol kesehatan.
Memang akan terasa sukar dengan selalu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Memang terasa tak mudah untuk tidak berkerumun, ditambah kultur kita yang memang gemar berkerumun sebagai bentuk solidaritas.
Tapi teman, taat pada protokol kesehatan adalah jalan terbaik untuk kita lepas dari jerat pandemi. Solidaritas di masa pandemi bukan lagi berkerumun tapi soliteritas. Perjuangan di masa sekarang adalah dengan menahan diri bukan melawan dan tak patuh (ngeyel).
Bayangkan, jika para leluhur kita dahulu suka ngeyel, tak berpribadi saling percaya, tak mau kerja sama dan tak mengindahkan "protokol kemenangan". Mungkin sekarang kita masih menikmati suara bedil yang mendengung setiap waktu di telinga kita. Setiap hari makanan kita thiwol dan nasi jagung saja.
Apakah kita mau begini terus sampai 10 tahun ke depan? Apakah kita mau generasi kita menjadi generasi yang paranoid? Tentunya tidak bukan? Maka kita harus berkata tidak pula untuk tidak taat protokol kesehatan. Berpuasalah untuk ngeyel!
Akan tetapi, pandemi Corona ini dipenuhi ketidakpastian, bukan? Untuk apa kita acuh dengan hal yang tidak pasti? Justru itu, mari sama-sama kita cipta kepastian itu. Kita cipta dengan ikuti protokol kesehatan yang telah termusyawarahkan. Karena protokol kesehatan adalah protokol kemenangan kita melawan jajahan pandemi.
Kuatkanlah pribadimu untuk selalu kerja sama, saling percaya, dan saling timbang rasa pada sesama dalam melawan pandemi ini. Sehingga dapat kita usir jauh-jauh pandemi dari negeri tercinta Indonesia. Jangan tampakkan kelemahan pribadimu dengan ngeyel!
Artikel Lainnya
-
92821/04/2021
-
310023/04/2020
-
66018/06/2023
-
Bagi Jean-Paul Sartre, Hasrat Bukanlah Sekedar Reaksi Biologis Semata
25626/01/2025 -
Mencari Puncak Pengalaman Spiritual di Bulan Ramadhan
218425/04/2022 -
Politik Balas Budi Jokowi dalam Etika dan Moral Islam
172623/11/2020