Bagi Jean-Paul Sartre, Hasrat Bukanlah Sekedar Reaksi Biologis Semata

Mahasiswa PBSI UNJ 2022
Bagi Jean-Paul Sartre, Hasrat Bukanlah Sekedar Reaksi Biologis Semata 26/01/2025 49 view Lainnya Ilustrasi dua manusia yang saling menatap (Pixabay/summerstock). https://pixabay.com/id/photos/pernikahan-pantai-pasangan-muda-1745240/

Apa yang terbayang di kepalamu ketika mendengar kata “hasrat seksual?” Apakah kepalamu membayangkan sebuah dorongan biologis yang muncul secara alami dari tubuhmu? Kalau iya, berarti, memang sudah secara umum bahwa hasrat seksual diartikan masyarakat luas begitu.

Saat aku cari di Google tentang arti “hasrat seksual”, banyak web-web yang menjelaskan hal serupa dengan apa yang kamu bayangkan. “Hasrat seksual” dianggap sebagai reaksi biologis yang dipengaruhi hormon seperti testosteron, estrogen, dan oksitosin.

Namun, bagi Jean-Paul Sartre, hasrat seksual bukan sekedar reaksi biologis semata. Jujur, aku saja baru tahu dan kaget ketika mengetahuinya. Aku sendiri tahu dari bukunya yang berjudul “Seks dan Revolusi”. Secara singkat, Sartre mengatakan bahwa hasrat seksual adalah tentang bagaimana kita memandang diri kita sendiri dan orang lain.

Misalnya, ketika kita merasa tertarik pada seseorang, bagi Sartre, itu bukan hanya soal fisik. Tapi, juga soal bagaimana kita ingin dilihat dan diterima orang lain. Hasrat ini, membuat kita sadar bahwa kita adalah subjek (yang memiliki keinginan), sekaligus objek (yang diinginkan orang lain).

Bagi Sartre, seksualitas adalah arena konflik antara kebebasan individu dan kebutuhan akan pengakuan dari orang lain. Begitulah, pengertian secara singkat dan sederhananya.

"Manusia tidak memiliki esensi bawaan", begitu menurut Satre . Maksud esensi di sini adalah keberadaan tetap dan final–bisa yang dikenal dengan istilah “Ada”. “Ada” sendiri tidak memiliki kemampuan untuk merefleksikan dirinya sendiri karena tanpa kesadaran, misalnya, benda mati seperti meja dan kursi. Benda-benda tersebut , tidak memiliki kesadaran akan keberadaannya, kecuali ada campur tangan dari luar, contohnya campur tangan manusia yang mau membuat meja itu jadi meja bundar atau meja panjang.

Sebaliknya, manusia memiliki kebebasan untuk memilih, bertindak, dan menciptakan makna bagi dirinya sendiri. Nah, kebebasan ini muncul dari “ketiadaan” dalam diri kita, karena kita memang tidak punya esensi bawaan, sehingga kita bebas memaknakan diri kita menjadi apa pun. Ini disebut “Mengada”.

Dari penjabaran di atas, lalu apa kaitannya dengan hasrat seksual?

Dalam kerangka berpikirnya, Sartre menyebutkan istilah “keberadaan-dalam-dirinya-sendiri (in-itself)”–ini yang tadi dijelaskan sebagai “Ada”–dan “keberadaan-untuk-dirinya sendiri (for-itself)”–ini tadi dijelaskan manusia mempunyai kebebasan untuk menafsirkan dirinya, atau disebut “Mengada”.

Dalam hasrat seksual, kita bisa mengaitkan istilah “keberadaan-untuk-dirinya sendiri (for-itself)” sebagai “sebagai tubuhku” yang artinya tubuh kita sebagai subjek yang kita kendalikan untuk memaknai diri kita.

Lalu, istilah “keberadaan-dalam-dirinya-sendiri (in-itself)” sebagai “objek yang bagi Yang Lain”, yang artinya tubuhku kita menjadi sesuatu objek yang diinginkan oleh tubuh orang lain. Atau gampangnya, tubuh kita dijadikan objek yang dimaknai oleh orang lain.

Kemudian, Sartre memperkenalkan konsep tatapan atau gaze untuk memahami hasrat seksual. Ketika seseorang merasa diperhatikan–dalam artian ditatap penuh arti dan harapan–ia mulai menyadari dirinya tidak hanya sebagai subjek yang memiliki (“sebagai tubuhku”), tapi juga sebagai objek yang diinginkan (“sebagai objek bagi Yang Lain”).

Dalam situasi tersebut, muncullah kesadaran bersama akan keberadaan “peran kita” sebagai makhluk yang saling membutuhkan pengakuan. Ingin sama-sama memaknai dan dimaknai. Inilah disebut sebagai konsep “Yang Lain”, yaitu dialektika antara “keberadaan-dalam-dirinya-sendiri (in-itself)” atau “sebagai tubuhku” dan “keberadaan-untuk-dirinya sendiri (for-itself) atau “sebagai objek bagi Yang Lain”.

Sederhananya, hal di atas, adalah upaya untuk menjembatani jurang antara dua keberadaan, yaitu menyatukan subjektivitas dan objektivitas.

Ketika hasrat seksual berlanjut menjadi aktivitas seksual, konflik eksistensial muncul. Kenapa begitu? Menurut Sartre, aktivitas seksual adalah akhir dari proyek hasrat seksual. Aktivitas seksual sering kali memunculkan unsur “sadisme” dan “masokisme”.

Bagi Sartre, “sadisme” adalah upaya untuk menguasai orang lain dan mengendalikan orang lain, dengan menjadikannya objek belaka, sedangkan “masokisme” adalah upaya seseorang untuk menyerahkan dirinya kepada orang lain sampai menghilangkan kebebasannya.

Nah, kedua unsur di atas sangat bertentangan dengan eksistensialisme. Unsur tersebut mengabaikan dialektika antara antara “keberadaan-dalam-dirinya-sendiri (in-itself)” atau “sebagai tubuhku” dan “keberadaan-untuk-dirinya sendiri (for-itself) atau “sebagai objek bagi Yang Lain”. Sederhananya, unsur tersebut mengabaikan keseimbangan antara subjek dan objek.

Nah, begitulah pandangan Sartre tentang hasrat seksual untuk mendobrak pandangan umum masyarakat terhadap hasrat seksual. Pandangan ini bisa menjadi pandangan alternatif bagi kita semua, di mana wacana hasrat seksual selalu diartikan sebagai reaksi biologis.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya